Buya Syafii Lebih dari Sekadar Tokoh Muhammadiyah, Keteladanannya Diakui Banyak Orang

  • Bagikan
Jenazah Buya Syafii Maarif dibawa menuju peristirahatan terakhir. --dok jpnn--

YOGYAKARTA, RADARSULBAR – Wafatnya Buya Syafii Maarif bukan hanya menjadi duka yang mendalam bagi warga Muhammadiyah, tetapi juga dirasakan oleh semua golongan di Indonesia.

Begitu tersebar kabar duka bahwa mantan Ketum PP Muhammadiyah itu telah meninggal dunia, berduyun-duyun orang berdatangan ke tempat persemayaman di Masjid Gede Kauman, Kota Yogyakarta.

Mulai dari orang biasa hingga Presiden Joko Widodo, bergantian menyalati jenazah Buya Syafii Maarif.
Mengenang bahwa tokoh yang satu ini telah begitu banyak jasanya terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Tidak semua orang yang datang ke Masjid Gede Kauman mengenakan peci, sarung, atau baju koko.

Tampak membaur di antara mereka para Rohaniawan Kristen, Katolik, dan para Biksu lengkap dengan atribut masing-masing.

Mereka memiliki tujuan yang sama, yakni memberikan penghormatan terakhir kepada sosok yang amat dicintai, cendekiawan Muslim pemilik nama lengkap Ahmad Syafii Maarif.

Pendiri Maarif Institute itu wafat pada Jumat (27/5) pukul 10.15 WIB di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Gamping, Kabupaten Sleman.

Meski pernah menakhodai PP Muhammadiyah sejak 1998 sampai 2005, Buya Syafii tampaknya bukan sekadar terlahir sebagai tokoh penting di salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia itu.

Melalui pemikiran dan konsistensi dalam mengampanyekan perdamaian, serta sikap inklusif dalam beragama selama hidupnya, Buya Syafii telah menjelma menjadi jangkar perekat keutuhan umat dan masyarakat di Indonesia.

“Beliau selalu berpesan kepada kami agar menjaga keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah, dan keutuhan umat,” ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam pidato penghormatan terakhir untuk almarhum.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Najib Azca menyebut mendiang Buya Syafii sebagai satu dari sedikit tokoh Muslim di Indonesia yang konsisten mengampanyekan nilai-nilai perdamaian hingga akhir hayatnya.

Menurut dia, tokoh bersahaja kelahiran Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat pada 31 Maret 1935 itu merupakan intelektual yang sangat kuat memegang konsep toleransi dan perdamaian antaragama.

“Beliau tidak peduli dengan cemooh, bahkan kadang dirundung habis-habisan karena memegang teguh prinsip yang dimiliki,” ujar Najib yang juga Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Dalam berbagai kesempatan, mendiang Buya Syafii selalu mengingatkan bahwa agam Islam diturunkan Tuhan ke bumi melalui Nabi Muhammad saw untuk membangun peradaban di muka bumi sebagai rahmat untuk seluruh alam.

Menurut Najib Azca, Buya Syafii merupakan tokoh yang secara tulus menggunakan daya intelektualnya untuk memikirkan masa depan dan peradaban bangsa dengan mengedepankan kepentingan jangka panjang.

Sikap demikian itulah yang menjadikan mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) itu menjadi sosok yang amat dicintai berbagai kalangan.

“Kita bisa melihat betapa Pak Syafii dapat diterima amat sangat luas oleh semua kelompok, baik itu Muslim maupun nonmuslim. Semua komunitas agama saya kira memberikan hormat yang amat sangat tinggi kepada beliau,” kata dia.

Wakil Uskup Urusan Fikep Kategorial Keuskupan Agung Semarang Yohanes Dwi Harsanto atau Romo Santo menceritakan kenangan yang tak pernah ia lupakan dengan Buya Syafii.

Kenangan itu adalah kala peristiwa penyerangan kegiatan ibadah di Gereja Santa Lidwina Bedog Kabupaten Sleman pada 2018.

Almarhum saat itu langsung mengendarai sepeda dari kediamannya dan mengecek kondisi gereja.

“Ketika gereja kami Santa Lidwina Bedog diserang teroris beliau langsung naik sepeda menuju gereja. Beliau malah mendahului saya,” tutur Yohanes.

Bagi Romo Santo, sikap dan komitmen almarhum untuk menjaga hubungan antaragama di Indonesia tetap damai tidak sekadar diutarakan melalui tulisan maupun pidato, melainkan melalui tangan, kaki, dan badan.

“Beliau tokoh Muhammadiyah dan antaragama. Saya merasa beliau bapak penuh perdamaian. Bapak damai, mewartakan damai yang berdamai berdasarkan keadilan dan martabat manusia,” ujar dia.

Tak jauh dari serambi Masjid Gede Kauman, sejumlah biksu dengan mengenakan jubah kuning tampak berdiri khidmat.

Kepada awak media mereka menyampaikan rasa kehilangan kepada sosok mendiang yang mereka anggap sebagai salah satu panutan.

“Kami merasa sangat kehilangan tokoh bangsa yang selama ini kami teladani,” ujar Sekretaris Wilayah DIY Sangga Agung Indonesia Biksu Badra Paluh Tera.

Bagi Biksu Badra, Buya Syafii merupakan tokoh Muslim yang dalam dakwahnya selalu mengangkat nilai nasionalisme dengan merangkul dan mengayomi semua meski berbeda suku, ras, dan agama.

Presiden Jokowi yang turut hadir ke Masjid Gede Kauman dalam pidatonya tanpa ragu menyebut bahwa Buya Syafii sebagai “Guru Bangsa”.

“Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan menyuarakan tentang toleransi antarumat beragama dan selalu menyampaikan pentingnya Pancasila sebagai perekat bangsa,” ujar Jokowi.

Seusai disalati di Masjid Gede Kauman, jenazah Buya Syafii dibawa menuju peristirahatan terakhir di Taman Makam Husnul Khotimah Dusun Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo. (jpnn)

  • Bagikan