Pemilu Curang

  • Bagikan

Oleh : M Danial 

PEMILU curang atau kecurangan pemilu menjadi sorotan terhadap Pemilu 2024. Jumlah perolehan suara yang kini beredar di ruang publik masih sebatas hasil hitung cepat atau quick qount lembaga survei. Ada juga hasil real count KPU berupa hasil sementara perolehan suara peserta pemilu yang bisa diakses di situs KPU RI. 

Situs pemilu2024.kpu.go.id menjadi rujukan publik untuk mengetahui hasil sementara perolehan suara. Tapi angka-angka yang muncul menjadi sasaran yang menguatkan dugaan terjadinya kacurangan yang menuding Sirekap. Sistem yang sedianya diandalkan KPU dalam penghitungan suara, tapi malah menjadikan publik kehilangan kepercayaan kepada KPU.

Perolehan suara peserta Pemilu 2024 akan diketahui pada pengumuman resmi KPU 20 Maret nanti. Rekapitulasi hasil penghitungan suara di TPS pada 14 Februari lalu masih berlangsung. Dilakukan KPU secara berjenjang untuk mengoreksi kesalahan dan memastikan jumlah perolehan suara. Tapi KPU juga menjadi sasaran tudingan kecurangan pemilu. 

Pemungutan suara adalah puncak pemilu yang kerap disebut pesta demokrasi. Tapi perayaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat, tidak pernah lepas dari praktik kecurangan. Terjadi dalam skala kecil sampai yang terstruktur, sistematif, dan masif. Terjadi pada pemilu di berbagai belahan dunia. 

Kecurangan mewarnai pemilu di Liberia, Afrika Barat pada 1927 lantaran kecurangan. Pada pemilu tersebut, petahana Charles Dunbar Burgess King dari Partai True Whig yang sedang berkuasa berhadapan dengan Thomas J Faulkner sebagai oposisi dari Partai Rakyat. 

Keganjilan mulai terlihat pada rekapitulasi penghitungan akhir perolehan suara. Dari jumlah pemilih terdaftar menurut Komisi Pemilihan Umum Nasional (NEC) hanya 15.000. King dinyatakan memenangkan kontestasi dengan perolehan 240.000 suara yang mencakup 94 persen suara. Menang telah atas Faulkner yang hanya memeroleh 9.000 suara. 

Jumlah pemilih secara statistik pada pemilu Liberia tersebut mencapai lebih 1.660 persen. Lantaran kecurangan dengan angka yang bombastis tersebut, Guinness Book of Records mencatat sebagai pemilu tercurang yang pernah terjadi dalam sejarah. 

Pemilu di Rumania tahun 1946 dimenangkan Partai Komunis Rumania (PRC) bersama kelompok pendukungnya. Di antaranya Blok Partai Demokrat (Blocul Partidelor Democrate/BPD), Persatuan Rakyat Hongaria (UPM atau MNSZ), dan Partai Tani Demokrat-Lupu. Para kritikus politik di negara yang terletak di Eropa Tengah dan Tenggara itu menuding bahwa kemenangan diperoleh karena praktik intimidasi. 

Perolehan 69,8 persen suara yang diklaim BPD dan sekutunya diragukan. Para ahli meyakini suara yang mereka peroleh tidak lebih dari 48 persen. Padahal, perolehan tersebut secara resmi membuat mereka menguasai 91 persen porsi dewan atau 379 kursi. Tak hanya di dalam negeri, pihak mancanegara pun ikut sangsi. Pemerintah Inggris menjadi salah satu pihak yang menolak untuk mengakui hasil pemilu tersebut. 

Pada pemilu di Filipina pada 1965 Ferdinand Marcos resmi menjadi Presiden Filipina ke-10. Tak diduga hasil pemilu tersebut menjadi awal mimpi buruk bagi rakyat yang berlangsung dua dekade di negara sebelah utara Indonesia itu. Marcos yang kembali memenangi pemilu pada 1972 dengan kecurangan, menetapkan status darurat militer dan memimpin dengan gaya otoriter. 

Pemerintah membungkam media. Seluruh yang berada di pihak oposisi diancam dengan kekerasan. Pada setiap pemilu setelahnya, dukungan publik dan kemenangan yang nyata diperoleh lawan tandingnya tak pernah diakui pemerintahan Marcos. 

Akhirnya masyarakat bersatu di bawah komando Corazon Aquino, Ketua United Nationalist Democratic Organization yang kalah dari Marcos pada pemilu 1986. Kala itu, penghitungan suara memperlihatkan bahwa Mascos unggul 700.000 suara. Menyikapi hal itu, Aquino bersama pendukungnya dan para pengamat internasional menolak hasil pemilu dan memulai ajakan revolusi. Perlawanan sipil membuahkan hasil. Marcos jatuh dan akhirnya melarikan diri ke pengasingan di luar negeri. 

Kecurangan terjadi di Kenya pada pemilu tahun 2007 yang dibumbui permusuhan etnis. Kandidat petahana Mwai Kibaki mewakili Partai Persatuan Nasional (PNU) berhadapan dengan oposisi yang dipimpin Raila Odinga. Masa kampanye diwarnai dengan persaingan antara Kibaki yang menguasai Suku Kikuyu yang merupakan suku mayoritas di Kenya, dengan Odinga yang merupakan gabungan lima suku besar dan menciptakan basis yang lebih lebih banyak. 

Berbeda dengan jajak pendapat yang memperlihatkan dukungan signifikan terhadap Odinga, hasil pemungutan suara justru dimenangjan Kibaki keluar dengan perolehan 46 persen suara. Odinga memeroleh 44 persen suara. Hasil tersebut diprotes pihak Odinga. Kelompoknya mengklaim memperoleh suara terbanyak di enam dari delapan provinsi. Calon penantang itu mencium pula kecurangan jumlah pemilih dengan melihat basis dukungan terhadap Kibaki melebihi 100 persen dari keseluruhan jumlah pemilih seharusnya. 

Kibaki tetap terpilih dan dilantik sebagai presiden. Pertikaian pun tak terelakkan yang memicu bentrokan antar etnis. Lebih dari 1.300 korban tewas dan 600.000-an orang kehilangan tempat tinggal. Pada akhirnya Kibaki dan Odinga berkoalisi dalam pemerintahan baru. Odinga diberi jabatan sebagai perdana menteri. 

Pada 2015 berlangsung pemilu di Turki. Tercatat sebagai pemilu yang juga diwarnai kecurangan. Presiden Recep Tayyip Erdogan yang merupakan pertahana diduga kuat melakukan serangkaian penipuan dan penyimpangan selama kampanye berlangsung. Beberapa di antaranya adalah perilaku bias terhadap media, intimidasi, penggunaan sumber daya dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) sebagai partai paling berkuasa. 

Selain itu, institusi-institusi pemerintahan di bawah kepemimpinan Erdogan secara masif melakukan praktik kecurangan pemilu. Seperti data pemilih yang tidak valid dan digelembungkan, dan Dewan Pemilihan Agung mencetak surat suara yang berlebih. Praktik kecurangan yang dilakukan penyelenggara pemilihan dan melibatkan aparat itu memicu terjadinya kekerasan politik hingga vandalisme. Yang mewarnai proses pemilu dari masa kampanye, pemungutan suara hingga penghitungan suara.
Kecurangan pemilu di Indonesia sudah jamak diketahui. Tidak hanya pada pemilu di era orde baru, tapi juga pada setiap pemilu berikutnya. Kecurangan dan dugaan manipulasi hasil pemilu 2024 masih menjadi topik dimana-mana. Dibicarakan berbagai kalangan yang semuanya merasa berkepentingan terhadap hasil pemilu yang demokratis, jujur dan adil. (*)

  • Bagikan