RATUSAN warga masih tinggal di permukiman ‘sementara’ yang tak layak huni. Butuh perhatian pemerintah secara serius dan sesegera mungkin.
Laporan: Rezki Amaliah, Majene
Nyaris dua tahun sejak gempa bumi magnitudo 6,2 melanda Kabupaten Majene dan Mamuju, 15 Januari 2021, masih sekira 470 warga yang tinggal di permukiman pengungsi.
Mereka menempati apa yang disebut hunian sementara alias huntara. Lokasinya di Dusun Alle-Alle, Desa Mekkatta, Kecamatan Malunda. Ratusan penduduk ini adalah warga Dusun Aholeang dan Dusun Rui. Rumah dan harta benda lain mereka habis tertimbun tanah saat gempa terjadi.
Huntara ini bantuan dari beberapa lembaga. Setiap huntara berukuran 4×4 meter persegi, terbuat dari tripleks, beratap seng dan terpal. Tak ada kamar tidur. Hanya ada dapur dan ruang tamu yang berfungsi ganda menjadi ruang tidur.
Seorang warga di huntara itu bernama Fitri. Selama 19 bulan tinggal disana. Ia merasa bantuan kebutuhan dasar yang diterimanya tidak maksimal.
Kondisi sanitasi yang buruk menimbulkan penyakit kudis dan menyerang anak-anak. Fitri mengungkapkan, usai bencana, pemerintah maupun swasta membangun fasilitas kamar mandi dan toilet umum untuk pengungsi. Namun, fasilitas ini tidak dibarengi pemberian layanan air bersih.
“Kalau untuk dikonsumsi, kami ambil air di sungai. Jaraknya cukup jauh. Biasanya warga ke sungai menggunakan motor,” kata Fitri. “Kalau untuk buang air kecil atau besar, kami gunakan air dari bak penampungan.”
Tak cuma itu, kondisi huntara ini pun perlahan rusak. Saat hujan, ia harus rela kedinginan lantaran dinding dan atap mulai berlubang.
Selain itu, gempa juga merusak sumber mata pencaharian warga. Sebagian kebun milik warga ikut tertimbun.
Fitri berkata saat ini warga hanya bisa memanfaatkan lahan yang tersisa dan mencari pekerjaan sampingan lain. Bukan hanya laki-laki, tak sedikit perempuan menjadi buruh pengupas kemiri demi bertahan hidup.
“Ada pengusaha yang datang bawa kemiri, lalu kami yang kupas, tapi itu musiman, tidak setiap hari. Biasanya kami diberi upah Rp1.000 per kilogram,” kata Fitri.
Hak Layanan Pendidikan Terbatas
Tak hanya persoalan pemenuhan kebutuhan dasar, hak untuk mendapatkan layanan pendidikan juga terbatas. Gedung sekolah yang biasanya ditempati anak-anak belajar tidak lagi representatif untuk digunakan.
Kepala SD No 28 Aholeang, Abdul Azis Haruna, mengatakan untuk sementara proses belajar berlangsung di tenda darurat. Ini sudah berjalan selama 17 bulan.
Ke-55 murid sekolah dasar harus rela belajar di tengah kondisi kekurangan fasilitas. Dari enam kelas, hanya ada dua tenda darurat. Jumlah kursi dan meja sangat minim. Para murid dan guru harus rela belajar tanpa menggunakan kursi dan meja.
“Mau bagaimana lagi? Memang seperti ini kondisinya. Satu tenda digunakan untuk beberapa kelas,” kata Azis.
Azis mengungkapkan Kementerian Sosial (Kemensos) telah memberikan bantuan berupa bangunan sekolah yang saat ini dalam proses pembangunan. Namun, belum ada kepastian kapan bangunan ini selesai.
Azis dan enam guru di SD No 28 Aholeang berharap sarana dan prasarana ini segera selesai, sehingga para siswa dan tenaga pendidik bisa menjalankan aktivitas dengan normal.
“Ada tiga ruang kelas yang sementara dibangun. Bantuan dari Kemensos ini saat peringatan hari anak nasional,” ujar Azis.
Sebelumnya, Koordinator Bidang Pemulihan dan Penguatan Sosial Kemensos, Faisal menjelaskan pembangunan gedung SD No 28 Aholeang menelan anggaran Rp 563 juta, ditarget rampung dalam tahun ini. Menurutnya, bangunan sekolah ini dibangun dengan desain interlock tahan gempa bumi. “Kami upayakan agar hak pendidikan mereka bisa terpenuhi,” kata Faisal.
‘Ruang Berbahaya bagi Perempuan dan Anak Perempuan’
Indonesia sebetulnya telah memiliki dasar hukum perlindungan hak perempuan dan anak dalam situasi darurat kebencanaan. Ini tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pada Pasal 26 ayat 1 menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana. Kemudian, Pasal 26 ayat 2 menyebutkan setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.
Perlindungan lain diatur dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nomor 13 Tahun 2020. Pada pasal 8 Ayat 1 menyebutkan Gubernur dan Bupati/Walikota mengkoordinasikan perlindungan perempuan dan perlindungan anak dari kekerasan berbasis gender dalam bencana di tingkat daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Caranya, menyediakan fasilitas ruang ramah perempuan dan ruang ramah anak, serta sarana dan prasarana yang responsif gender pada kondisi tanggap darurat dan rehabilitasi yang mengakomodasi sumber daya lokal.
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengungkapkan, dalam beberapa pemantauan di lokasi pengungsian, kondisi huntara memiliki kaitan dengan jaminan keamanan perempuan dan anak perempuan dari kekerasan.
Menurutnya, kondisi huntara seringkali menjadi ruang berbahaya bagi perempuan dan anak perempuan. “Ada kondisi huntara yang sulit dikunci dan mudah diintip, tentunya ini sangat rentan terhadap tindakan pelecehan seksual,” kata Yentriyani.
Yentriyani menjelaskan kondisi huntara yang tidak memiliki sekat juga bisa berdampak kepada anak-anak. Aktivitas hubungan intim kedua orangtua bisa terekspos kepada anak-anak. Apalagi, anak-anak memiliki rasa keingintahuan dan keinginan untuk meniru apa yang dilihat.
“Jika tidak ada sekat, dikhawatirkan berpengaruh buruk pada perkembangan psikologis anak-anak, dipadu dengan rasa ingin tahu dan meniru yang dimiliki anak-anak,” ujarnya. (***)
Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan 'Perempuan Berdaya di Media' yang diadakan Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.