OLEH: Jeffriansyah DSA (Dosen Universitas Muhammadiyah Mamuju)
“Anak yang diam belum tentu paham. Anak yang patuh belum tentu tumbuh.”
Pendidikan adalah instrumen fundamental dalam membangun peradaban, tetapi di negeri ini ia kerap kali terjebak pada formalitas dan ketertiban semu. Kita lebih sibuk mengatur panjang rambut dan warna kaus kaki daripada membangun nalar dan keberanian berpikir anak didik kita.
Lembaga pendidikan menjadi tempat yang menghargai ketundukan, bukan keberanian untuk bertanya. Pertanyaan kritis sering dibungkam dengan dalih “sopan santun”. Padahal bertanya adalah fondasi berpikir. Anak yang banyak bertanya bukan berarti tidak sopan melainkan sedang mengasah logikanya. Sayangnya sistem pendidikan kita masih menganggap keaktifan nalar sebagai potensi gangguan, bukan pertanda tumbuhnya kecerdasan.
Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat anak tumbuh dalam pemahaman, bukan semata-mata hafalan. Namun hingga kini masih banyak institusi pendidikan yang lebih memperhatikan potongan rambut daripada isi kepala. Jika seorang siswa ditolak masuk kelas karena sepatunya berlogo putih, tetapi dibiarkan mencontek saat ujian, maka kita sedang mengajarkan pesan moral yang keliru: bahwa penampilan lebih penting daripada integritas.
Menurut Prof. Arief Rachman (Kompas, 2019), “Lembaga Pendidikan tak boleh sekadar menjadi pengatur perilaku simbolik, tetapi juga harus mampu menjadi tempat tumbuhnya nilai-nilai kejujuran, empati, dan kemampuan berpikir.” Sayangnya, sistem kita masih menilai “anak baik” dari segi atribut fisik, bukan akal dan nalar.
Sistem yang Menyandera Proses Berpikir
Sistem pendidikan Indonesia masih mewarisi struktur kolonial: mencetak pegawai yang taat dan patuh, bukan pemikir yang bebas dan inovatif. Tidak heran, kultur berpikir kritis sulit tumbuh. Kita hanya mengganti seragamnya, tapi polanya tetap sama.
Dr. Ahmad Rizali, pakar kebijakan pendidikan (Wahid Institute, 2020) menyatakan “Dunia berubah cepat, tetapi kurikulum kita masih berkutat pada pola pendidikan abad
19.” Rendahnya kemampuan berpikir kritis di kalangan pelajar Indonesia bukanlah kesalahan individu semata, melainkan cermin dari sistem pendidikan yang tak memberi ruang pada keberanian intelektual. Indonesia konsisten berada di peringkat 10 terbawah
dalam penilaian PISA untuk kemampuan membaca, sains, dan matematika. (OECD, PISA 2018).
Kita terlalu bangga pada “anak-anak yang tertib” dalam upacara dan baris-berbaris, padahal dunia tidak lagi membutuhkan manusia yang hanya bisa tunduk. Dunia butuh anak-anak yang bisa berpikir, membedakan mana benar dan salah, mana logis dan manipulatif. Pendidikan semestinya menyalakan logika, bukan mematikan nalar.
Mengapa Literasi Digital Kita Rendah?
Kenyataan di banyak lembaga pendidikan, murid dianggap berhasil bila bisa menjawab soal, meski tidak paham logika jawabannya. Dunia nyata tidak bekerja seperti itu. Di luar Lembaga Pendidikan, yang dituntut adalah kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, membuat keputusan etis, dan menjelaskan alasan di balik pilihan.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation and Development) dalam laporan PISA 2022 data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di posisi bawah, lebih rendah dari rata-rata OECD pada semua domain. Hal ini menempatkan Indonesia di posisi bawah dalam kategori membaca pemahaman, sains, dan matematika, karena sistem kita masih menekankan hafalan, bukan analisa dan logika.
Salah satu unggahan visual yang sangat menyentil, tertulis bahwa “HP disita. Laptop dilarang.” Sementara di negara lain, anak-anak seusia mereka sudah belajar coding, membuat simulasi, dan membangun startup kecil.
Ketakutan sistem terhadap perubahan, utamanya teknologi, telah menjadi penghambat utama literasi digital. Seolah teknologi adalah ancaman, bukan alat belajar. Padahal, UNESCO (2022) menegaskan bahwa integrasi teknologi digital ke dalam sistem pendidikan justru mampu meningkatkan kualitas belajar dan daya saing global pelajar.
Dari Polisi Atribut Menuju Mentor Akal
Pendidik idealnya adalah pendamping berpikir, bukan penjaga penampilan. Ia membangkitkan rasa ingin tahu, mendampingi eksplorasi logika dan membentuk karakter intelektual yang sehat. Di negara seperti Finlandia dan Belanda, pendidik dihormati bukan karena mereka menegakkan aturan seragam, tapi karena mereka membentuk kultur berpikir sejak dini. Tidak ada seragam, tidak ada baris-berbaris, yang ada adalah kelas diskusi, dialog, dan proyek.
Penelitian Sahlberg (2015) tentang sistem pendidikan Finlandia menunjukkan bahwa fleksibilitas dan kepercayaan terhadap pendidik sebagai mentor adalah kunci dari sistem yang sukses
Pendidik harus bertransformasi dari “polisi atribut” yang hanya fokus pada tampilan fisik siswa, menjadi mentor akal yang menuntun proses berpikir, berdialog, dan merumuskan solusi.
Sebuah riset oleh Brookfield (2012) dalam Teaching for Critical Thinking menyatakan bahwa “pendidik bukan penyampai informasi, melainkan fasilitator berpikir kritis dan pembebas dari ketidaktahuan.” Sayangnya, dalam konteks kita, pendidik kerap menjadi eksekutor aturan, bukan fasilitator dialog.
Sistem yang menekankan pada keseragaman hanya akan melahirkan generasi seragam: takut salah, tidak berani beda, dan miskin refleksi. Pendidikan harus mengembalikan fitrahnya sebagai ruang untuk menumbuhkan keberanian berpikir, bukan sekadar mencetak lulusan yang patuh.
Solusinya: Pergeseran Fokus, Bukan Anarki
Aturan tetap perlu. Tetapi aturan bukanlah panglima. Hal utama adalah proses berpikir. Perilaku baik seharusnya dibangun dari pemahaman, bukan dari larangan. Disiplin seharusnya lahir dari kesadaran, bukan ketakutan. Anak-anak harus tahu mengapa mereka harus tepat waktu, bukan hanya takut dihukum karena datang terlambat.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa pendidikan bukan soal membuat semua anak seragam. Tapi soal menemukan potensi, menyalakan logika, dan membentuk kekuatan moral. Seperti diungkap oleh John Dewey, “pendidikan bukan persiapan untuk hidup, pendidikan adalah hidup itu sendiri.” Maka tugas pendidik bukan menertibkan rambut dan baju, tapi membentuk isi kepala.
Saatnya pendidikan Indonesia kembali ke akar: mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu artinya membangun nalar, bukan sekadar menata seragam. Itu artinya mendidik empati, kejujuran, dan pemahaman, bukan hanya menekan dengan larangan. (*)