Lepa-lepa Race, Jejak Peradaban Bahari di Kota Tua

  • Bagikan

“Jejak Peradaban Bahari di Kota Tua”, demikian tema yang diusung “Lepa-lepa Race”, kegiatan perdana Festival Kota Tua Majene 2022, 7 – 8 Mei 2022. Dilangsungkan di bagian muara sungai kecil yang membelah Kota Majene. Kegiatan di lapangan dilaksanakan dikoordinir putera Rangas, Nasaruddin, yang dibantu teman-temannya dari Komunitas Rintara Jaya Sulbar.

Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin

Meski hanya diikuti 20-an individu pelaut, cuma dua hari dan jarak lomba 100 meter saja, tapi dari sambutan masyarakat (penonton), itu seperti seteguk air bagi penggemar lomba perahu Sandeq Race, yang tiga tahun terakhir tak dilaksanakan karena pandemi.

Lepa-lepa adalah jenis perahu paling sederhana yang terbuat dari batang kayu yang bagian tengahnya dikeruk. Ukurannya tergantung pada besarnya diameter pohon yang akan digunakan sebagai bahan baku. Namun umumnya berukuran tiga sampai empat meter panjang, lebar 0,5 meter, kedalaman lambung 0,40 meter, dan tebal lambung sekitar dua cm. Untuk menggerakkannya digunakan “bose” (dayung) yang juga sebagai kemudi.
Lepa-lepa yang digunakan sebagai sarana untuk menangkap ikan di pantai, kadang ditambahi alat penstabil yakni “palatto” (katir) untuk penyeimbang. Daya muat satu sampai tiga orang. Untuk mengemudikan lepa-lepa dibutuhkan keterampilan khusus, yaitu dalam hal mengemudikannya dan menyeimbangkan untuk yang tidak menggunakan cadik.

Jika dibawa di kapal lebih besar (kappal paqgae dan bodi-bodi), lepa-lepa digunakan memperluas areal memancing ketika berada di daerah penangkapan ikan (fishing ground), misal ketika mengikat di rumpon. Nah inilah yang memberi ciri khas pada armada pemburu tuna nelayan Mandar ketika menangkap ikan di daerah lain, misal di Teluk Bone, Laut Banda, Laut Sulawesi dan perairan Lombok. Kapal-kapal dari Mandar di atasnya termuat beberapa unit sampan yang rampin, ringan, tipis dan desainnya hidrodinamis. Sampan dari Mandar sangat berbeda dengan sampan pada umumnya di Nusantara.

Tapi kalau lepa-lepa dibawa oleh kapal niaga, seperti pinisi, palari dan lete (sekarang sudah tidak ada), lepa-lepa yang dibawa ukurannya lebih panjang, tebal, dan amat berat. Itu karena lepa-lepa dibuat lebih kuat, tidak gampang pecah saat dinaik-turunkan dari kapal; ketika lepa-lepa dibuang ke laut.
Lepa-lepa hampir selalu berwarna putih, tapi bisa ditemukan satu dua kasus berwarna hijau atau biru. Berwarna putih karena warna itu bisa memantulkan panas, sehingga sampan tidak cepat pecah/retak karena lama terpapar panas matahari.

Nelayan Mandar, mulai yang masih kecil/remaja sampai yang dewasa, sangat lincah mengemudikan lepa-lepa, mulai dari keadaan laut yang tenang sampai yang berombak besar. Keterampilan menyeimbangkan lepa-lepa juga sangat dibutuhkan pada saat nelayan sedang melakukan kegiatan penangkapan ikan (dengan pancing) di atas lepa-lepa atau membawa muatan, baik barang maupun manusia. Nelayan Mandar yang lincah mengemudikan lepa-lepa seperti ada giroskop (teknologi penyeimbang) di dalam tubuhnya.

Untuk menjadi seorang nelayan Mandar, seorang laki-laki harus memiliki beberapa keterampilan selain keberanian, ketabahan, dan kekuatan fisik yang umum dimiliki oleh nelayan. Ada beberapa syarat yang mungkin hanya terdapat di kalangan komunitas pesisir Mandar dan tidak terdapat di daerah lain. Atau dengan kata lain, persyaratan tersebut adalah khas Mandar. Yang dimaksud dengan persyaratan di sini bukanlah syarat yang harus dibuktikan lewat sebuah ujian formal, melainkan kemampuan yang memang harus dimiliki seseorang jika ingin mencari nafkah dari laut yang didapatkan secara ‘alami’. Beberapa ketentuan tersebut, salah satunya adalah mengemudikan lepa-lepa.

Belum diketahui kenapa sampan di Mandar diistilahkan “lepa-lepa”. Dari peristilahan, kalau cuma kata “lepa”, itu berarti bahan pelapis lambung perahu. Sebelum ada cat sintetis, yang digunakan adalah adonan yang terbuat dari kapur karang dan minyak kelapa. Tujuannya agar kedap air dan tidak mudah ditembus teritip karang. Kegiatan melapisi perahu dengan “lepa” disebut “mallepa”. Adapun istilah di Bajau yang ada di Sulawesi Tenggara, “malepa” berarti ‘naik sampan’. Memang di beberapa suku maritim di Nusantara, juga menggunakan istilah “lepa-lepa” untuk menyebut sampan. Misal di Makassar. Jadi bukan hanya di Mandar saja.

Fungsi utama perahu, termasuk lepa-lepa, yang masih tersisa di masyarakat Mandar adalah dalam kegiatan penangkapan ikan. Perahu dalam berbagai ukuran/jenis digunakan dalam berbagai aktivitas penangkapan ikan. Perahu menjadi fungsi utama dalam kegiatan perikanan disebabkan masyarakat Mandar (yang melakukan kegiatan perikanan) masih berorientasi pada alam, yaitu berburu.

Perahu sebagai salah satu bagian dari alat tangkap dioperasikan di segala bagian laut, baik di perairan pantai (berkarang) maupun di laut lepas; dilakukan oleh satu orang sampai beberapa orang; dengan tenaga angin atau dengan mesin; dan trip dari yang cuma beberapa jam sampai beberapa hari. Jenis perahu yang paling umum adalah lepa-lepa, yang digunakan hampir di semua operasi penangkapan dan mayoritas nelayan memiliki lepa-lepa secara pribadi.

Kaitannya dalam kegiatan penangkapan ikan, perahu dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk memperoleh sumber pendapatan, mulai dari ukuran kecil (lepa-lepa) sampai yang berukuran besar (sandeq, baqgo, dll).

Ada istilah yang dikenal oleh komunitas nelayan Mandar: “Muaq basemi bose, pirumbumi tuqu lapurang” (Jika dayung telah basah, maka berasaplah dapur). Makna dari kalimat tersebut adalah, jika nelayan pergi melaut baik itu lepa-lepa maupun kappal; hanya beroperasi di pantai maupun laut lepas; bersama dengan nelayan lain atau bekerja sendiri, nelayan akan memperoleh pendapatan yang dapat menghidupi keluarganya.

Dari segi bentuk, secara umum ada dua jenis perahu yang ada di Mandar, yaitu yang menggunakan cadik dengan yang tidak menggunakan cadik. Perahu yang menggunakan cadik meliputi: olanmesa, pakur, kale-kalebasang, soppe-soppe, sandeq, katitting, dan “lepa-lepa tipalattoi”. Yang tidak menggunakan cadik adalah baqgo, kappal, dan bodi-bodi.

Teknologi sampan Mandar berevolusi dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya penggunaan material lem resin dan daya muat kapal induk pemburu tuna nelayan Mandar. Puncak teknologi kemaritiman yg “secuil” ini dirayakan dalam Lepa-lepa Race di Festival Kota Tua Majene.

Lomba sampan Mandar “Lepa-lepa Race” menjadi salah satu even penting di Festival Kota Tua Majene yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat. Lepa-lepa adalah bagian dari peradaban kemaritiman Mandar; Majene dijadikan ibukota Afdeling Mandar oleh Belanda karena memiliki pelabuhan yang aman; disebut Majene krn kawasan ini “majeqneq”, tempat yg berair. Berair karena di sini bermuara sungai kecil, yg sekarang lebih seperti kanal dibanding sebuah sungai. Dulunya di kawasan ini lepa-lepa menjadi kebutuhan penting sebagai transportasi lokal dan alat ekonomi, misalnya untuk menyeberang sungai dan menangkap ikan.

Lepa-lepa Race di Festival Kota Tua Majene diikuti pelaut-pelaut muda di beberapa kampung nelayan di pesisir Teluk Majene. Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak pesisir belajar mendayung, diantaranya “mencuri pakai sampan yang didaratkan di pantai”. Menurut panitia, umur peserta dibatasi. Diperuntukkan khusus anak muda, 17 – 30 tahun. Harapannya itu bisa menjadi tolak ukur bahwa di Mandar masih terjadi pewarisan ilmu pengetahuan kemaritiman.

Lomba tersebut bisa menjadi langkah awal menjadikan sungai sebagai bagian dari pengelolaan kota. Jika sungai bersih, maka di situ bisa dilangsungkan banyak aktivitas, misal lomba perahu. Kan tidak elok ketika ada banyak sampah di sungai. Akan menyusahkan peserta dan tidak pemandangan tidak oke ketika kita sebagai penonton malah banyak melihat sampah di sungai.

Namun yang lebih penting adalah, kegiatan itu menjadi ruang memberi apresiasi bagi nelayan kita. Jarang-jarang lho mereka diberi ruang, menjadi pusat perhatian, dipanggil ke atas panggung dan diberi penghargaan. Mudah-mudahan Lepa-lepa Race bisa mengikuti jejak Sandeq Race sebagai even yang memberi tempat terhormat bagi pelaut Mandar.

Ke depan lomba-lomba lepa-lepa akan digalakkan. Misalnya melibatkan siswa SD sebagai peserta. Agustus sudah dekat. Di bulan itu ada perayaan Hari Kemerdekaan dan Hari Jadi Kabupaten Majene. Akan luar bisa, dan menjadi penanda bahwa Majene adalah “kota air”. Tentu seru bukan main kalau ada perwakilan antar SD, SMP dan SMA (sederajat) yang berkompetisi mendayung lepa-lepa di Sungai Majene. (*)

  • Bagikan