Indonesia Bersiap Menuju Transisi Energi Terbarukan

  • Bagikan
Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Likupang di Desa Wineru, Likupang, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Sabtu (16/9/2023). PLTS berkapasitas 21MW (Mega Watt) tersebut menyuplai listrik untuk wilayah Sulut, Gorontalo dan Sulteng, serta menjadi pembangkit listrik ramah lingkungan yang selaras dengan konsep pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang yang berbasis konservasi alam. ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/foc.

Setelah tahun 2030, PLTU batu bara tidak akan lagi dikembangkan. Pembangkit tambahan setelah tahun 2030 akan berasal dari EBT.

JAKARTA, RADAR SULBAR – Seluruh dunia kini sedang berlomba mewujudkan target net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon, tak terkecuali Indonesia. Transisi energi dari berbasis fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) pun menjadi sebuah keniscayaan.

Analis sistem ketenagalistrikan dan energi terbarukan IESR Alvin Sisdwinugraha dalam sebuah diskusi mengatakan EBT mempunyai banyak kelebihan dari berbagai aspek dibandingkan energi fosil.

Dari aspek kelayakan lingkungan, misalnya, energi terbarukan lebih bebas polusi dibandingkan energi fosil. Kemudian dari aspek keandalan, energi terbarukan lebih bisa diandalkan, sebab dapat menyesuaikan dengan sumber daya alam lokal yang tersedia.

Namun menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini bauran energi primer Indonesia masih didominasi oleh fosil. Tenaga Ahli Menteri ESDM Sripeni Inten Cahyani mengatakan bauran energi primer dari batu bara dan minyak bumi pada 2023 mencapai 74 persen, sedangkan porsi EBT sekitar 12,3 persen.

Potensi EBT

Indonesia memiliki potensi EBT yang besar, dengan total 3.687 GW. Direktur Konservasi Energi KESDM Gigih Udi Atmo mengatakan potensi tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dengan jenis energi yang sangat beragam.

Potensi hidro sebesar 95 GW, tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama Kalimantan Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Papua.

Potensi surya sebesar 3.294 GW tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Riau.

Kemudian, potensi sebesar 155 GW dari angin dengan kecepatan lebih dari 6 meter per detik terdapat di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Papua.

Potensi energi laut sebesar 60 GW, terdapat di seluruh wilayah Indonesia terutama Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali. Lalu potensi panas Bumi sebesar 23 GW, tersebar di kawasan ring of fire yang meliputi Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.

Selain itu, terdapat potensi bioenergi sebesar 57 GW yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, berupa produk utama, limbah lahan perhutanan atau perkebunan, limbah di industri. Adapun jenis potensinya meliputi biofuel, biomassa, dan biogas.

Melihat potensi yang sangat besar itu, pemerintah pun menargetkan porsi EBT dalam bauran energi primer sebesar 23 persen pada 2025 dan paling sedikit 31 persen pada 2030, sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Bahkan, Menteri ESDM Arifin Tasrif beberapa waktu lalu mengatakan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara akan “pensiun” pada 2058.

“Setelah tahun 2030, PLTU batu bara tidak akan lagi dikembangkan. Pembangkit tambahan setelah tahun 2030 akan berasal dari EBT. PLTU batu bara, terakhir, akan berakhir pada 2058,” kata Arifin.

Mewujudkan transisi energi dari fosil menuju EBT tentu bukan tanpa tantangan. Misalnya, saat ini PLN masih mengalami kelebihan kapasitas listrik dari fosil, dan di saat bersamaan, PLN juga harus menambah bauran EBT.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa pun melakukan hitung-hitungan. Menurut dia, kapasitas tambahan dari EBT setidaknya 3-4 GW atau lebih setiap tahun, jika ingin mencapai target EBT dalam bauran energi primer sebesar 23 persen pada 2025.

“Akan tetapi, kondisi kelebihan kapasitas ini punya implikasi. Kalau pembangkitnya ditambah tapi demand-nya tidak naik dengan cepat, maka akan memperparah persoalan kelebihan kapasitas,” ujar Fabby.

Tantangan lain dalam mewujudkan transisi energi menuju EBT, adalah soal pembiayaan. Mengacu pada tarif rata-rata produksi listrik yang 70 persennya berasal dari batu bara, biaya produksi listrik saat ini berkisar 7-8 sen dolar AS per kWh.

Untuk itu, harga EBT tentu harus kompetitif. Hal ini dapat diwujudkan melalui pendanaan berbunga rendah.

Jika harga EBT tidak cukup kompetitif, maka hal tersebut akan menaikkan biaya produksi listrik. Naiknya biaya produksi listrik kemudian akan mengakibatkan membengkaknya subsidi.

Strategi mewujudkan transisi energi

Sederet upaya dilakukan pemerintah bersama PLN untuk mewujudkan transisi energi menuju EBT.

Gigih mengatakan, pemerintah melakukan penguatan regulasi yakni dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang memberikan referensi harga patokan tertinggi terhadap berbagai pengembangan PLT berbasis EBT.

Kemudian, pemerintah juga tengah menyiapkan Rancangan Undang-undang (RUU) EBT . Lalu, revisi final terhadap Peraturan Menteri (Permen) ESDM untuk percepatan pengembangan PLTS atap guna mendorong optimalisasi capaian PLTS atap yang potensinya mencapai 32,5 GW.

Sementara itu, PLN melakukan dedieselisasi pembangkit listrik berbahan dasar fosil sebesar 1 GW dan menggantinya dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

PLN juga mencanangkan target penambahan pembangkit berbasis EBT dengan total kapasitas hingga 21 GW atau 51,6 persen penambahan pembangkit EBT.

Pada Juli 2023, PLN menyepakati 28 kerja sama pemanfaatan energi bersih. Dari 28 kerja sama itu, PLN menggandeng 10 perusahaan untuk menyediakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) pada rooftop dengan kapasitas 187,97 MW. Lalu, PLN menyepakati power purchase agreement (PPA) pembangunan PLTS, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM), dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), dengan total kapasitas 25,7 MW.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasojo pada Agustus 2023 mengatakan PLN juga sudah menghapus 13,3 GW PLTU baru yang masih dalam fase perencanaan, guna menghindari emisi gas rumah kaca. Kemudian, membatalkan PPA atau perjanjian jual beli tenaga listrik sebesar 1,3 GW dari PLTU, hingga mengganti 800 MW PLTU dengan pembangkit gas.

Dalam mewujudkan transisi energi, kerja sama dan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan tentu sangat dibutuhkan termasuk pengembangan sumber daya manusia. Pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), swasta, akademisi, masyarakat, asosiasi, dan media harus bergandeng tangan.

Jika pemerintah menyusun kebijakan dan BUMN serta swasta melakukan kegiatan usaha pengembangan biomassa, maka akademisi dibutuhkan untuk menciptakan inovasi dalam pengembangan EBT yang dapat langsung dimanfaatkan.

Sementara itu, masyarakat dan asosiasi, sebagai mitra pemerintah, berperan melakukan pendampingan dan kampanye positif terhadap pengembangan biomassa.

Media juga tak kalah penting berperan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya EBT dan menyebarluaskan program pemerintah kepada masyarakat.

COPYRIGHT © ANTARA 2023

  • Bagikan