Festival Sungai Tubo-Salutambung, Rachmad: Gubernur Bersama Rakyat, Menjaga Hidup-Mencegah Bencana

  • Bagikan

 MAJENE, RADAR SULBAR –Suara alam dan leluhur terbalut dalam sebuah Festival Sungai Tubo dan Tinambung di Kabupaten Majene, Selasa 17 Juni 2025. 

Kegiatan ini akan berlangsung selama dua hari, mulai 17 hingga 18 Juni 2025. Mengemas sejumlah item kegiatan seperti Parade nelayan dan deklarasi , Pembacaan puisi, Dialog public , panggung seni dan budaya, tarian anak sungai menolong/teater, sayang-sayang, orasi kebudayan, pemutaran film dokumenter, mimbar bebas, lomba kuliner, tanam mangrove, hingga pertunjukan mural.

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan solidaritas warga dalam melestarikan sungai Tubo-Salutambung serta merawat ingatan kolektif terhadap nilai historis yang membentuk identitas dan budaya masyarakat yang hidup di bantaran sungai Tubo.

Kepala Dinas PUPR Sulbar Rachmad mengatakan, dirinya hadir atas perintah Gubernur Sulbar Suhardi Duka untuk membuka acara tersebut.

Sebenarnya, kata Rachmad, Gubernur sangat ingin hadir langsung di acara kegiatan namun terkendala tugas sehingga mengutus dirinya membuka kegiatan tersebut.

“Beliau sejatinya sangat ingin hadir secara pribadi, namun karena tugas yang tidak dapat diwakilkan, beliau mengamanahkan kepada saya untuk menyampaikan pesan dan dukungan penuhnya,” ucap Rachmad. 

Pendapat  Gubernur mengenai tema yang diusung dalam festival ini, “Mattayang Tubo, Mattola’ Bala”, bukan sekadar slogan, melainkan jeritan jiwa dan sebuah pernyataan sikap yang berakar dari kearifan terdalam nenek moyang.

“Mattayang Tubo—Menjaga Hidup. Hidup yang dimaksud, menurut Gubernur, bukanlah sekadar napas yang kita hirup, melainkan keseluruhan ekosistem yang menopang kita. Sungai ini adalah sumber kehidupan itu. Bagi kita, orang Mandar, sungai adalah urat nadi peradaban, jalur budaya yang menghubungkan Pitu Ulunna Salu di pegunungan, dengan Pitu Ba’ba Binanga di pesisir,” terang Rachmad. 

“Leluhur kita telah mewariskan falsafah agung: “Ma’dodo litak, ma’puhewa Waie”—Tanah adalah sarungmu, air adalah bajumu. Filosofi ini mengajarkan bahwa alam adalah pakaian kehormatan kita. Merusak tanah dan air berarti 

menelanjangi diri kita sendiri, merendahkan harkat yang telah diwariskan dengan penuh perjuangan,” sambung Rachmad. 

Dia melanjutkan, wilayah Tubo pernah menyandang gelar “Daeng Mattayang”, Sang Penjaga. Gelar itu adalah tanggung jawab kolektif. 

“Hari ini, kita semua sedang membuktikan bahwa semangat Daeng Mattayang itu masih menyala terang. Maka, Gubernur ingin menegaskan komitmen Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat: Pembangunan ekonomi harus berjalan selaras dengan kelestarian lingkungan dan keluhuran budaya. Pertumbuhan tidak boleh meninggalkan luka pada alam dan sejarah. Pemerintah akan berdiri bersama rakyat untuk “menjaga hidup” dengan melindungi setiap jengkal sungai ini, dan bersama-sama kita akan “mencegah bencana” dengan memastikan tidak ada  aktivitas yang mengorbankan masa depan anak cucu kita,” pungkasnya. 

Rachmad juga memastikan, ide dan pemikiran yang lahir dari festival ini akan menjadi pertimbangan utama dan bahan evaluasi serius dalam setiap pengambilan kebijakan terkait lingkungan hidup.

“Mari kita jadikan festival ini sebagai tonggak solidaritas. Mari kita rapatkan barisan dan satukan hati,” tutup Rachmad. (*)

  • Bagikan