Soal Kasus Korupsi Pembiayaan Kredit, Penetapan Tersangka oleh Kejati Sulbar Digugat

  • Bagikan

MAMUJU, RADAR SULBAR – Analis kredit Bank Sulselbar Andi Fajri Andhika menggugat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Barat atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembiayaan kredit pada tahun 2021.

Menurutnya sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mamuju, Selasa 29 Juli 2025 perlu ditinjau kembali. Melalui kuasa hukumnya, pemohon meminta majelis hakim praperadilan menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh Kejati Sulbar tidak sah, karena dianggap tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, serta tidak disertai bukti permulaan yang cukup sebagaimana disyaratkan dalam KUHAP.

Dalam permohonannya, Andi Fajri menyatakan seluruh tindakannya sebagai analis kredit bersifat administratif.

Pemohon melalui kuasa hukumnya berargumen bahwa tindakan yang dilakukan adalah murni administratif dalam kapasitasnya sebagai analis kredit.

Selain itu, pemohon juga menyebutkan, terjadi pemaksaan dalam penanganan perkara tersebut, alasannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru diterima Andi Fajri bahkan setelah ditahan. Hal ini disebut sebagai proses yang cacat prosedural dalam penanganan perkara tersebut.

Sementara itu, pihak Termohon, dalam hal ini Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Barat, menyatakan bahwa proses penyidikan telah dilakukan secara sah dan profesional. Dalam tanggapannya, jaksa menyebut penetapan tersangka telah sesuai hukum acara pidana karena telah didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah.

Jaksa juga mengungkapkan bahwa penetapan Andi Fajri sebagai tersangka didasarkan pada hasil pemeriksaan 22 saksi, keterangan ahli dari BPK RI, serta Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK yang menyebutkan adanya kerugian negara sebesar Rp28 miliar dalam kasus tersebut.

“Penetapan tersangka bukan bentuk kriminalisasi, melainkan hasil dari proses penyidikan yang telah mengantongi bukti cukup sesuai Pasal 184 KUHAP. Pemohon mencoba membawa materi pokok perkara ke ruang praperadilan, yang seharusnya menjadi ranah pembuktian dalam persidangan,” ujar jaksa dalam sidang.

Pihak kejati Sulbar juga membantah dalil bahwa pemohon tidak diberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Mereka menyebut SPDP telah diserahkan pada 11 Juli 2025, satu hari setelah penetapan tersangka, saat pemohon berada di Rutan Kelas IIB Mamuju.

Sidang praperadilan ini menjadi penting karena menyentuh aspek fundamental sistem peradilan pidana, khususnya dalam membedakan tanggung jawab administratif dan pidana dalam kasus sektor keuangan. Hakim tunggal kini diminta untuk menguji apakah tindakan penyidik dalam menetapkan tersangka telah sah secara hukum atau justru menyimpang dari prinsip keadilan.

Putusan hakim dalam sidang praperadilan ini akan menjadi penentu apakah perkara dilanjutkan ke tingkat pengadilan pidana atau dihentikan karena dianggap cacat hukum. (imr)

  • Bagikan