Kekuatan cinta terbukti sungguh luar biasa. Ia sanggup mendidik pemilik rasa mengalahkan segalanya. “Love conquers all.”
Penulis: Mochamad Husni
Demikianlah. Bak kisah-kisah dua insan yang baku suka. Demi mendapatkan restu orang tua, sepasang kekasih rela bertapa. Apalah daya, ijin ayah dan ibu mereka tak jua kunjung tiba. Karena mematung terlalu lama, wujud dua manusia itu pun berubah menjadi batu.
“Dua batu di tepi laut itu sekarang masih tampak di Batu Oge, Kabupaten Pasangkayu,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pasangkayu, H. M. Yunus Alsam. “Kawasan ini menjadi salah satu tempat warga berlibur,” lanjutnya sambil memaparkan potensi Batu Oge untuk dijadikan kawasan wisata profesional.
Batu karang itu berukuran besar. Seperti bahasa Kaili, Batu Oge berarti batu besar. Di atas keduanya rimbun ditumbuhi pepohonan. Dedaunannya bergoyang kala diterpa hembusan angin.
Sebagaimana pentas hiburan yang selalu memanjakan mata dan menentramkan jiwa para penikmatnya, keindahan Batu Oge kian sempurna ketika telinga kita arahkan untuk mendengar deburan ombak yang bersahut-sahutan.
Mungkin karena pesona itu, dari waktu ke waktu kawasan ini kian ramai dikunjungi wisatawan. Terutama di akhir pekan. Tak sulit untuk sampai ke sana. Tidak jauh dari jalan poros trans Sulawesi yang beraspal mulus. Dari kota Kabupaten Pasangkayu, jaraknya tak lebih dari 15 km. Dekat. Cukup ditempuh dengan waktu sekitar 20 menit saja.
Selain melepas penat di tengah kesibukan, salah satu dari puluhan objek yang diprioritaskan untuk mendorong industri pariwisata Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, ini juga memiliki keunggulan dan keistimewaan lain.
Sekitar 50 meter dari bibir pantai, wisatawan yang suka menyelam dapat menikmati panorama bawah laut berupa terumbu karang. Saat musim timur dengan ombak yang tidak terlalu besar, menurut Yunus, bahkan kawasan Batu Oge sangat cocok untuk canoing, berwisata dengan naik perahu.
“Alhamdulillah, sejak pemerintah kabupaten merapikan jalan desa, warga yang jalan-jalan ke sini semakin banyak,” kata Arif Ponggeng, Kepala Desa Batu Oge. Ia mengaku sangat berterima kasih atas perhatian yang sudah pemerintah berikan. Selain memudahkan masyarakat sekitar berkunjung ke wisata Batu Oge, akses transportasi itu memudahkan dirinya dan banyak petani sawit yang tinggal di sana.
Desa Batu Oge memang berdekatan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Buah hasil panen jadi mudah diangkut petani sawit untuk dijual ke pabrik,” lanjut Arif. Selain sebagai petani sawit, masyarakat desa yang jumlahnya sekitar 1.000 jiwa umumnya berprofesi sebagai nelayan, petani kelapa dalam, dan tambak ikan.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pasangkayu mencium peluang besar yang dapat mendorong pertumbuhan pariwisata di wilayah kerjanya. Setidaknya, masyarakat petani yang memiliki penghasilan dari berkebun sawit dan beberapa komoditas lainnya bisa menjadi target pasar sebagai wisatawan lokal.
Selain membangun akses jalan, lokasi Batu Oge juga sudah dilengkapi infrastruktur berupa jembatan kayu sepanjang 100 meter. Ada juga toilet dan lapak-lapak untuk berjualan. Jika air laut sangat pasang, pengunjung tetap bisa mendekati sepasang batu besar itu dengan berjalan di atas papan-papan kokoh warna-warni yang tersusun rapi. Lalu ber-swa foto dengan latar belakang batu-batu besar dan ombak lautan. Lebih beruntung lagi bila cuaca pas hingga bias matahari senja melukis langit kala sunset tiba.
“Ini bisa menjadi sumber pemasukan bagi pengelola obyek wisata maupun masyarakat sekitar,” kata Yunus optimistis. “Selain keindahan kawasan yang masih alami, mitos tentang asal mula terbentuknya Batu Oge juga menjadi daya tarik tersendiri,” lanjutnya.
Terlepas benar tidaknya kisah sepasang pemuda yang jatuh cinta, wisata yang menonjolkan keindahan alam sesungguhnya selalu memberi banyak pelajaran. Bahwa banyak berkah Tuhan yang perlu kita syukuri. Alam yang indah, tanah yang subur. Inilah satu bukti cinta sang pencipta kepada umat manusia: alam yang harus kita kelola dan kelestariannya wajib kita jaga.(*)