Industri Pengolahan Kakao, Ketersediaan Bahan Baku Jamin Sustainability Produksi

  • Bagikan

MAMUJU, RADAR SULBAR – Desa Kuajang, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), menjadi episentrum untuk pengolahan industri kakao. Ini karena wilayah ini didukung ketersediaan bahan baku.

Secara umum kakao merupakan komoditi andalan di Kabupaten Polman. Lokasi indikatif di Desa Kuajang, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polman berada di tengah tengah berlimpahan bahan baku kakao. Kurang dari 100 km jarak dari lokasi indikatif menuju sumber bahan baku kakao di sekitar Sulbar.

Kakao dibudidayakan di hampir semua kecamatan di Polman dengan luas areal pertanaman 48.929,50 ha, dan melibatkan petani sebanyak 46.554 kepala keluarga (KK) pada 8 kecamatan yang merupakan sentra produksi kakao, yaitu Kecamatan Tubbi Taramanu, Bulo, Mapilli, Tapango, Luyo, Matangnga, Binuang, dan Anreapi.

Kabupaten Polman merupakan penghasil kakao terbesar di Provinsi Sulbar dengan kontribusi sebesar 47 persen dari produksi kakao Sulbar secara umum. Fakta ini menjadi jaminan ketersediaan bahan baku untuk sustainability industri pengolahan kakao.

Selain itu, pada kondisi tertentu bahan baku juga bisa diperoleh dari luar Sulbar yang berada di sekitar lokasi indikatif. Jarak terhadap lokasi ketersediaan bahan baku dari luar Provinsi Sulbar, antara lain, Kabupaten Pinrang (Jarak 40 km) dengan produksi 11.091 ton per tahun, Kabupaten Enrekang (Jarak 130 km) dengan produksi 2.124 ton per tahun, Kabupaten Wajo (Jarak 130 km) dengan produksi 10.114 ton per tahun, serta Kabupaten Luwu (Jarak 250 km) dengan produksi 22.000 ton per tahun.

Dari sisi suplly demand dan market driven dapat digambarkan potensi industri kakao di Sulbar sangat menjanjikan. Hasil rekapitulasi data ekspor kakao dalam lima tahun terakhir (2015-
2022) mengalami fluktuasi, sehingga mengalami peningkatan berkisar antara 7,31 sampai dengan 7,53 persen per tahun, sedangkan penurunan mencapai 7,11 persen.

Pada tahun 2015, total volume ekspor mencapai 355,32 ribu ton dengan total nilai sebesar US$ 1,31 miliar, menurun menjadi 330,03 ribu ton pada tahun 2016 dengan total nilai ekspor sebesar US$ 1,24 miliar. Untuk tahun 2017 total ekspor mengalami kenaikan sebesar 7,53 persen menjadi 354,88 ribu ton dibanding tahun 2016.

Produksi kakao Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Ekspor kakao Indonesia menjangkau 5 benua yaitu, Asia, Amerika, Eropa, Afrika, dan Australia dengan pangsa utama di Asia.

Pada tahun 2019, lima besar negara pengimpor kakao Indonesia adalah Malaysia, Amerika, India, Tiongkok, dan Belanda. Volume ekspor ke Malysia mencapai 80,59 ribu ton atau 22,48 persen dari total volume ekspor kakao Indonesia dengan nilai US$ 172,58 juta. Peringkat kedua adalah Amerika Serikat dengan volume ekspor sebesar 61,77 ribu ton atau 17,23 persen dengan nilai US$ 285,68 jutta.

Kemudian untuk peringkat ketiga adalah India dengan volume 28,85 ribu ton atau 8,05 persen dengan nilai US$ 82,25 juta. Peringkat keempat adalah Tiongkok dengan nilai 23,60 ribu ton atau sekitar 6,58 persen dengan nilai US$ 84,50 juta. Peringkat kelima adalah Belanda dengan volume 20,38 ribu ton atau 5,68 persen dengan nilai US$ 106,87 juta. (adv)

  • Bagikan