Kursi

  • Bagikan

Oleh: M Danial

PERBINCANGAN tentang kursi mulai ramai. Beriringan dengan ancang-ancang para pemburu kursi. Bukan sembarang kursi, wajar kalau menjadi incaran banyak orang. Perburuan bakal melibatkan banyak orang demi meraih singgasana kekuasaan di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Kursi identik dengan jabatan, kekuasaan, dan martabat. Sedangkan pemburu kursi adalah mereka yang diketahui sebagai kandidat. Ada yang sudah terang-terangan memproklamirkan diri, ada juga yang masih malu-malu. Yang sudah terang-terangan sudah bisa dihitung jumlahnya. Yang masih malu-malu dan bergerak diam-diam tentu berkali-kali lipat jumlahnya. Mungkin termasuk Anda atau ada di sekitar kita.

Kursi identik dengan martabat dan kekuasaan dikenal sejak sebelum Masehi. Selain sebagai tempat duduk, kursi merepresentasikan kedudukan dalam masyarakat. Tinggi-rendahnya kursi menunjukan kedudukan seseorang.  Bentuk kursi, hiasan atau ornamen, dan bahan yang digunakan menunjukan status sosial pemakainya.

Dikutip dari berbagai sumber, pada masyarakat Mesir Kuno (3100-1070 SM) kursi sangat erat kaitannya dengan kekuasaan dan keluarga kerajaan. Yang memiliki kursi hanya keluarga bangsawan dan kerabat raja. Kursi terbuat dari bahan mewah lagi mahal, bahkan berlapis emas. Kursi keluarga kerajaan berhias ukiran dan warna yang menandakan kelasnya. Pada masa itu, rakyat biasa atau kelas bawah tidak dibolehkan memiliki kursi.

Kursi menjadi penanda status sosial keluarga kerajaan pada masyarakat Yunani Kuno (1100-400 SM). Hanya keluarga kerajaan yang diperkenankan menggunakan kursi. Bangsa Yunani Kuno mendesain kursi dengan hiasan yang indah. Dibuat dari kayu berlapis emas yang diberi nama Klymos. Banyaknya hiasan pada kursi merupakan penanda kedudukan penggunanya.

Bangsa Romawi Kuno (700-400 SM) membuat kursi dari bahan dasar perunggu atau perak. Walau banyak meniru gaya Yunani, kursi bangsa Romawi berukuran lebih besar dan berat. Diberikan pula pelapis tempat duduk untuk kenyamanan. Kursi diberi nama Curule yang digunakan para pejabat kerajaan.

Di beberapa negara Asia, seperti Jepang, Tiongkok, dan India pada abad ke-2 SM telah dikenal perabot semacam kursi yang bernilai seni tinggi. Perajin di Tiongkok membuat kursi yang disambungkan tanpa paku atau pasak, bahkan tanpa perekat seperti lem. Aneka macam kursi dibuat dengan ukiran yang indah dan bisa digunakan semua kalangan masyarakat. Bahan, bentuk, dan ukiran kursi menandakan status sosial yang menggunakannya.

Memasuki abad pertengahan di Eropa, kursi tidak lagi menjadi barang istimewa. Kursi bisa digunakan oleh masyarakat umum. Sekira 19, pembuatan kursi menggambarkan perkembangan teknologi yang pesat.

Tidak cukup satu tahun dari sekarang, yakni 14 Februari 2024 akan berlangsung Pemilu legislatif dan Pilpres. Menghadapi perhelatan politik tersebut, perburuan kursi bakal makin ramai. Perburuan kursi pada setiap pemilu, kasat mata terjadi perburuan dilakukan dengan segala cara demi meraih impian: duduk di singgasana kekuasaan.

Untuk Pemilu 2024 telah ditetapkan 580 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang tersebar di 84 daerah pemilihan (Dapil), 2.325 kursi DPRD provinsi (301 Dapil), dan 17.510 kursi DPRD kabupaten/kota (2.372 Dapil). Jangan lupa dua kursi “paling panas” untuk menjadi RI 1 dan RI 2. Selain itu, 152 kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Pilkada pada 27 November 2024 akan menjadi arena perburuan kursi kekuasaan di 38 provinsi, 415 kabupaten dan 98 kota se Indonesia. Sudah bermunculan pemburu kursi di tingkat daerah. Ada yang rajin menebar pencitraan bakal menjadi Sinterklas untuk menyelesaikan berbagai persoalan rakyat.

Kursi menjadi incaran juga di instansi-instansi pemerintahan, lembaga-lembaga negara dan pelayanan publik.

Saya teringat sebuah artikel Emha Ainun Najib dalam buku Titik Nadir Demokrasi. Cak Nun menukil seorang penulis di zaman Nabi Sulaiman AS tentang kursi.

“Kalau kursi yang kau duduki kau anggap sebagai kekuasaan, bukan untuk pelayanan, maka tunggu saatnya kau akan dikalahkan oleh si kursi. Kalau kursi kau anggap sebagai keunggulan dan bukan sebagai tanggung jawab, maka kepribadianmu akan digerogoti si kursi sampai keropos. Kalau kursi kau anggap sebagai kekuatan dan bukan amanah, maka kau akan ambruk dan dicampakan si kursi.”

Kita berharap pemburu pemburu kursi yang kini berseliweran bukan karena sahwat untuk menjadikan kursi sebagai lambang kemewahan. Bukan karena pikiran untuk menumpuk kekayaan, mengincar kekuasaan untuk menjadikan diri sebagai raja di zaman merdeka. Kursi adalah sarana untuk kemanfaatan bagi orang banyak. Perburuan kursi hendaknya sebagai ikhtiar untuk menebar kebajikan. (*)

  • Bagikan