Jemaah di Atas 65 Tahun Bisa Berhaji, Wapres Ingatkan Besaran Subsidi dari BPKH

  • Bagikan
SELESAI UMRAH: Calon jemaah haji di Indonesia menyeberang jalan di kawasan Mahbas, Makkah, setelah beribadah di Masjidilharam kemarin. --Foto: Naufal Wigi/Jawapos--

JAKARTA, RADAR SULBAR – Kepastian kuota haji bagi Indonesia untuk tahun ini akhirnya diketahui. Kemarin (8/1) pemerintah Arab Saudi menyetujui kuota haji Indonesia sebanyak 221 ribu jemaah.

Keputusan tersebut tertuang dalam nota kerja sama yang disahkan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dengan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F. Al Rabiah di Jeddah. ”Saya hari ini (kemarin, Red) menandatangani kesepakatan haji dengan menteri haji Saudi. Kuota haji Indonesia tahun ini sebesar 221 ribu,’’ kata Yaqut melalui keterangan resmi Kementerian Agama.

Kuota tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan musim haji 2022. Sebagaimana diketahui, tahun pertama penyelenggaraan haji pascapandemi Covid-19, Indonesia hanya mendapatkan jatah kuota haji 100.051 orang. Kuota haji tahun ini sama dengan kuota pada 2019 sebelum ada pandemi.

Yaqut bersyukur atas penandatanganan nota kesepahaman tersebut. Hal itu sekaligus menandakan dimulainya musim haji 2023.

Kemenag langsung membagi kuota yang diterima tersebut untuk jemaah haji reguler dan khusus. Tahun ini kuota haji reguler dipatok 203.320 jemaah. Kuota haji khusus 17.680 orang. Kemudian, tahun ini kuota untuk petugas haji secara keseluruhan 4.200 orang.

Kebijakan lain yang diatur dalam perjanjian itu adalah pendaratan jemaah menggunakan bandara Jeddah dan Madinah seperti selama ini. Kemudian, tidak ada pembatasan usia. Berbeda dengan tahun lalu yang membatasi usia jemaah haji maksimal 65 tahun. ”Artinya, jemaah usia 65 tahun ke atas juga dapat berangkat haji tahun ini,” jelasnya.

Pertemuan dengan menteri haji dan umrah Arab Saudi juga dimanfaatkan Yaqut untuk melobi tambahan kuota haji. Pertimbangannya, antrean haji di Indonesia sangat panjang. Dia berharap pemerintah Saudi bersedia memberikan tambahan kuota haji untuk Indonesia.

Menteri Tawfiq merespons positif usul tambahan kuota haji itu. Namun, keputusan kuota haji ada di tangan Raja Salman. Dia menegaskan, pemerintah Arab Saudi berupaya menjalankan penyelenggaraan haji dengan mengutamakan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan. Apalagi, tahun ini menandakan kuota haji kembali normal seperti sebelum ada pandemi Covid-19. ”Namun, saya katakan, Indonesia akan selalu mendapatkan prioritas utama dalam memperoleh kuota tambahan,” ujarnya.

Kuota tambahan itu bisa berasal dari keputusan negara lain yang mengurangi kuota jemaah hajinya. Sisa kuota itu kemudian diberikan ke Indonesia.

Tawfiq mengatakan, salah satu kebijakan baru tahun ini adalah dihapusnya muasasah sejenis badan atau yayasan yang menaungi urusan teknis penyelenggaraan haji. Sebagai gantinya, penyelenggaraan haji dari sisi Arab Saudi dilakukan syirkah atau perusahaan yang ditunjuk. Setiap negara pengirim jemaah haji dapat memilih syirkah sebagai mitranya.

Dengan skema tersebut, kata Tawfiq, ada persaingan harga layanan haji satu syirkah dengan syirkah lainnya. Dengan begitu, ada peluang negara pengirim jemaah mendapatkan harga dan layanan terbaik. Syirkah yang tidak menjalankan tugas dengan baik akan dikenai sanksi oleh pemerintah Saudi.

Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai kuota haji memang sudah seharusnya kembali normal. Sebab, situasi saat ini berangsur normal. Pemerintah, khususnya Kemenag, saat ini harus menyiapkan diri untuk memberangkatkan jemaah haji dengan jumlah normal.

Menurut dia, masalah penanganan haji bukan persoalan yang gampang. Termasuk dalam penetapan ongkos berangkat haji. ”Ongkos hajinya supaya lebih rasional,” katanya.

Subsidi yang diberikan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) harus dihitung dengan cermat. Tidak seperti haji pada 2022 dengan nilai subsidi lebih dari 50 persen dari ongkos riil haji. Sebagaimana diketahui, biaya riil haji tahun lalu sekitar Rp 100 juta per orang. Tetapi, jemaah hanya membayar uang sekitar Rp 40 juta.

Ma’ruf berharap subsidi biaya haji tidak terlalu besar. Sebab, bisa menggerus habis dana haji yang dikelola BPKH. Akibat dalam jangka panjang, calon jemaah haji di antrean belakang tidak kebagian uang hasil pengelolaan dana haji. Wapres menekankan rasionalisasi subsidi biaya haji demi keberlanjutan pengelolaan dana haji di BPKH.
Kebijakan Umrah

Wapres Ma’ruf Amin turut menanggapi polemik kebijakan daftar umrah dan haji khusus wajib menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan. Menurut dia, selama kebijakan itu membawa kebaikan untuk menjamin sesuatu yang lebih bermaslahat, tidak ada masalah.

Mantan ketua umum MUI itu mengatakan, semua orang pada waktunya harus siap bergabung menjadi peserta BPJS Kesehatan dalam rangka sistem jaminan kesehatan nasional (JKN).

Sementara itu, suara keberatan atas kebijakan tersebut terus bermunculan dari travel umrah. Mereka khawatir akan potensi masalah yang mungkin muncul.

Ketua Umum Kebersamaan Pengusaha Travel Haji Umrah (Bersathu) Wawan Suhada menyatakan, dalam implementasinya, kebijakan itu berpotensi menimbulkan banyak masalah. Misalnya, seorang karyawan yang ternyata status BPJS Kesehatan tidak aktif akibat kelalaian tempat bekerjanya. ”Saat mau daftar umrah, tiba-tiba tahu BPJS-nya tidak aktif,” katanya. Ketika mau mengaktifkan kembali, dia sudah terbebani tunggakan yang cukup banyak. Akibatnya, cost keberangkatan umrah bertambah.

Masalah lainnya, ada seorang pimpinan perusahaan yang gagal berangkat umrah gara-gara tidak terdaftar BPJS Kesehatan. Padahal, di satu sisi, yang bersangkutan memiliki paket asuransi kesehatan premium dari lembaga swasta. ”Dari aspek kesehatan, mereka ini terlindungi,” ujarnya.

Wawan menilai kebijakan itu sebuah kemunduran. Menurut dia, yang diperlukan jemaah umrah adalah perlindungan layanan kesehatan saat berada di Saudi. Sementara itu, BPJS Kesehatan tidak bisa meng-cover layanan tersebut.

Terpisah, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menuturkan, kewajiban terdaftar sebagai peserta JKN saat mendaftar umrah dan haji khusus tersebut sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022. Yang mengamanatkan kepada 30 kementerian/lembaga, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota, untuk mengambil langkah-langkah strategis sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan optimalisasi pelaksanaan program JKN-KIS. ”Tentu ini termasuk Kemenag,” ujarnya kemarin.

Kebijakan tersebut, kata dia, seharusnya tidak menjadi persoalan. Mengenai perusahaan yang lalai tidak membayar iuran bagi pekerjanya yang kebetulan akan umrah, menurut mantan wakil menteri kesehatan itu, pekerja tinggal mengingatkan. Kalaupun mendesak dan administrasi di perusahaan membutuhkan waktu, calon jemaah umrah bisa menalangi untuk kemudian dibicarakan lebih lanjut dengan perusahaan. ”Administrasi (aktivasi kepesertaan, Red) sangat mudah asal dibayar sangat cepat,” jelasnya.

Berbeda perkara dengan mereka yang memang enggan menjadi peserta. Atau, mereka yang saat ditanya jawabannya tidak mampu, tapi akan berangkat umrah. (jpg)

  • Bagikan