SEORANG gadis cilik penyandang disabilitas. Dilahirkan tanpa kedua tangan. Kaki kirinya hanya sebatas lutut. Sedangkan sebelah kanan sebatas mata kaki yang menyanggah tubuh mungilnya.
Oleh: M Danial
Gadis cilik itu sangat berharap bisa bermain seperti anak-anak seusianya. Bisa ke sekolah sendiri, tanpa harus digendong orang tuanya. Gadis cilik itu bernama Fitriani, warga Dusun Tapparang, Desa Taramanu Tua, Kecamatan Tubbi Taramanu, Polewali Mandar.
Setelah delapan tahun menjalani hari-harinya dengan segera keterbatasan, kini ia merasa lega. Harapan dan doa kedua orang tuanya, Aco dan Ida terjawab dengan bantuan sepasang kaki palsu dari pihak yang peduli nasibnya. Bantuan diperoleh dari hasil penggalangan donasi salah satu stasiun televisi swasta melalui program “Berbuat Baik”.
Senyum bahagia terpancar di wajah Fitriani saat mencoba dan belajar menggunakan kaki palsu, akhir pekan lalu. Harapan untuk menjalani hari-harinya, sebagaimana anak-anak yang memiliki tubuh sempuna, bukan sebatas mimpi lagi.
Kedua orang tuanya pun tidak perlu lagi “mengemis” tanpa hasil, berharap kepedulian para dermawan untuk membantu putrinya. Pasangan Aco dan Ida, sangat bersyukur dan berterima kasih atas bantuan kaki palsu untuk putrinya. Wujud kepedulian dermawan yang jauh dari kampung terpencil di pegunungan Polewali Mandar.
Bantuan para dermawan yang sungguh-sungguh memiliki kepedulian, walau sebatas melihat tayangan televisi tentang potret keseharian anak-anak keluarga yang nasibnya tidak beruntung, mengindikasikan hilangnya rasa kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap masalah sosial di sekitarnya.
Kepedulian pada masalah sosial, hanya terlihat untuk kepentingan politik. Pencitraan ramai pada waktu tertentu. Misalnya pada musim kampanye pemilu atau pilkada. Kondisi gadis cilik Fitriani sebagai penderita disabilitas, seharusnya menjadi perhatian sejak awal. Setidaknya untuk meminimalkan keterbatasan yang mendera gadis cilik itu.
Sebagai warga masyarakat yang berhak mendapat perhatian pemerintah. Sangat disesalkan, sikap petugas kesehatan dan aparat pemerintah setempat yang sulit untuk tidak menyebut pembiaran. Mereka beralasan kondisi Fitriani merupakan cacat sejak lahir. Sulit untuk dipulihkan.
Sulit pula untuk mengatakan sikap seperti itu bukan bentuk diskriminasi. Sedangkan UU Penyandang Disabilitas dan UU Perlindungan Anak dengan berbagai regulasi turunannya, mengamanahkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak penyandang disabilitas untuk tumbuh dan berkembang, serta terlindungi dari kekerasan dan perlakuan diskriminasi.
Pembiaran masalah sosial dan ancaman terhadap perlindungan anak, sangat tidak relevan dengan berbagai slogan perlindungan anak. Dan ambisi banyak daerah menjadi layak anak. Wallahu alam. (***)