Teladan Melarang

  • Bagikan

Oleh: M Danial

BUKA PUASA BERSAMA atau bukber bukan sekedar kumpul menikmati makanan-minuman buka puasa. Bukber sudah menjadi tradisi umat Islam Indonesia sebagai media silaturahmi keluarga, kerabat, sahabat, rekan kerja, relasi, dan sebagainya.

Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim, acara Bukber merupakan salah satu bentuk syiar Islam. Bukber disertai acara tauziah, diskusi, atau kegiatan lain untuk kemaslahatan orang banyak.

Tahun politik yang makin hangat menghadapi Pemilu 2024 seperti sekarang, Bukber menjadi momen para politisi menggelar kegiatan yang tujuannya sudah diketahui bersama.

Bukber merupakan salah satu cara menjaga tradisi dan budaya. Nilai yang penuh makna dalam tradisi Bukber sangat relevan dengan budaya bangsa kita menjunjung tinggi dan merawat silaturahmi.

Beberapa hari lalu, tepatnya sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan, ramai diberitakan permintaan Presiden Joko Widodo agar buka puasa bersama selama ramadhan 1444 H ditiadakan untuk kalangan pejabat hingga pegawai pemerintah.

Permintaan Presiden Joko Widodo tertuang dalam surat Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Nomor 38/Seskab/DKK/03/2023. Surat tersebut diteken Sekretaris Kabinet Pramono Anung, yang ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan kepala badan/lembaga pemerintah lainnya.

“Penanganan Covid-19 saat ini dalam transisi dari pandemi menuju endemi sehingga diperlukan kehati-hatian,” poin pertama surat arahan Presiden tersebut.

Poin kedua: “Sehubungan dengan hal tersebut, pelaksanaan buka puasa bersama pada bulan suci ramadhan 1444 H agar ditiadakan.”

Poin ketiga: Menter Dalam Negeri agar menindak lanjuti arahan tersebut kepada para gubernur, bupati dan wali kota. 

Walau larangan Bukber bersifat terbatas atau hanya bagi yang ditujukan dalam surat tersebut, polemik tetap terjadi dengan berbagai argumtasi yang ramai menjadi konsumsi publik.

Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono merespon arahan Presiden Jokowi tersebut.

Pandu mengapresiasi sikap pemerintah yang masih menanamkan kewaspadaan terhadap pandemi Covid-19. Namun ia menilai larangan tersebut tidak cukup kuat hubungannya dengan kehati-hatian, karena hampr 100 persen penduduk Indonesia sudah punya imunitas.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir memersilakan pemerintah melarang pejabat mengadakan buka puasa bersama. Namun harus berkesesuaian atau koheren dengan kebijakan pemerintah yang lain.

“Pemerintah juga perlu obyektif supaya tidak menimbulkan kesan kegiatan keagamaan dibatasi, sementara yang lain tidak,” kata Haedar Nasir (tempo.co 25/3/2023).

Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan tak khawatir larangan buka puasa bersama oleh para pejabat, dan tidak bakal membuat Jokowi dicap anti-Islam.

Namun Ketua Umum PBNU yang akrab disapa Gus Yahya mengatakan buka puasa bersama merupakan hal yang wajar selama digelar tidak berlebih-lebihan, apalagi bermegah-menahan.

Sebelumnya pada sebuah kesempatan, politisi Yusril Izha Mahenda kuatir larangan buka puasa bersama dapat menjadi bahan yang akan menyudutkan pemerintahan Jokowi. Lebih jauh dari itu, dapat menyebabkan Presiden Jokowi anti-islam.

Larangan Bukber (bagi pejabat dan aparat) wajar menimbulkan pro-kontra.

Kebijakan tersebut tidak arif dan tidak adil, terkesan tidak memahami makna buka puasa di bulan Ramadhan yang intinya juga untuk mendapatkan berkah ramadhan.

Arahan Presiden Jokowi soal Bukber sebagai bentuk kehati-hatian pascapandemi Covid-19 menjadi pertanyaan masyarakat. Karena instansi pemerintah sendiri sering menggelar keramaian dan kerumunan.

Presiden Jokowi pun sering berada di tengah keramaian. Seperti pada pernikahan putranya yang berlangsung mewah dan mengundang kerumunan. Kunjungan ke daerah-daerah bersama para menteri disertai kerumunan pula, malah dimobilisasi. Begitupun ketika menonton konser Deep Purple di Solo, Jawa Tengah, beberapa hari lalu.

Saat pandemi Covid-19 belum melandai seperti sekarang, saat masih berlangsung PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), banyak keramaian dan kerumunan berlangsung. Termasuk MotorGP di Mandalika, Maret 2022 lalu.

Bukber sebagai tradisi umat Islam tidak beda dengan kondangan pernikahan, pertemuan pendukung partai politik atau konsolidasi para politisi.

Jika larangan Bukber karena kehati-hatian dalam masa transisi pascapandemi Covid-19, maka diperlukan pemberlakuan yang sama untuk semua kegiatan yang menimbulkan kerumunan.

Bulan suci Ramadhan merupakan kesempatan melakukan instrospeksi dan evaluasi untuk lebih baik.

Sebaiknya juga menjadi mementum bagi penguasa memberi keteladanan kepada rakyat. Melaksanakan apa yang dikatakan, bukan mengatakan yang tidak dilaksanakan. Melarang harus disertai keteladanan.

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan yang tidak kamu kerjakan,” (QS As-Shaf 2-3). (*)

  • Bagikan