RADARSULBAR.CO.ID – ByteDance, perusahaan induk di balik aplikasi TikTok yang sangat populer, baru-baru ini dihantam gugatan serius yang mengklaim bahwa mereka mengumpulkan data biometrik pengguna secara non-konsensual alias tanpa izin. Gugatan class-action tersebut menuduh bahwa pelanggaran privasi data ilegal berasal dari aplikasi CapCut yang juga diketahui merupakan milik ByteDance.
Buat yang belum tahu, CapCut adalah aplikasi edit video yang memiliki lebih dari 200 juta pengguna aktif. Namun ternyata, platform ini mengumpulkan informasi pribadi sensitif mereka tanpa persetujuan.
Dilansir dari Engadget, Jumat (4/8), gugatan ini diajukan di Illinois dan mengklaim bahwa CapCut melanggar Undang-undang Informasi Biometrik negara bagian. Pelanggaran ini berasal dari pengumpulan data seperti pemindaian wajah dan cetakan suara tanpa memberi tahu pengguna.
Selain biometrik, aplikasi tersebut juga dilaporkan mengumpulkan informasi pribadi lainnya seperti lokasi pengguna, jenis kelamin, tanggal lahir, dan bahkan mendapatkan akses ke foto dan video mereka.
Fokus utama dari pengumpulan data invasif ini kemungkinan berkaitan dengan iklan bertarget. Gugatan tersebut menambahkan bahwa aplikasi tersebut bahkan mampu mendapatkan akses ke alamat MAC dan nomor seri SIM juga.
Parahnya lagi, gugatan, yang digali The Record menegaskan bahwa kebijakan privasi CapCut dirancang untuk mempersulit orang untuk memahami atau untuk memberikan aplikasi “persetujuan yang bermakna dan tegas”.
Salah satu penggugat yang mulai menggunakan aplikasi saat duduk di kelas tujuh diduga dapat menggunakan CapCut tanpa harus mendaftar akun, meninjau kebijakan privasi, atau mendapatkan persetujuan orang tua.
Dengan kata lain, pengguna CapCut tidak memberikan persetujuan dengan cara yang benar. Selain itu, gugatan tersebut menunjukkan bahwa, karena ByteDance berkantor pusat di Beijing, perusahaan mungkin terpaksa membagikan data CapCut dengan pemerintah Tiongkok.
Ia mengklaim bahwa mantan pejabat ByteDance mengungkapkan secara terbuka bahwa Partai Komunis Tiongkok dapat menggunakan “kode saluran pintu belakang” untuk mengakses data pengguna yang berbasis di luar negeri, termasuk yang berada di AS. (jpg)