Budidaya Maggot: Berharap Untung Dari Belatung

  • Bagikan
Dewi bersama anaknya memindahkan median ternak maggot.

Sejak kepergian suami empat bulan lalu, Dewi tak menyerah dan tetap ingin melanjutkan usahanya, budidaya Maggot atau Belatung. Dia butuh waktu menemukan solusi atas bau yang menyebar ke tetangga, karenanya ia meminta maaf dan mengharap permakluman. Jelasnya ia tak ingin berhenti setelah berjalan satu tahun. Sebab ia percaya kelak usahanya mendatangkan keuntungan.

Laporan: Amri Makkaruba,Polewali Mandar

Salah satu persoalan yang rumit tertangani adalah sampah. Bahkan Pemerintah sampai kewalahan mencari lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), itu karena banyak masyarakat menolak hidup berdampingan dengan tumpukan sampah.

Sebaliknya, seorang Ibu Rumah Tangga Dewi justru melihat peluang ekonomi dari tumpukan sampah organik. Ia teringat dengan pengalaman saat perantauan di Papua. Seorang rekan mengajarinya budidaya maggot.

Berbekal pengalaman itulah memulai usaha budidaya maggot dengan memanfaatkan halaman kosong di belakang rumahnya untuk membangun kandang 2 X 5 meter. Awalnya bersama Sam, (Suami Dewi), namun empat bulan lalu Sam harus mengadu nasib di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Kini Dewi hanya ditemani anaknya menjalankan usahanya.

Setidaknya tiga kali dalam sepekan, Dia mengumpulkan berkarung-karung sampah organik untuk dibawa pulang ke rumahnya. Tak peduli dengan tanggapan warga sekitar rumahnya, di Kelurahan Darma, Kecamatan Polewali. Ketika ada yang bertanya, ia hanya menjawab sampah yang dikumpulkan untuk keperluan pakan ternak.

Kepada penulis Dewi menjelaskan, sampah organik yang dikumpulkan terlebih dahulu dicacah kemudian difermentasi. Proses pencacahan masih dilakukan secara manual karena keterbatasan sarana. Maggot dewasa nantinya akan berubah menjadi lalat hitam. Lalat tersebut kemudian dimasukkan ke tempat khusus mirip kandang yang terbuat dari kelambu. Lalat hitam inilah nantinya yang akan bertelur menjadi larva maggot.

Usaha Budidaya Maggot yang dikelola Dewi bisa memanen dua kali sebulan. Tentunya dengan pengawasan rutin mengantisipasi incaran ayam dan tikus.

“Saya pernah sampai nangis-nangis, soalnya waktu itu banyak maggot yang baru dipersiapkan menjadi bibit, malah habis dimakan ayam sama tikus. Terpaksa saya pungut satu-satu terus dikumpulkan lagi,” beber Dewi.

Ditanya soal bantuan, Dewi menginginkan mesin pencacah sampah. Bukan berarti menantikan bantuan membuat harapannya tertunda.

Harapan terbesarnya usahanya itu tidak dianggap seperti cangkul, pasir yang digali hanya bertumpuk di suatu tempat. Ia ingin usahanya berjalan seperti filosofi sekop, menyodok tanah lalu ditempatkan atau serak ke tempat lain, begitupun usahanya, tak hanya menguntungkan dirinya melainkan banyak orang yang merasakan manfaatnya.

Dewi mengatakan, saat ini belum dapat menjual maggotnya. Dia masih ingin mengembangkan bibit maggot yang ia rawat. Apalagi wadah untuk menampung bibit maggot masih banyak belum terisi. Soal pasokan sampah tak akan ada habisnya. (*)

  • Bagikan