Jelang Pemilu, Tangkal Hoaks dengan Literasi Digital

  • Bagikan

14 Februari 2024 mendatang, Indonesia akan merayakan ‘Pesta Demokrasi’. Menyambut momentum itu, gegap gempita partai politik, para calon anggota legislatif serta calon presiden dan wakil presiden mewarnai jagad digital (dunia maya).

Oleh: M. Asri Samual

Tentu hal ini wajar terjadi. Beragam platform media sosial dimanfaatkan oleh para kontestan dan pendukung untuk menarik simpati masyarakat, demi meningkatkan angka elektabilitas pada pemilihan nantinya.

Namun di sisi lain, beragam jenis informasi bohong pun makin merajalela dan terus menghiasi ‘dinding’ laman media sosial. Usaha saling menjatuhkan tidak terbendung, alih-alih dengan cara melakukan kampanye hitam (black campaign).

Sedangkan kampanye hitam adalah menuduh pasangan calon atau kelompok lawan politik dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin.

Contoh kampanye hitam misalnya menuduh seseorang calon tak pantas menjadi pemimpin karena agama atau rasnya. Atau sang calon disebut melakukan kejahatan tertentu di masa lalu yang tidak bisa dibuktikan.

Media sosial menjadi sarana paling ampuh untuk menyebar berbagai informasi bohong atau hoaks. Terlebih, Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna media sosial tertinggi di dunia.

Olehnya, perlu ditingkatkan upaya literasi media bagi masyarakat atau pemilih. Utamanya bagi mereka yang tergolong sebagai pemilih pemula yang notabene juga sekaligus sebagai kelompok usai pengguna media sosial tertinggi di negara ini.

Koordinator Program dan Pemeriksa Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Dedy Helsyanto, dalam salah satu media online menyebut, menyingkap hasil survey Kominfo dan Katadata Insight Center di 34 provinsi mengenai kecakapan masyarakat dalam menggunakan media digital. Hasil survei tahun 2020 itu menyebutkan masyarakat ‘kurang memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi hoaks, serta rentan ikut menyebarkan informasi hoaks.’

Berbagai organisasi –dari kalangan LSM, media dan pemerintah– terus berusaha meningkatkan literasi digital melalui berbagai program. Upaya yang paling populer adalah CekFakta –kolaborasi Mafindo dan puluhan media siber untuk memverifikasi konten-konten yang banyak tersebar di media sosial.

Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Yanti Dwi Astuti menguraikan arti hoaks, yaitu suatu cerita bohong, informasi palsu, yang bertujuan untuk mempermainkan, memperdaya, dan menipu.

Hoaks bisa digunakan untuk tujuan lelucon, tetapi juga sering dipakai untuk tujuan yang serius. Misalnya, dalam dunia politik, hoaks digunakan untuk pencitraan atau menjatuhkan citra seseorang maupun kelompok.

Yanti juga menjelaskan klasifikasi hoaks yang terbagi menjadi tujuh macam. Ketujuh macam tersebut adalah satire/parodi, yaitu konten yang mengecoh meski tidak berniat jahat; false connection, yaitu konten yang memiliki isi berbeda dengan judul; false context, yakni konten disajikan dengan narasi keliru; misleading content, yaitu konten yang dipelintir untuk menjelekkan sesuatu; imposter content, yakni konten yang mencatut nama tokoh publik tertentu; manipulated content, yaitu konten yang sudah diubah untuk mengecoh; dan fabricated content atau konten yang 100 % palsu.

“Agar cerdas menangkal hoaks di media sosial, bisa dilakukan dengan tidak menyebarkan berita sebelum memeriksa kebenarannya, berhati-hati terhadap judul berita yang provokatif, segera mengadukan ke pihak berwenang apabila menemukan hoaks,” tuturnya (Media Indonesia, Kamis 13 April 2023).

Literasi digital merupakan salah satu komponen penting dalam mencerna sebuah informasi, termasuk di dalamnya kemampuan membaca dan menulis dalam bentuk digital. Misal, pada saat membaca berita.

Masyarakat yang menggunakan literasi digital umumnya memerlukan kecanggihan teknologi untuk menyaring informasi yang akurat agar dapat terhindar dari berita hoaks atau bahkan adanya penipuan.

Meningkatnya jumlah kegiatan literasi digital di masyarakat merupakan media edukasi dalam memanfaatkan teknologi dan komunikasi dengan menggunakan alat digital, yakni alat-alat komunikasi jaringan yang dapat digunakan untuk menemukan, mengevaluasi, serta menggunakan informasi secara bijak.

Sangat disadari, pelaksanaan Pemilu dengan tingkat kepercayaan tinggi akan sangat mempengaruhi hasil Pemilu. Untuk mencapai itu, perlu pengawasan yang sedemikian ketat dari penyelenggara (Bawaslu) serta masyarakat dan peserta Pemilu itu sendiri.

Dengan makin meningkatnya literasi digital, serta pemahaman masyarakat terkait teknologi informasi maka sangat memungkinkan masyarakat sedemikian rupa mengawasi, mendiskusikan, bahkan melaporkan hal-hal terkait penyelenggaraan persiapan pemilu di daerah masing-masing.

Melawan penyebaran berita palsu atau hoax, diperlukan adanya literasi digital pada masyarakat khususnya kaum milenial yang mendominasi pengguna media sosial. Perlunya literasi digital pada masyarakat juga harus memperhatikan aspek kompetensi teknologi, kognitif, dan sosial untuk mempersiapkan adanya perubahan pada teknologi digital.

Generasi milenial yang merupakan pengguna media sosial paling banyak harus memiliki kemampuan literasi digital, agar dapat menghadapi ancaman sosiologis, kognitif, dan pedagogis yang diakibatkan oleh meningkatnya penetrasi internet.

Tujuan dari diberikannya literasi digital yaitu untuk memberikan suatu kontrol kepada masyarakat dalam menyimpulkan informasi yang beredar di media digital. Karena informasi yang disampaikan dalam media memiliki makna langsung dan juga makna yang lebih mendalam. Dengan perbedaan kemampuan literasi yang dimiliki tentunya juga berpengaruh terhadap perbedaan otoritas seorang dalam proses menafsirkan informasi yang beredar.

Seseorang dengan kemampuan literasi digital yang baik akan cenderung aktif dalam menggunakan kemampuan interpretasinya dan memosisikan informasi media pada konteks struktur pengetahuan yang tertata dengan baik.

Sehingga, individu tersebut mampu untuk menginterpretasi informasi yang ada dari beberapa sudut pandang berbeda. Ketika seseorang memiliki kemampuan literasi yang tinggi, maka mereka akan memahami cara menempatkan diri dalam menginterpretasi informasi dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

Komisioner KPU Polewali Mandar Andi Rannu menyebut, Teknologi Informasi (TI) juga telah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja lembaga pemerintahan, tanpa terkecuali, yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan Pemilu.

Begitu ditemukan dugaan pelanggaran etika penyelenggara Pemilu, masyarakat lalu mendiskusikannya di forum-forum medsos. Meski, tak jarang terjadi penghakiman terhadap penyelenggara Pemilu yang belum tentu bersalah.

Namun secara umum hal ini berdampak positif, bahwa kontrol terhadap kredibilitas dan integrasi penyelenggara Pemilu dilakukan secara intensif oleh masyarakat. Dengan demikian, dapat diharapkan para penyelenggara Pemilu semakin hati-hati, lebih profesional, dan bertanggung jawab. (*)

  • Bagikan