BALI, RADAR SULBAR – Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan Bilateral Kedua (The 2nd Bilateral Meeting) dengan Otoritas Imigrasi Kerajaan Kamboja, yang digelar di Bali pada Senin (19/5).
Pertemuan ini bertujuan memperkuat kerja sama dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan menghadapi tantangan keimigrasian yang dihadapi kedua negara.
Pertemuan dihadiri oleh Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto, Plt. Direktur Jenderal Imigrasi Yuldi Yusman, serta Dirjen Imigrasi Kamboja, Sok Veasna.
Seiring meningkatnya jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang bepergian ke Kamboja dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia mencatat lonjakan kasus WNI yang bekerja secara non-prosedural dan terjerat dalam praktik perjudian online serta penipuan digital (scamming). Berdasarkan kondisi tersebut, kedua negara menyepakati penandatanganan Letter of Intent (LoI) sebagai dasar kerja sama lebih lanjut.
Dokumen LoI ini mencakup pertukaran informasi, bantuan teknis, serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mencegah migrasi ilegal dan melindungi warga negara masing-masing.
Selain itu, kedua pihak menyepakati pentingnya penempatan atase imigrasi Indonesia di Kamboja guna memperkuat koordinasi bilateral. “Sebagai langkah konkret dalam memerangi TPPO, kami akan menunjuk focal point di masing-masing negara, meningkatkan pertukaran informasi, dan berbagi praktik terbaik dalam penanganan kasus keimigrasian WNI di Kamboja,” ujar Yuldi.
Indonesia telah mengadopsi pendekatan komprehensif dalam memerangi penyelundupan manusia, termasuk melalui kerja sama bilateral, regional, dan internasional. Salah satu langkah signifikan yaitu dimasukkannya tindak pidana penyelundupan manusia ke dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang memungkinkan penindakan tegas terhadap pelaku maupun fasilitator.
Di sisi hulu, Ditjen Imigrasi juga aktif mencegah keberangkatan pekerja migran non-prosedural melalui penundaan penerbitan paspor dan penolakan keberangkatan bagi WNI yang terindikasi.
Tercatat selama Januari hingga April 2025, petugas di bandara dan pelabuhan internasional di seluruh Indonesia telah menunda keberangkatan 5.000 calon pekerja migran non-prosedural. Selain itu, sebanyak 303 permohonan paspor telah ditunda oleh kantor Imigrasi di berbagai daerah.
Tak hanya itu, Ditjen Imigrasi juga mengembangkan program Desa Binaan Imigrasi—inisiatif edukasi keimigrasian bagi masyarakat pedesaan yang merupakan kantong pekerja migran—untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya dokumen yang sah dan prosedur yang benar.
“Kami juga terus mendorong kesadaran masyarakat agar lebih waspada terhadap tawaran kerja di luar negeri yang mencurigakan, terutama jika diminta memberikan keterangan palsu untuk membuat paspor. Saat ini, kami memiliki 185 desa binaan aktif,” jelas Agus.
Menutup pertemuan, Agus menyampaikan harapan besar terhadap hasil kerja sama bilateral ini. “Pertemuan ini menjadi platform penting untuk memperdalam pemahaman bersama, berbagi pengalaman, dan merumuskan solusi inovatif terhadap isu-isu keimigrasian yang dihadapi kedua negara. Kami berharap dapat mencapai hasil signifikan, khususnya dalam perlindungan warga negara dan pemberantasan kejahatan transnasional,” tutupnya.(*)