Apakah Kita Baik-Baik Saja?

  • Bagikan

“Pak, apakah ada beasiswa di UT?” tanya seorang mahasiswa kepada saya.

Oleh: Anfas (Direktur UT Majene)

Dia sedang berupaya mencari jalan keluar agar tetap kuliah di tengah himpitan ekonomi yang kini dihadapinya. Sebagai seorang guru honorer yang gajinya tidak seberapa, sudah diupayakan untuk dicukupinya dengan membuka les privat. Namun masih tetap sulit mencari biaya tambahan agar bisa tetap kuliah.

Apalagi beberapa bulan lalu, naiknya harga minyak goreng yang diikuti kenaikan harga barang lainnya, membuat masyarakat seperti dirinya harus memutar otak agar tetap makan, bisa kuliah, beli baju, transportasi dan sebagainya.

Beberapa hari yang lalu juga ada teman yang sedang mengeluhkan naiknya harga BBM. Padahal dia baru saja membeli mobil bekas, dari hasil tabungannya yang sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun.

Walau mobil bekas, sudah membuatnya bangga. Namun, barusan dibeli, harga BBM sudah melonjak naik, tentu saja membuatnya pusing. “Kayaknya nasib kita belum bisa naik kelas ke level ekonomi menengah,” keluhnya setengah bercanda.

Walau dengan nada bercanda, namun jelas terlihat di raut wajahnya kekecewaan atas kenaikan harga BBM. Apalagi saat ini, harga BBM di seluruh dunia sedang turun, mengapa justru harga BBM kita naik?

Walaupun pemeritah sudah menjelaskan bahwa naiknya harga BBM karena untuk mengurangi subsidi yang membebani APBN. Namun tetap muncul pertanyaan, subsidi yang mana yang dimaksud? Apakah untuk rakyat kecil seperti mahasiswa saya di atas?

Nyatanya ia masih kesulitan membiayai kuliahnya. Sebagai seorang guru, ia dituntut untuk meningkatkan kompetensinya, menjadi sarjana agar layak untuk mengajar. Tapi, ia harus memikul sendiri beban biayanya.

Saya jadi ingat mahasiswa saya di UT Ternate, saat dulu masih bertugas di sana. Sebagai seorang anak nelayan, besar sekali kemauannya untuk bisa kuliah.

Maka ia memasukkan berkasnya di UT karena ia mendengar di UT ada beasiswa bidikmisi (sekarang menjadi beasiswa KIP-K). Kebetulan ketika itu, harga BBM juga sedang naik, membuat masyarakat berkeluh kesah karena harga bahan pokok jadi ikutan naik.

Maka disaat sesi wawancara, saya bertanya padanya, apa pekerjaan orang tuanya dan dia menjawab ayahnya seorang nelayan tambak ikan kerapu. Tentu saja saya sangat kaget, karena tidak seharusnya ia mengeluh sebagai anak dari keluarga kurang mampu.

Sepengetahuan saya, ikan kerapu sebagai jenis ikan ekspor, harganya sangat mahal di luar negeri. Mana mungkin anak pemilik tambak ikan kerapu mengaku kekurangan biaya kuliah sehingga membutuhkan beasiswa?

Ia pun menjelaskan bahwa memang orang tuanya pemilik tambak ikan kerapu ekspor, namun harga jualnya sudah ditentukan oleh para pengusaha ikan ekspor langganan mereka. Bahkan kontrak harga sudah diteken jauh sebelum ikan dipanen. Tidak bisa lagi berubah.

Walaupun nilai jualnya di luar negeri naik, orang tuanya tetap menjual dengan harga yang sama sesuai kontrak. Tidak peduli BBM naik, harga bahan pokok naik, nilai ekspor naik, ia tetap mendapatkan harga jual ikannya sama seperti sebelum-sebelumnya.

Kasus ini juga saya dapatkan saat bertugas di Topoyo tahun lalu. Saat itu kami sedang melakukan sosialisasi UT di salah satu SLTA di sana. Usai kegiatan, saya sempat berdiskusi dengan salah satu siswi yang berkisah tentang orang tuanya yang hanya seorang petani pisang.

Kebunnya cukup luas, sehingga tiap minggu bisa panen. Namun untuk memasarkannya ke Makassar, sudah ada ‘penadah’ yang mengurusinya. Makanya, walaupun memiliki kebun yang luas, tidak menjamin mereka bisa sejahtera, karena harga pisang ditentukan oleh sang penadah, bukan oleh mereka.

Berapa pun nilai jual pisang di pasar-pasar di Makassar, tidak berpengaruh dengan ‘harga jual di tempat’, tetap sama. Dan sekali lagi, orang seperti mereka tidak punya nilai tawar.

Akhirnya saya pun mulai percaya apa yang dikatakan teman di atas. “Kayaknya nasib kita belum bisa naik kelas ke level ekonomi menengah”.

“Apakah kita sedang baik-baik saja?” tanya seorang teman saat berdiskusi. Sebab ia kurang yakin dengan membandingkan data pertumbuhan ekonomi kita yang katanya aman, tidak senyata warga yang banyak menjerit.

Dari data BPS, ekonomi Indonesia di triwulan II-2022 terhadap triwulan II-2021 tumbuh sebesar 5,44 persen (www.bps.go.id). Di saat negara lain sedang mengalami keterpurukan ekonomi pasca pandemi covid-19, kita justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif.

Namun disaat yang sama, ada warga yang juga menjerit, memprotes kenaikan harga minyak goreng dan kini juga ramai memprotes naiknya harga BBM. Mereka resah, karena pendapatan mereka tak kunjung naik, seiring naiknya pertumbuhan ekonomi nasional kita.

Kita pun sulit menyatakan jika warga miskin kita meningkat, karena dari data statistik pula, menunjukkan jumlah yang semakin sedikit. Pasca lengsernya orde baru data warga miskin 23,43 persen, kini di era pemerintahan Jokowi hanya 9,82 persen (kompas.com, 31 Juli 2018).

Lantas ada apa dengan negara kita? Mungkin jawabannya seperti apa yang pernah disampaikan Mahfud MD, Menko Polhukam kita. Bahwa masalah kita adalah keadilan dan kemakmuran (cnnindonesia.com, 17 Februari 2020).

Kata kuncinya, keadilan ekonomi yang belum merata kita rasakan. Untuk itu, saya setuju dengan Pak Mahfud, jangan pernah beranggapan bahwa kita saat ini sedang menuju Indonesia Emas, sebelum keadilan dan kemakmuran dapat kita wujudkan. Wallahu a’lam. (***)

  • Bagikan