Oleh: Jeffiriansyah DSA (Dosen Universitas Muhammadiyah Mamuju)
Skripsi adalah salah satu tahap akhir dari perjalanan intelektual mahasiswa program sarjana. Skripsi bukan hanya syarat administratif untuk meraih gelar tetapi merupakan arena penting mahasiswa menunjukkan kematangan berpikir, keterampilan metodologis, dan integritas akademik.
Sayangnya pengalaman di ruang sidang skripsi tidak selalu mencerminkan semangat ini. Banyak mahasiswa yang menghadapi tekanan luar biasa bukan karena kurangnya penguasaan materi tetapi karena suasana ujian yang intimidatif. Alih-alih menjadi forum apresiasi atas kerja keras bertahun-tahun, ruang sidang justru terasa seperti ruang interogasi yang menyulitkan.
Sebagai dosen yang melihat langsung maupun menonton potongan video di media sosial di beberapa perguruan tinggi, saya kerap menyaksikan mahasiswa yang gemetar bukan karena tak paham isi penelitiannya melainkan karena merasa dihakimi. Suara bergetar, tangan dingin, bahkan hingga mengaku trauma. Mahasiswa merasa tidak diuji atas pikirannya tetapi atas keberaniannya untuk menghadapi dosen yang dalam beberapa kasus terlalu menunjukkan superioritas. Padahal, skripsi bukan arena pertarungan. Skripsi adalah ruang evaluasi ilmiah, tempat mahasiswa membuktikan bahwa ia mampu berpikir secara runtut dan menyampaikan temuannya secara sistematis dan etis. Ujian skripsi seharusnya menjadi panggung apresiasi atas proses intelektual yang telah ditempuh, bukan ajang menjatuhkan mental mahasiswa.
Ironisnya di balik semua dinamika itu, masih ada praktik-praktik menyimpang yang mencoreng integritas akademik. Beberapa unggahan media sosial TikTok dan Instagram ditemukan fenomena mahasiswa yang menggunakan jasa joki untuk membuat skripsi. Salah satu video memperlihatkan seorang mahasiswa yang tak mampu menjawab satu pun pertanyaan karena ia sendiri tak memahami isi skripsinya (TikTok.com, “Fenomena Joki Skripsi dan Dampaknya”, 2024).
Selain itu, isu pemberian amplop kepada dosen penguji sebagai “pelicin kelulusan” juga kerap mencuat di berbagai forum kampus, meski sulit dibuktikan secara terbuka (Hukumonline.com, “Hukum Memberikan Amplop kepada Dosen Penguji”, 2023). Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa tekanan berlebihan bisa mendorong mahasiswa mencari jalan pintas lalu mengorbankan nilai-nilai kejujuran dan integritas. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan kegagalan individu tetapi juga cacat sistemik dalam mekanisme pembimbingan dan pengujian skripsi.
Namun tidak semua pengalaman sidang berakhir kelam. Ada juga mahasiswa yang menjalani sidang skripsi dengan lancar dan penuh semangat. Salah satu pengalaman positif ditulis oleh seorang mahasiswi di Lemon8 (Lemon8, “Pengalaman Sidang Skripsi 20 Menit yang Menyenangkan”, 2024), yang mengaku menjalani sidang skripsi hanya dalam waktu 20 menit. Para dosen penguji membaca skripsinya secara menyeluruh sebelum sidang dan memberikan pertanyaan yang tepat, jelas, dan membangun. Tidak ada tekanan berlebihan, tidak ada pertanyaan menjebak.
Sebaliknya, suasana ujian berlangsung suportif dan hangat. Pengalaman ini menunjukkan bahwa budaya akademik yang sehat sangat mungkin diwujudkan jika dosen memosisikan diri sebagai mitra berpikir, bukan sebagai pengadil. Suasana yang mendukung seperti ini membuat mahasiswa dapat menampilkan potensi terbaiknya dan benar-benar menyampaikan gagasan dengan percaya diri.
Dalam bukunya “The Death of Expertise”, Tom Nichols mengkritik dua ekstrem dalam dunia akademik masa kini: masyarakat yang cenderung meremehkan otoritas keilmuan dan para ahli yang justru mempertontonkan superioritas mereka secara berlebihan (Tom Nichols, The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters, Oxford University Press, 2017, New York). Konteks sidang skripsi, fenomena ini terasa nyata. Ketika dosen penguji terlalu sibuk menegaskan otoritasnya dan kurang menghargai proses berpikir mahasiswa maka sidang kehilangan makna sebagai forum ilmiah. Mahasiswa yang seharusnya didorong untuk berpikir kritis dan terbuka justru merasa terintimidasi dan gagal menyampaikan gagasan yang telah ia bangun dengan susah payah. Nichols menekankan bahwa keahlian sejati bukan sekadar memiliki pengetahuan lebih melainkan kemampuan untuk menyampaikan pengetahuan itu dengan cara yang membangun dan memberdayakan orang lain.
Kasus lain yang mencerminkan kekerasan simbolik dalam dunia akademik muncul dalam bentuk cyberbullying. Studi kasus di UIN Purwokerto menunjukkan bagaimana mahasiswa menjadi korban perundungan digital di grup WhatsApp kampus, mulai dari editan gambar hingga komentar sinis yang memperburuk kesehatan mental mereka (Repository UIN Purwokerto, Boby Iman Nurhakim, “Studi Kasus Cyberbullying Akademik di Grup WhatsApp Mahasiswa”, 2022) . Meskipun ini tidak terjadi langsung di ruang sidang skripsi, fenomena ini memperkuat bahwa kekerasan simbolik bisa muncul di berbagai bentuk interaksi akademik jika etika dan empati tak dikedepankan. Lingkungan akademik yang tidak sehat dapat menjadi ladang subur bagi praktik-praktik destruktif yang menggerus semangat belajar mahasiswa dan menjauhkan mereka dari cita-cita intelektual sejati.
Sudah saatnya kita mengembalikan sidang skripsi ke hakikatnya sebagai ruang apresiasi. Dosen penguji bukan hanya bertugas menguji, tetapi juga membimbing mahasiswa menyempurnakan penelitiannya. Umpan balik yang diberikan harus konstruktif, relevan, dan membangun semangat. Penguji yang baik bukan hanya menilai hasil akhir, tetapi menghargai proses berpikir dan kerja keras mahasiswa. Pelatihan etika akademik dan komunikasi empatik perlu menjadi bagian dari sistem penjaminan mutu perguruan tinggi. Keberhasilan akademik mahasiswa bukan hanya ditentukan oleh kualitas karyanya, tetapi juga oleh cara institusi membentuk ekosistem yang mendukung.
Transformasi ini juga bisa diwujudkan melalui penyusunan pedoman sidang yang lebih manusiawi. Pengujian harus didasarkan pada isi skripsi yang telah dibaca, bukan pertanyaan spontan yang sering kali keluar dari konteks. Institusi perlu menyediakan ruang pengaduan bagi mahasiswa yang merasa terintimidasi dalam ujian. Monitoring dan evaluasi penguji secara berkala juga penting agar praktik akademik tetap dalam koridor etika dan profesionalisme. Sistem akuntabilitas dan transparansi perlu diperkuat, termasuk dokumentasi proses sidang, kejelasan indikator penilaian, serta pembagian peran yang jelas antara pembimbing dan penguji.
Upaya untuk mendukung transformasi ini, berbagai perguruan tinggi dapat mengadopsi pendekatan inovatif dalam proses sidang. Misalnya menghadirkan penguji eksternal sebagai penyeimbang perspektif, atau melibatkan mahasiswa dalam forum refleksi setelah sidang untuk memberi masukan terhadap pengalaman mereka. Beberapa kampus bahkan mulai mengintegrasikan aspek-aspek kesejahteraan psikologis mahasiswa ke dalam kebijakan akademik, seperti menyediakan konselor khusus bagi mahasiswa akhir dan pelatihan komunikasi empatik bagi dosen. Inisiatif seperti ini menunjukkan bahwa membangun budaya akademik yang sehat bukanlah utopia.
Mari kita mengubah paradigma. Ujian skripsi bukan tempat mempertontonkan kehebatan dosen melainkan forum penguatan pemikiran mahasiswa. Menguji skripsi dengan hati berarti memberi ruang aman bagi mahasiswa untuk menyampaikan gagasannya, menghargai prosesnya, dan menumbuhkan kepercayaan dirinya sebagai calon sarjana yang berpikir secara etis dan sistematis. Pendidikan sejatinya bukan tentang siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling mampu menumbuhkan pengetahuan. (*)