Hindari Produk Hukum Kepemiluan yang Timbulkan Pro dan Kontra

  • Bagikan

SEMARANG, RADARSULBAR.CO.ID – Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Karena PKPU ini di bawah UU Pemilu, mengandung konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, dalam pembahasan rancangan PKPU di Komisi II DPR RI, semua pemangku kepentingan dalam konteks aturan main kepemiluan ini harus cermat.

Menyusun dan menetapkan PKPU untuk setiap tahapan pemilihan umum (pemilu), memang tugas dan wewenang KPU RI. Namun, jangan sampai aturan ini bertentangan dengan UU Pemilu.

Seyogianya PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menjadi catatan KPU RI masa jabatan 2022—2027.

Mahkamah Agung telah membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 Huruf g PKPU Nomor 20 Tahun 2018 karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Kendati demikian, publik jangan terburu menyatakan bahwa Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, khususnya Pasal 8 ayat (2). Mahkamah Agunglah yang berwenang apakah PKPU ini bertentangan dengan UU Pemilu atau tidak.

Pasal itu menyebutkan Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:
a. kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau
b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.

Setidaknya 23 organisasi/lembaga yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, 8 Mei 2023, menuntut KPU RI untuk segera merevisi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10/2023.

Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari (sumber: ANTARA, Rabu, 10 Mei 2023) mengatakan bahwa KPU, Bawaslu, dan DKPP telah sepakat melakukan revisi terhadap PKPU 10/2023, khususnya Pasal 8 ayat (2) setelah menggelar forum tripartit atau tiga pihak di Kantor DKPP RI, Jakarta, Selasa (9/5) malam.

Saat ini, Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 mengatur bahwa jika dalam penghitungan 30 persen bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan dengan dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.

Ketiga lembaga penyelenggara pemilu itu sepakat untuk merevisi ketentuan tersebut menjadi pembulatan ke atas jika dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan.

Berikutnya, KPU juga akan menambahkan Pasal 94 A ayat (1) dan ayat (2) dalam PKPU tersebut. Ayat (1) mengatur bahwa bagi partai politik (parpol) peserta pemilu, yang sudah mengajukan daftar bakal calon sebelum berlakunya revisi PKPU tersebut, dapat melakukan perbaikan daftar calon sampai batas akhir masa pengajuan bakal calon pada tanggal 14 Mei 2023.

Ayat (2) mengatur dalam hal parpol peserta pemilu tidak dapat melakukan perbaikan daftar bakal calon sampai dengan batas akhir pendaftaran, maka melakukan perbaikan daftar calon pada tahapan perbaikan dokumen persyaratan bakal calon.

Namun, hingga sekarang PKPU itu belum direvisi. Sebanyak 26 organisasi/lembaga yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menilai KPU wanprestasi.

Sebelumnya, pada tanggal 17 Mei 2023 diselenggarakan rapat dengar pendapat (RDP) yang diikuti oleh Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Kesimpulan dalam RDP ini adalah Komisi II DPR RI meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU No. 10/2023. Hal ini dinilai sangat kontradiktif karena pada tanggal 10 Mei 2023 KPU merespons aspirasi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan dengan menyatakan di muka publik bahwa KPU akan melakukan perubahan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No. 10/2023.

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melalui pegiat pemilu Titi Anggraini menilai KPU tidak menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023.

KPU tunduk pada hasil konsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah yang meminta untuk tidak merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023. Padahal, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU/XIV/2016 bahwa konsultasi KPU ke DPR keputusannya tidak bersifat mengikat.

Atas sikap KPU yang tidak menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan telah mengirimkan surat terbuka kepada KPU, Bawaslu, dan DKPP pada hari Jumat (19/5).

Kendati demikian, tahapan pengajuan bakal calon anggota legislatif sudah selesai sampai dengan 14 Mei 2023. Pada tahapan Pemilu 2024 saat ini, KPU tengah verifikasi administrasi dokumen persyaratan bakal calon yang dijadwalkan berakhir hingga 23 Juni 2023.

Muncul sejumlah pertanyaan, antara lain, apakah ada pengaruh revisi PKPU itu setelah tahapan tersebut sudah lewat? Apakah PKPU pascarevisi bisa berlaku surut? Karena pada hakikatnya pemberlakuan peraturan perundang-undangan berlaku pada saat pengundangan.

Desakan dari Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan pada tanggal 20 Mei 2023 soal capaian keterwakilan perempuan ini sebaiknya segera dilakukan oleh KPU secara transparan. Hal ini untuk memastikan apakah semua partai politik telah memenuhi ketentuan tersebut di semua daerah pemilihan.

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Achmad Zaenal M

  • Bagikan