Oligarki Memunculkan Disonansi Kognitif pada Elit Penguasa Dalam Menentukan Kebijakan?

  • Bagikan

Penulis : Akhmad Zhauqi Thahir (Direktur Eksekutif Cerita Demokrasi)

DALAM hidup terkadang manusia menemui banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginan. Manusia mungkin merasa terpaksa untuk melakukannya atau terkadang menolak hal tersebut.

Hal ini tentu saja membuat manusia merasa tidak nyaman ditambah berada dilingkungan yang banyak kepentingan untuk diakomodir apalagi sebagai seorang pemimpin atau bagaimana individu itu dapat mengeluarkan kebijakan murni dalam kognitifnya akan tetapi penyaluran itu sulit disebabkan banyaknya kepentingan pemodal dan oligarki, hal ini sering terjadi akibat paksaan atau tekanan dari orang atau pihak lain.

Kejadian ini seringkali terjadi di pemerintahan, tempat bekerja, atau situasi sosial. Sebagai contoh, melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hati individu agar tidak ditinggalkan oleh elit koalisi dan oligarki kekuasaanya yang harus mengakomodir kepentingan semua. seorang pemimpin seharusnya memiliki kemerdekaan individu yang dimana dimaksud adalah berpikir secara sehat untuk kepentingan orang banyak, adil, dan bijaksana mempunyai nilai luhur dan murni dalam pikirannya tanpa bagi-bagi kekuasaan yang terselubung jika itu hanya untuk mengenyangkan perut oligarki tertentu.

Oligarki menurut Aristoteles menyatakan akan berlawanan dengan kaum miskin yang jumlahnya banyak, Demokrasi akan berantagonisme dengan kaum kaya, yang jumlahnya sedikit tetapi sangat berpengaruh.

Sebab itu, Oligarki dapat melindungi diri mereka sendiri dengan menyerap orang-orang tertentu ke dalam kekuasaan, sehingga bisa melakukan penjaminan atas kekayaan mereka.

Oligarki berbeda dengan Aristokrasi, karena apabila Aristokrasi diperintah oleh orang-orang terbaik demi kebaikan bersama, Oligarki diperintah oleh kaum kaya hanya demi kebaikan mereka sendiri. Dalam tulisan ini saya sedikit mengulas melalui teori Psikologi dari Festinger yaitu Disonansi kognitif sebagai penguasa apakah ada beban jika mengeluarkan kebijakan dengan campur tangan para gurita yang mengganggu keputusan pemikiran dan isi hati paling dalam dari seorang penguasa itu sendiri, Festinger mengemukakan perubahan sikap dapat terjadi karena ada cognitive dissonance.

Disonansi kognitif adalah situasi tidak menyenangkan saat sikap inkonsisten melatari perilaku seseorang, sehingga menimbulkan situasi ketidaknyamanan, Situasi itu membuat sikap dan perilaku seseorang berada dalam posisi tidak seimbang (labil, gamang. inkonsisten).

Menurut Festinger, pada hakikatnya setiap orang akan berupaya untuk mencapai titik keseimbangan baru dengan mengubah keyakinan, sikap, dan tingkah lakunya agar lebih selaras dengan tingkah lakunya, Menurut asumsi teori konsistensi, manusia akan merasa lebih nyaman ketika ia berada dalam kondisi ‘konsisten’ (proses kognitif dimana manusia memiliki hasrat keseimbangan keyakinan, sikap, dan perilakunya) ketimbang berada pada situasi ‘inkonsisten’ (proses kognitif dan perubahan sikap yang dihasilkan dari informasi yang mengacaukan kestabilan dan keseimbangan keyakinan, sikap dan perilakunya) hal dimana dimaksud disini Individu penguasa harus murni dari hati dan pikirannya dengan melihat kondisi dan keadaan suatu negara, bangsa atau peradaban tanpa intervensi dari para oligarki yang hanya untuk mengamankan bisnis dan karirnya.

Bagi Festinger, ketegangan, ketidakstabilan, kegamangan, labilitas adalah perasaan ‘ketidaknyamanan’ yang hadir dalam diri seseorang akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan seperti kepentingan oligarki yang mementingkan kekayaannya tanpa memikirkan rakyat kecil dan orang banyak Kondisi ini, menurut Festinger, akan memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan tertentu guna mengurangi situasi ketidaknyamanan tersebut.

Festinger memulai dengan gagasan bahwa pelaku komunikasi memiliki beragam elemen kognitif, seperti sikap, persepsi, pengetahuan, dan perilaku.

Elemen-elemen tersebut tidak terpisahkan, tetapi saling menghubungkan satu sama lain dalam sebuah sistem. Setiap elemen dari sistem tersebut akan memiliki satu dari tiga macam hubungan dengan setiap elemen dari sistem lainnya.

Individu Manusia yang menjadi pemimpin harus berani mengambil langkah dalam mengambil kebijakan yang komunal serta menghilangkan rasa tidak nyaman di kalangan Oligarki tertentu.

Memiliki strategi dan pengetahuan yang cakap dalam memuaskan orang yang dipimpin nya. Relasi kuasa dan pengusaha sangat sulit dipisahkan dalam kontestasi politik hingga ketika masuk dalam masa jabatan berlangsung, terkadang pembagian proyek atau mempermudah investor memiliki modal yang banyak untuk masuk tanpa melihat local wisdom daerah tertentu.

Hal ini kadang membuat saya bertanya apakah penguasa yang dalam lubuk hati yang paling dalam dan mempunyai konsep yang besar demi kebaikan bersama terhalang oleh kepentingan orang-orang tertentu? Dalam hubungan teori Psikologi ini menurut Festinger salah satu cara mereduksi disonansi adalah meningkatkan kapasitas individu untuk mengubah persepsi pribadinya serta menyesuaikan dengan persepsi atau keyakinan baru yang telah diraihnya, hal dimaksud adalah kecerdaasan emosinal berani keluar dari tekanan Oligarki atau Taipan.

Membuat keputusan dari dua pilihan seringkali menimbulkan disonansi, karena keduanya sama-sama menarik di satu sisi jika keputusan itu dilaksanakan apakah keadilan ditengah masyarakat terwujud? Akan tetapi jika tidak dilaksanakan apakah pemodal politik kecewa dan mundur dari percaturan pemodal? Individu penguasa harus bisa mengubah keyakinan untuk mengurangi perasaan tidak nyaman akibat disonansi yang muncul.

Meski demikian, melakukan cara ini memang tidaklah mudah. Pasalnya mungkin sulit mengubah apa yang sudah selama ini diyakini di harapkan. Akan tetapi penguasa yang ideal adalah mereka yang cerdas, adil, arief dan bijaksana itulah yang harus dimiliki secara paripurna untuk masyarakat banyak, tanpa berpihak pada Oligarki tertentu.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version