Jalan Sungsang Merawat Suratkabar

  • Bagikan

SAAT idiom pesimis menggempur bahwa koran akan segera mati dan digantikan media berbasis internet (daring) dan elektronik. Kami memilih optimis menjaga percikan api dengan idealisme per-suratkabar-an di koran pertama di Sulawesi Barat ini, dengan melakukan langkah pengembangan yang lebih baik.

Oleh : Jasman Rantedoda
(Redpel Harian Radar Sulbar)

Kata kuncinya adalah optimis dan dua pernyataan berikut menggambarkan hal tersebut; Pertama, dari Sekprov Sulbar, Muhammad Idris “Kemajuan Radar Sulbar adalah juga kemajuan Sulbar sebab daerah ini membutuhkan edukasi,”. Kedua, dari Pj Gubernur Sulbar, Akmal Malik; “Semoga Radar Sulbar terus menjadi media independen, menjadi mitra pemerintah dan memberikan informasi yang baik untuk Sulbar.

Independen dalam konteks pernyataan tersebut saya menagkapnya dalam makna kemandirian, ia diikuti dengan kata kemitraan yang berarti bahwa Radar Sulbar dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik tetap harus berada dalam konteks dan koridor ke-Sulbar-an. Ia otonom tetapi tidak berdiri sendiri secara mutlak dan terpisah dari “rumah besar” provinsi ke-33 ini.

Harian Radar Sulbar, mandiri dengan dipundaki kewajiban untuk mencerdaskan masyarakat Sulbar melalui fungsi-fungsi edukasi, informasi yang valid, sehat dan berimbang. Tujuannya adalah untuk kemajuan Provinsi Sulawesi Barat dalam bingkai kehidupan yang demokratis.

Namun harus digaris bawahi lebih awal bahwa berkepentingan menjaga dan memajukan daerah, tentu tidak berarti menihilkan kritik. Kabut rumor yang mengeliliingi elit politik/pejabat daerah dalam situasi yang sudah mendidih, tak boleh terus dibiarkan mengambang dan ambigu yang hanya akan menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat.

Sebab rumor jika sudah sampai pada titik didihnya kemudian diterpa agitasi dan provokasi yang memang dihembuskan untuk tujuan merusak, pada gilirannya akan meledak. Jika tidak segera disusul pemurnian informasi, akibatnya akan fatal. Pada titik inilah harian Radar Sulbar, mengambil peran vital.

Prospek Suratkabar

Berpikir dengan kalkulasi matematis memang hampir mustahil mengharapkan media cetak bisa survive di tengah gempuran media cyber dan teknologi digital yang kini memasuki era 5.0. Biaya produksi koran tidak murah, belum lagi dengan mata rantai pekerja suratkabar yang tidak bisa dilakukan satu dua orang yang mungkin bisa dilakukan media cyber.

Industri surat kabar terhubung dengan baik dalam satu mata rantai dari direktur (bahkan komisaris) sampai loper. Tidak ada yang sifatnya paling penting terhubung hingga kios-kios koran di sudut kota.

Loper yang setia menunggu koran tiba untuk diantarkan pada pembaca, bakan ketika fajar belum reka di ufuk timur dan sang nenek yang duduk sejak pukul lima pagi, di kios korannya. Semua saling terhubung.

Pagi kemudian para wartawan mulai berhamburan meliput, sore pararedaktur mengedit, malam barisan layout mendesain halaman hingga larut. Percetakan bekerja sampai dinihari, sopir menunggu selesai cetak untuk didistribusikan. Bekerja nyaris 24 jam dengan segala resiko. Demikianlah media cetak yang terlahir dengan nama Radar Mandar ini, menjalani hari-hari selama 18 tahun.

Lantas apakah media cetak masih akan bertahan 10-20 tahun ke depan?. Itulah pertanyaan umum yang selalu mengemuka dikalangan penerbit media cetak tahun-tahun belakangan ini. Apalagi Bill Gates, pernah meramalkan bahwa tahun 2000 media cetak akan mati. Demikian juga Philip Meyer, mengatakan di Amerika Serikat, koran terakhir akan terbit pada kuartal pertama 2043 dan seterusnya koran cetak tidak akan ada lagi. Ramalan keduanya bergema hingga ke Indonesia.
Tetapi Radar Sulbar telah mematahkan ramalan Bill Gates sebab hingga tahun 2022 ini, Radar Sulbar, masih tetap terbit. 22 tahun melampaui ramalan tersebut. Kelak nanti ramalan Meyer juga akan patah.

Apa resepnya?, dari pada mengurusi ramalan, para penerbit lebih memilih melakukan langkah-langkah pengembangan yang lebih baik. Salah satunya melakukan survei masa depan media cetak yang dilakukan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) dan dilaksanakan oleh LP3ES pada 15 kota di Indoesia (Makassar, Medan, Pekanbaru, Batam, Palembang, Padang, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Jogyakarta, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Banjarmasin dan Manado), terbagi secara quota antara responden remaja (usia 12-18 tahun) dan responden dewasa (usia 18 tahun ke atas), maupun secara gender (50,1 % laki-laki dan 49,9 % perempuan).

Survei yang dilakukan dengan sangat meluas itu dimaksudkan untuk mendapat gambaran (bukan ramalan) secara utuh tentang prospek media cetak di Indoensia.

Responden survei ini meunjukkan bahwa seluruhnya mengakses media cetak. Disamping media cetak, mayoritas dari mereka (95,9 %) juga mendpatkan informasi dari media elektronik (2,3 % mendengarkan radio) selebihnya menonton televisi.

Suratkabar boleh dibilang masih jadi idola, 91 % responden adalah pembaca suratkabar harian. Tabloid berada diperingat ke dua dengan jumlah pembaca 13,6 %, disisul majalah bulanan 9 % dan majalah mingguan 7,3 %.

Berapa lama mereka mebaca media cetak? Secara umum pembaca suratkabar harian menghabiskan 4 jam per minggu atau setara 34 menit per hari. Pembaca majalah 30 menit per hari dan 27 menit per hari untuk pembaca tabloid.

Kebutuhan membaca media cetak secara garis besar karena dorongan kebutuhan informasi. Dengan distribusi pada surat kabar 86,9 %, majalah 68,7 %, dan tabloid 6,3 %. Secara khusus majalah dan tabloid bahkan memperoleh dorongan masing-masing 24,6 % dan 23,6 % dari pembaca yang memang gemar membaca.

Reponden yang tidak berlangganan media cetak, mayoritas menempuh dengan membeli eceran. Untuk surat kabar 64,2 %, majalah 24,5 %, dan tabloid 20 %. Kalau tidak membeli eceran di jalan, pilihan lainnya adalah meminjam teman, membaca di kantor dan membaca di perpustakaan.

Kedigdayaan Koran daerah terbukti secara empiris melalui survei ini, sebanyak 91,4 % responden membaca Koran daerah sedangkan yang membaca Koran nasional hanya 8,6 %. Itu rasional sebab populasi Koran nasional (yang terbit dari Jakarta) kalah jauh dengan populasi Koran daerah.

Pada kelompok responden remaja, mereka yang membaca suratkabar daerah sebanyak 91,2 % dan hanya menyisakan 8,8% untuk suratkabar nasional. Proporsi yang sama terjadi pada kelompok responden dewasa, membaca suratkabar nasional 8,6 % dan 91,4 % pembaca suratkabar daerah.

Survei ini menujukkan bahwa media cetak mempunyai pembaca yang loyal, berbeda dengan motif orang menonton TV, mendengarkan radio atau mengakses internet.

Jika dihubungkan dengan produksi buku di Asia, seperti Jepang dan Cina yang mencapai 40 ribu hingga 140 ribu judul buku setiap tahun dan di Indoensia 18 ribu judul, maka prospek media cetak masih mehamilkan harapan yang berpotensi melahirkan jika mendapat sentuhan kreatif dan pengembangan yang tepat.

Pada akhirnya kepada para pembaca harian Radar Sulbar yang terhormat, kami menghaturkan terima kasih tak terhingga, berkat para pembacalah kami masih bisa bertahan sampai detik ini. Wassalam.(**)

  • Bagikan