MAMUJU, RADAR SULBAR – Realisasi penerimaan retribusi daerah dari sektor pelayanan persampahan di Kabupaten Mamuju masih jauh dari target. Hingga akhir Mei 2025, retribusi yang berhasil dikumpulkan baru mencapai Rp438 juta, atau sekitar 14,61 persen dari total target Rp3 miliar.
Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Mamuju, Marsaeni, menyebut rendahnya capaian disebabkan sejumlah kendala, mulai dari layanan yang belum optimal hingga minimnya kesadaran masyarakat.
“Petugas pengangkut sampah hanya dua kali seminggu. Banyak warga menolak membayar retribusi dengan berbagai alasan. Bahkan ada yang hanya membayar satu bulan meskipun menunggak dua bulan,” kata Marsaeni, Senin (23/6).
Ia menambahkan, distribusi karcis retribusi dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) juga kerap terlambat. Ditambah lagi, jumlah kolektor yang terbatas membuat banyak sampah diangkut tanpa disertai penagihan.
Marsaeni juga menyoroti pendataan wajib retribusi pun dinilai belum maksimal. Seharusnya pembaruan data dilakukan setiap tahun melalui ketua RT, namun hingga pertengahan tahun ini belum ada pendataan ulang.
“Tahun lalu ada sekitar 8.000 wajib retribusi, tahun ini kemungkinan sudah 10.000, tapi datanya belum diperbarui,” ujarnya.
Masalah lain datang dari kondisi armada. Dari total 21 unit kendaraan pengangkut sampah, beberapa mengalami kerusakan berat. Fenomena pembuangan sampah liar juga semakin memperburuk situasi.
“Kami pesimis target PAD bisa tercapai. Masalahnya kompleks,” tegas Marsaeni.
Sementara itu, Kabid Pengawasan Bapenda Mamuju, Fadilah, mengungkapkan bahwa belum validnya data penarikan retribusi juga menjadi penghambat.
“Kami sebenarnya sudah anggarkan sekitar Rp800 juta untuk pendataan Opsen BKB dan BBNKB, yang juga direncanakan untuk pendataan retribusi sampah. Tapi belum terlaksana karena alasan efisiensi,” jelasnya.
Menanggapi kondisi ini, Wakil Ketua Komisi I DPRD Mamuju, Sugianto, melayangkan kritik terhadap kinerja DLHK.
“DLHK salah satu OPD dengan kinerja paling lemah. Setiap rapat, alasannya itu-itu saja. Wajar kalau masyarakat enggan bayar retribusi karena sampah tidak diangkut rutin,” ujarnya.
Ia menyebut kondisi ini sebagai lingkaran setan: pelayanan tidak maksimal karena armada dan anggaran terbatas, sementara masyarakat enggan membayar karena pelayanan tidak memadai. “Ini bukan cuma terjadi di DLHK, tapi hampir di semua OPD penghasil PAD. Masalah klasik yang tak pernah tuntas,” pungkasnya.
Dengan kondisi ini, pencapaian target PAD dari sektor persampahan menjadi tantangan berat dan membutuhkan sinergi lintas instansi serta keterlibatan aktif RT dalam pendataan. (irf/*)