Oleh: Jeffriansyah DSA
(Dosen Universitas Muhammadiyah Mamuju)
Setiap Agustus kita seakan punya dua panggung. Panggung pertama: panggung negara yang rapi, khidmat, dan seragamnya licin diseterika. Panggung kedua: panggung kampung yang riuh, penuh tawa, spanduk sumbangan, dan daftar iuran di grup WhatsApp RT. Dua panggung ini sama-sama merayakan merdeka, tapi dompet yang menanggungnya beda. Yang satu ditopang APBN/APBD, yang satunya lagi ditopang kantong warga.
Pemerintah Sulawesi Barat dan Pemerintah Mamuju memberi kita contoh menarik. Tahun 2024 untuk pertama kalinya upacara HUT RI tingkat provinsi dipusatkan di Anjungan Pantai Manakarra Mamuju. Langkah yang membuka ruang publik bukan sekadar halaman kantor pemerintah. Pilihan lokasi ini bukan cuma teknis, tapi ada pesan yang ingin disampaikan yatu negara hadir di ruang yang sama dengan warganya.
Tapi sisi lainnya, wajah perayaan di kampung tetap setia pada resep lama yaitu iuran warga, proposal ke donatur lokal, dan kreatifitas panitia. Coba intip format proposal 17‑an yang ramai beredar saban tahun, komponennya mirip: tenda, panggung, konsumsi, hadiah lomba, dekorasi, plus sedikit “ongkos lelah” panitia. Sumber dananya? Sisa kas RT, iuran per KK, sponsor tetangga baik, atau “open donasi”. Hal ini bukan asumsi, ini pola umum yang terlihat dari aneka contoh proposal publik yang dirilis media dan dokumen komunitas.
Ketika Simbol Bertemu Dompet, Pelajaran dari Sulbar & Mamuju
Kalau bicara simbol, Mamuju sudah lama bermain di ranah ini. Tahun 2013 Bupati Mamuju memimpin upacara berpakaian nelayan di laut sekitar Pulau Bone Tangga, dirangkai Pesta Nelayan. Ini bukan gimmick, ini cara mengangkat identitas maritim ke panggung kemerdekaan. Simbol kuat yang menegaskan bahwa kemerdekaan juga milik para penakluk gelombang.
Pemprov Sulbar pun bergerak, memindahkan upacara ke Anjungan Pantai Manakarra di tahun 2024 adalah contoh “simbol yang dibumikan”, mendekatkan seremoni negara ke warga. Namun kita perlu jujur meski simbol makin dekat, arus anggarannya sering masih lebih deras ke seremoni resmi ketimbang ke pesta rakyat kampung. Upacara dan rangkaian acara instansi relatif aman dan rapi karena ada pos anggarannya. Sementara panitia RT harus kreatif, mulai dari iuran Rp50–75 ribu per KK, sampai berburu sponsor lokal demi hadiah lomba balap karung. Polanya tampak konsisten di berbagai contoh anggaran dan proposal yang beredar.
Apakah selalu begitu? Tidak juga. Ada kabar baik dari bawah. Desa Dungkait, Tapalang Barat-Mamuju misalnya, mengalokasikan sekitar Rp 32,06 juta dari Alokasi Dana Desa (ADD) khusus untuk menyemarakkan HUT RI ke‑80. Mendanai lomba olahraga, seni, karnaval, sampai atribut perayaan. Ini contoh bahwa anggaran desa bisa jadi bensin yang sah dan sehat untuk pesta rakyat, bukan sekadar mengandalkan iuran.
Kacamata Ekonomi: Beban Kecil yang Menumpuk, Manfaat Sosial yang Nyata
Di level rumah tangga, iuran 50–75 ribu mungkin terasa kecil. Tapi kalau ekonomi lagi seret, iuran berulang bisa bikin nafas mepet. Panitia RT biasanya menekan biaya di dekorasi atau konsumsi, padahal dua pos ini krusial buat rasa kebersamaan. Coba lihat di dokumen-dokumen proposal publik, pos terbesar sering jatuh pada hadiah lomba, panggung-sound system, konsumsi, dan dekorasi dengan angka totalnya gampang menyentuh Rp 6–9 juta untuk satu rangkaian acara tingkat lingkungan. Artinya, tanpa suntikan dana pemerintah, beban kolektif warga nyaris pasti naik.
Namun jangan lupa, ada dividen sosial dari pesta rakyat yang tak bisa dihitung kalkulator: jejaring antarwarga, sense of belonging, dan trust. Itulah alasan mengapa pesta kampung, meski pakai iuran, tapi tetap digelar. Tugas pemerintah (provinsi/kabupaten) adalah mengurangi gesekan biaya agar dividen sosial ini tumbuh tanpa menggerus dompet warga.
Kacamata Kebijakan: Dari “Panggung Negara” ke “Amplifier Warga”
Kita sudah punya preseden kebijakan yaitu ada daerah yang menggelontorkan dana per RW untuk perayaan PHBN (Perayaan Hari Besar Nasional) contohnya Rp1 juta/RW bersumber ADPD (bukan iuran warga). Skema kecil seperti ini punya efek besar, panitia tak perlu berkali‑kali mengetuk pintu rumah warga.
Lalu apa yang bisa dilakukan Pemprov Sulbar dan Pemkab Mamuju?
A) Skema Mikro‑Grant PHBN (Provinsi & Kabupaten) yaitu : (1).bentuk hibah mikro Rp2–5 juta per RW/Kelurahan/Desa untuk kegiatan Agustus, disalurkan via mekanisme yang sederhana (berbasis daftar rencana kegiatan & RAB ringkas). (2) Dana provinsi memperkuat yang kabupaten/desa sudah lakukan, bukan menggantikan agar tidak double counting. (3) Prioritas pada wilayah dengan basis iuran tinggi atau kantong rumah tangga rentan (indikator kemiskinan/desil konsumsi).
B) “50:30:20 Rule” buat Panitia RT/RW, yaitu : 50% hadiah & pengalaman warga (lomba yang relevan lintas usia), 30% konsumsi & dekorasi (atmosfer itu penting), 20% dokumentasi & keamanan. Format ini memaksa panitia menyeimbangkan “seru” dan “ramah dompet”.
C) Transparansi 1 Laman, Contoh Dungkait yang berani mempublikasikan alokasi ADD untuk HUT RI perlu jadi standar, satu laman (desa/kelurahan/kecamatan) menampilkan RAB, realisasi, sponsor, dan dokumentasi. Hal ini membuat Trust publik naik dan partisipasi naik.
D) Kembalikan Simbol ke Warga, Pemkab Mamuju bisa menghidupkan kembali format Pesta Nelayan atau tematik lokal (kopi, kakao, hasil laut) tapi dengan skema anggaran inklusif yang bukan hanya panggung besar tapi paket kecil untuk RT yang ingin bikin lomba bertema maritim misalnya.
Merdeka itu “Barengan”, Bukan “Bergantian”
Pemprov Sulbar sudah memberi pesan simbolik kuat dengan memindahkan upacara ke Anjungan dekat laut, dekat warga. Pemkab Mamuju punya sejarah indah merayakan kemerdekaan di laut, dekat nelayan, dekat nadi ekonomi lokal. Tinggal satu langkah lagi yaitu mendekatkan anggaran ke titik di mana tawa anak‑anak kampung pecah saat lomba makan kerupuk dimulai.
Merdeka itu bukan milik barisan pejabat di panggung atau milik panitia RT yang jungkir balik sendirian. Merdeka adalah milik kita semua. Tugas pemerintah adalah menjadi amplifier, bukan sekadar announcer. Saat simbol dan anggaran sama‑sama turun ke lapangan maka dua panggung itu akhirnya menyatu. Panggung negara dan panggung kampung dengan satu sorak yang sama “Indonesia, merdeka!” (*)