Latto-latto

  • Bagikan

PERMAINAN tradisional latto-latto kembali populer belakangan ini. Ada juga yang menyebut katto-katto. Dimainkan tidak hanya oleh anak-anak. Kalangan remaja dan orang dewasa pun tidak ketinggalan.

Oleh: M Danial

Permainan membenturkan dua bola plastik padat yang disambungkan dengan seutas tali lalu diayunkan secara berlawanan ke atas dan ke bawah. Bunyi tok tok tok bertalu-talu. Kerap menimbulkan kebisingan tanpa mengenal waktu.

Mengutip berbagai sumber, permainan latto-latto dikenal di Amerika Serikat sejak 1960-an. Dikenal dengan sebutan clackers ball toys, yang terinspirasi permainan tradisional budaya asli Alaska eksimo yo-yo. Merambah ke negara lain, permainan ini dikenal dengan berbagai nama. Antara lain click-clacks, knockers, ker-bangers, hingga clackers.

Awalnya bola latto-latto atau clackers ball toys terbuat dari kaca temper. Pemerintah Amerika Serikat pada 1966 sempat melarang penjualan mainan tersebut karena banyak anak mengalami cedera lantaran terkena serpihan bola kaca permainan tersebut.

Larangan yang dikeluarkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) didukung beberapa komunitas dan organisasi masyarakat untuk mencegah kebutaan (Society for the Prevention of Blidness). Setelah itu, bahan permainan clackers ball didesain ulang menggunakan bahan plastik yang tidak mudah pecah, sebagaimana yang dikenal sekarang.

Dosen Program Studi Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari menyebut tren permainan latto-latto yang terjadi pada banyak kalangan berkaitan dengan peran manusia sebagai makhluk yang suka bermain atau homo ludens.

Menurutnya, tren permainan anak-anak atau orang manusia sebagai homo ludens pada setiap eranya yang mengikuti perkembangan ekonomi dan zaman. Penyebab populer karena adanya produsen media permainan anak.
Teknologi mempengaruhi juga kepopuleran latto-latto. Oleh sebab itu, bertahannya tren permainan latto-latto akan ditentukan kemunculan permainan lainnya.

Sosiolog Universitas Indonesia, Ida Ruwaida mengatakan secara sosiologis fenomena latto-latto yang kini menjadi kegandrungan bisa disebut sebagai perilaku sosial yang tidak biasa atau Fads. Yang biasa muncul dalam jangka waktu pendek, tapi disikapi dengan antusias, bahkan kadang terlalu antusias sehingga tidak lagi rasional.

“Fads merupakan perilaku kolektif, jadi sebab atau stimulannya adalah lingkungan sosial dengan pendorongnya media sosial. Ada bahkan sebagian masyarakat yang dianggap ketinggalan jika tidak ikut tren,” ungkapnya.

Sedangkan sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, Drajat Tri Kartono, berpandangan permainan latto-latto yang digandrungi anak-anak sampai orang dewasa lebih seru dilakukan bersama yang mencoba bermain, sehingga lebih merekatkan hubungan sosial.

Bagaimana pengaruh latto-latto terhadap anak? Psikolog Universitas Gadjah Mada Koentjoro menyebut dampak positifnya bisa mengurangi ketergantungan anak pada gawat atau gadget. Permainan latto-latto dapat juga melatih konsentrasi anak-anak.

“Segi positifnya ketergantungan anak pada handohone jadi berkurang, kalau dulunya kebanyakan bermain HP sekarang ke latto-latto. Selain itu, dapat melatih konsentrasi anak-anak dengan latihan ketangkasan fisik. Kepercayaan diri juga bisa meningkat termasuk sosialisasi,” tuturnya.

Di balik sisi positif permainan latto-latto, sangat penting peranan orang tua untuk melakukan pengawasan agar anak tidak larut dengan permainan. Fungsi edukasi para orang tua sangat penting untuk memberi pemahaman efek latto-latto agar anak terhindar dari hal-hal yang membahayakan.

Beberapa kesempatan melihat penggemar latto-latto unjuk ketangkasan. Berlangsung cair dan ceria. Saling ledek menjadi penyemangat mereka bermain. Orang dewasa yang menguji kemampuan bermain latto-latto, menjadi momen mengenang masa anak-anak yang kala itu permainannya serba tradisional.

Permainan latto-latto menjadi makin menarik termasuk bagi kalangan pejabat, setelah melihat video yang mengunggah Presiden Jokowi menjajal kemampuan bermain latto-latto, di sela kunjungan ke Subang, Jawa Barat, beberapa hari lalu. Banyaknya pihak makin tertarik bermain latto-latto, termasuk pejabat dan aparat, bahkan menjadikan perlombaan yang disebut refresing sekaligus menguatkan silaturahmi.

Tidak dipungkiri adanya pandangan bahwa permainan tersebut tidak memberikan efek terhadap peningkatan kualitas SDM aparat. Sebaliknya, bisa mempengaruhi semangat pelayanan aparat kepada masyarakat karena keasyikan bermain latto-latto. Sebagaimana juga di sekolah-sekolah, hak belajar siswa bisa terlupakan karena guru tertular virus latto-latto dari murid atau siswanya. Semoga tidak demikian. (*)

  • Bagikan