TOA

  • Bagikan

Oleh: M Danial 

MASIH segar dalam ingatan polemik pengeras suara alias Toa di masjid dan musala, dua tahun lalu. Polemik lantaran kebijakan Menteri Agama Yacut Cholil Qoumas mengenai pengaturan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah umat Islam tersebut. Bertujuan untuk meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga dan antarumat beragama.

Yang pro atau mendukung kebijakan tersebut menyambut baik dan berharap terlaksana secara efektif. Namun penting penerapan pengaturan dengan pendekatan persuasif, karena pengeras suara di masjid telah menjadi budaya. Sedangkan yang kontra atau menolak kebijakan Menag, mengingatkan pemerintah tidak terlalu jauh mencampuri urusan teknis peribadatan masyarakat.

Kebijakan Menag tertuang dalam surat edaran Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. SE Nomor 05 Tahun 2022 tanggal 18 Februari 2022, terbit sekira dua bulan sebelum Ramadhan 1443 H. 

Salah satu isi SE adalah pengaturan volume pengeras suara di masjid atau musala sesuai dengan kebutuhan. Paling besar 100 dB (seratus desibel). 

Menag Yacut tidak melarang rumah ibadah umat Islam menggunakan Toa atau pengeras suara. Namun perlu pengaturan waktu alat pengeras suara itu digunakan, baik setelah atau sebelum azan dikumandangkan. Tujuannya untuk kemanfaatan dan mengurangi hal yang tidak bermanfaat. 

Pengeras suara terdiri pengeras suara dalam dan pengeras suara luar. Pengeras suara dalam adalah perangkat pengeras suara yang difungsikan – diarahkan ke dalam ruangan masjid atau musala. Sedangkan pengeras suara luar difungsikan – diarahkan ke luar ruangan masjid – musala. 

Penggunaan pengeras suara masjid / musala mengingatkan masyarakat melalui pengajian Alquran, salawat nabi dan suara azan. Juga melantangkan suara muazin kepada jamaah, suara imam kepada salat jamaah, atau suara khatib / penceramah kepada jamaah. 

SE Menag menyebutkan pemasangan dan penggunaan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara ke luar dan ke dalam. Untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung aturan tersebut. Namun meminta Kemenag tidak kaku dalam pelaksanaannya. Perlu pula disertai insentif kepada tempat ibadah sehingga dapat meningkatkan kualitas sound system atau pengeras suaranya. 

Melansir news.detik.com (23/2/2022), Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengapresiasi SE Menag terkait aturan pengeras suara di masjid. Sebelumnya Ketua DMI Jusuf Kalla melontarkan wacana pengaturan penggunaan sound sistem di masjid/musala supaya masjid atau musala yang saling berdekatan tidak saling mengganggu suara pengeras suaranya. 

PP Muhammadiyah menyambut baik SE Menag, gar pengeras suara tidak digunakan sembarang waktu. 

“Bagus, ada pengaturan. Supaya penggunaan pengeras suara di masjid ataupun yang lain tidak sembarangan. Tidak sembarang waktu,” keta Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, dilansir situs Muhammadiyah (22/2/2022).

PBNU pada prinsipnya setuju pengaturan tersebut. Namun meminta pemerintah membantu memperbaiki kualitas pengeras suara masjid supaya lebih nyaman didengar. PBNU mengusulkan pelatihan teknisi speaker masjid agar sound systemnya enak didengar. 

“Sangat bagus jika pemerintah membantu peningkatan kualitas sound system masjid. Banyak juga speaker masjid yang kurang bagus, mungkin perlu tambahan pelatihan teknisi speaker,” komentar Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi kepada wartawan. 

Peralatan pelantang suara berupa megafon atau speaker dikenal dengan nama Toa. Toa identik dengan pengeras suara, yang terpasang status maupun yang bisa dibawa-bawa. Sedangkan Toa adalah merek megafon buatan perusahaan di Kobe, Jepang yang bernama Toa Electric Manufacturing Company, pada 1 September 1934.

Penemuan teknologi pengeras suara jauh lebih dahulu ketimbang masuknya Islam ke Indonesia. Dahulu kala, masyarakat muslim di masjid-masjid menggunakan peralatan tradisional untuk mengumandangkan azan agar didengar oleh jamaah bahwa waktu salat telah tiba. 

Masjid Agung Surakarta disebut masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara. Kepastian itu didasarkan atas kesaksian Guillaume Frederic Pijper (GF Pijper) pada era itu yang menulis ‘Studien over de geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950’ atau Kajian Sejarah Islam Indonesia 1900-1950. Disebut, bahwa kedudukan pengeras suara di masjid menjadi istimewa karena fungsinya. 

Jelang ramadhan 1445 H sekarang, Menag Yacut kembali mengimbau agar umat Islam dalam melakukan syiar Islam tetap memedomani SE Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Peneras Suara di Masjid dan Musala. 

Dua tahun sejak SE tersebut, pelaksanaannya bekum efektif. Malah di banyak tempat atau daerah seolah sebagai formalitas belaka. Implementasinya jauh dari harapan karena tidak disertai petunjuk pelaksanaan yang jelas. Apalagi sanksi yang tegas. 

Pengaturan penggunaan Toa untuk kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat, hanya akan menjadi senjata dengan peluru hampa jika tidak disertai kesungguhan mengawalnya dengan pengawasan yang konsisten. Selamat menyambut bukan suci Ramadn 1445 H. (*)

  • Bagikan