Filosofi Simbolik pada Banua Batang, Kalumpang

  • Bagikan
rumah adat Banua Batang.

Rumah Komunal Diambang Punah

JIKA rumah adat di nusantara umumnya dibedakan dari model atapnya, maka Rumah Adat Kalumpang, Banua Batang berbeda, ia justru dibedakan dari pondasinya yang berpola rakit. Menandakan bahwa Kalumpang sangat dekat dengan peradaban air.

OLEH: JASMAN RANTEDODA, Mamuju

Seni konstruksi pada masyarakat etnik Kalumpang tidak sekedar mengusung fungsi estetika, tetapi juga kaya akan simbol bermakna filosofis.

Hal tersebut dapat dilihat pada konstruksi rumah adat Banua Batang. Selain menampakkan nilai estetika bernilai tinggi, juga pemegang mandat otoritas fungsional sebagai rumah komunal.

Konstruksi Banua Batang dikenal dengan dua pola; secara vertikal dengan tiga ruang, yakni ruang lambukan (ruang bawah), saliwoloq (ruang tengah) yang terdiri atas dua kamar di masing-masing ujung bangunan sebagai ruang keluarga. Kedua ruangan itu mengapit ruang ketiga yang disebut salitoballa. Ruang ketiga ini adalah axis mundi, menjadi poros yang menghubungkan dan menguatkan kekerabatan dan dunia luar, karena itu tamu-tamu diterima di ruang itu. Dapur terdapat di saliwoloq di atas dapur terdapat parapara untuk mengasapi daging dan di atas parapara ada palandoan untuk menyimpan barang-barang.

Pola kedua Banua Batang dikonstruksi secara horizontal juga dalam tiga ruang. Selain saliwoloq dan sali toballa ada paladan ruang yang tepat di ujung tangga.

Pondasi Membentuk Angka Sempurna

Pondasi Banua Batang, terdiri atas empat unsur. Masing-masing batulettong, batang, busun dan taukamban. Empat unsur tersebut dalam masyarakat adat Kalumpang adalah bentuk sempurna disebut kannaq sulapaqna.

Bagian paling bawah adalah delapan batu sungai (batulettong)berbentuk lonjong ditanam ke tanah dan menyisakan tinggi 30 sampai 50 centimeter di atas permukaan tanah. Bagian kedua, terdiri dari delapan batang kayu bundar (batang) berdiameter 40 sampai 50 centimeter, panjangnya sesuai kebutuhan. Setiap dua ujung batang kayu bundar membentuk sudut siku-siku di atas batulettong dengan demikian delapan log kayu bundar tersebut membentuk dua persegi panjang, luas masing-masing sekira empat meter.

Untuk busun (tiang utama) juga terdiri atas delapan kayu bundar dibentuk sedemikian rupa sesuai ciri khas etnik Kalumpang. Didirikan di atas masing-masing batulettong dengan menembus pondasi batang.

Ujung paling bawah tiang dibentuk serupa mulut yang terbuka agar bisa mengigit batulenttong. Ukuran lubang pondasi batang harus pas dengan tiang, tidak boleh ada celah untuk sehelai rambut pun. Di antara busun terdapat taukamban yang berfungsi sebagai tiang pembantu tiang utama. Taukamban juga kayu bundar berukuran lebih kecil. Setiap busun diberinama sesuai jabatan delapan pemangku adat etnik Kalumpang.

Pada ujung atas tiang utama melintang pekalo berupa balok ukuran 8 x 25 centimeter dan pelelen sebuah balok dengan ukuran yang sama.

Keduanya harus utuh. Tidak boleh disambung. Di atas pekalo dan pelelen melintang lettenan berupa kayu bundar berdiameter tujuh sampai sepuluh centimeter dengan masing-masing jarak sekira 50 centimeter. Ujungnya menjorok keluar sekira 50 centimeter melewati pekalo dan pelelen.

Di atas lettenan membujur tumarang; kayu bundar dengan ukuran yang sama dengan lettenan dan di atas tumarang terdapat karatang seukuran tumarang yang ujungnya juga menjorok 50 centimeter melewati tumaran. Di atas karatan itulah diletakkan balok ukuran 10 x 40. Untuk saliwoloq enam batang dan untuk sali toballa dua batangdisebut tamben.

Tiap sudut dipasang tiang duaboriq membentuk sudut siku-siku untuk persiapan kamar. Pada sisi lain ada tiang talluboriq membentuk dua sudut siku-siku searah.

Disebut duaboriq karena memiliki dua alur panel; ke kiri dan ke kanan. Demikian pula disebut talluboriq, karena memiliki tiga alur panet ke tiga arah. Pada sisi lain dipasang manangnga berupa kayu bundar yang akan membentuk satu sisi dinding kamar.

Di antara tiang-tiang inilah diletakkan bilah-bilah papan secara betingkat. Pertama disusun setinggi satu meter dan dikancing dengan rakkapang (balok), kemudian tingkat kedua tingginya dikurangi sapalaq (10 cm) kemudian dikancing lagi dengan rakkapang dan pada tingkat ketiga dikurangi duapalaq (20 cm) dan diujungnya langsung ditutup dengan paqsambo (balok penutup).

Filosofi Simbol

Simbol pada pola pondasi Banua Batang dengan empat unsur membentuk angka sempurna dilambangkan sebagai keterikatan dalam satu kesatuan yang utuh menopang kehidupan bersama dengan semangat maqtolin (gotong royong). Tidak boleh ada celah sehelai rambutpun yang berpotensi merenggangkan kekerabatan.

Sementara pengurangan padasetiap tingkat rangkap dinding bermakna bahwa ketinggian kedudukan tidaklah istimewa jika tidak selaras dengan sikap rendah hatia. Seorang terhormat dalam pandangan to Kalumpang dilihat dari sikap hidupnya.

Mengenai penyebutan atau penamaan pada masing-masing bagian rumah adat, juga mengandung makna filosofis; duaboriq dan talluboriq bermakna pembagian kerja dan pemberian tanggujawab secara adil dengan memperhatikan tingkat keberdayaan dan kapasitas seseorang. Manangnga berarti penegah bahwa harus ada orang tertentu yang bertindak menengahi, mendamaikan jika terjadi konflik baik perorangan atau kelompok masyarakat. Rakkapang berarti kesejahteraan dan kemaslahatan, tamben bermakna keamanan dan keselamatan, passambo adalah pengayom atau pelindung bagi keselamatan dan kehormatan seluruh masyarakat adat.

Mulai dari pondasi lapis pertama batu lettong sampai pada balok paqsambo tidak terdapat pemkaian paku, pasak atau pengikat seutaspun. Itu bermakna bahwa terciptanya kekuatan dalam masyarakat adat Kalumpang tidak ditentukan oleh unsur-unsur dari luar melainkan kepaduan cara pandang dan keharmonisan sikap masyarakatnya. Kehidupan yang menyatu dengan alam akan mengalirkan kekuatan yang tidak mudah koyak oleh pengaruh dari luar.

Dua ruang keluarga yang terdiri atas dua kata Sali (hamparan)dan Woloq atau Boloq (warisan bukan benda) bermakan bahwa warisan leluhur yang sesungguhnya bukanlah harta benda melainkan karakter dan identitas yang menjadi pengikat kekerabatan yang kuat. Kekerabatan yang kuat itu akan tercipta jika ada poros yang selalu menghubungkan atau merawat, maka di antara dua saliwoloq terdapat salitoballa sebagai poros yang merawat ikatan kekerabatan itu. Karena itu salitoballa menjadi tempat pelaksanaan musyawarah para titadokkon membicarakan hajat hidup masyarakat.

Salitoballa juga menjadi tempat menerima tamu dan tamu sangat dimuliakan dalam tradisi masyarakat adat Kalumpang. Dengan ditempatkannya di Salitoballa maka wajiblah bagi semua kepala keluarga yang tinggal di Banua Batang untuk melayani tamu tersebut dengan pelayanan terbaik.

Lambukan sebagai ruang paling bawah yang menopang keseluruhan Banua Batang melambangkan sumber pemeliharaan hidup dari empat unsur; batulettong yang mutlak batu sungai karena diyakini kekokohannya setelah menahan hempasan arus jeram sepanjang waktu, batang log kayu bundar sebagai perlambang keutuhan hidup dalam lingkaran hukum alam, busun dari delapan kayu bundar melambangkan delapan pemangku adat sebagai otoritas tertinggi penentu kebijakan dan taukamban sebagai unsur keempat melambangkan masyarakat umum yang harus dilibatkan dalam seluruh proses pembangunan. Empat unsur tersebut dalam masyarakat etnik Kalumpang itu adalah bentuk sempurna disebut kannaq sulapaqna.

Paladan sebagai ruang ketiga walaupun di luar dinding utama dan tidak berdinding menghadap salitoballa namun tetap dipersatukan oleh atap dan tangga. Itu melambangkan adanya rasa kesatuan. Tidak berdinding melambangkan keterbukaan masyarkatnya terhadap orang lain pada batas-batas tertentu, sepanjang tidak merusak keseimbangan alam dan identitas mereka.

Filosofi simbol pada arsitektur banua batang tersebut merupakan pengejawantahan sikap hidup to Kalumpang dengan sistem parental kekerabatan. (**)

  • Bagikan

Exit mobile version