MAMUJU, RADAR SULBAR – Seratus hari kerja Bupati dan Wakil Bupati Mamuju Mamuju, St. Sutinah Suhardi- Yuki Permana, (Sutinah-Yuki) menjadi catatan penting bagi sejumlah pihak. Duet kepala daerah ini diingatkan agar lebih maksimal dalam melakukan percepatan pembangunan.
Catatan ini sesuai harapan masyarakat ibu kota Sulbar, agar mereka bisa membawa Mamuju ke arah yang lebih baik. Menjadikan daerah ini lebih cekatan dalam menangani masalah yang timbul di kalangan masyarakat, pada semua sektor.
Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Mamuju, Jeffriansyah Dwisahputra Amory menyatakan, 100 hari kerja Sutinah-Yuki harus ditimbang secara objektif. Ia mengapresiasi beberapa langkah positif, juga memberikan catatan sejumlah isu.
Apresiasi yang ia diberikan antara lain pengangkatan PPPK guru untuk mengatasi kesenjangan pendidikan di wilayah terpencil seperti Kecamatan Kalumpang.
Selain itu, program relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) ke Anjungan Pantai Manakarra juga mendapat pujian. Meski konsistensi kebijakan relokasi tersebut perlu diuji, desain zonasi blok, dukungan utilitas seperti air, listrik, pengelolaan sampah, serta pendekatan partisipatif dari OPD dan kelurahan dianggap mencerminkan arah kebijakan publik yang inklusif dan partisipatif, sejalan dengan teori good governance.
Janji perbaikan jalan dalam kota dengan alokasi anggaran Rp25 miliar dan perhatian pada peningkatan pajak daerah dari sektor rumah makan juga dinilai menunjukkan pergeseran menuju optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun, Jeffriansyah menegaskan bahwa capaian tersebut masih dibayang-bayangi sejumlah permasalahan mendasar. Ia menyoroti realisasi belanja APBD hingga April 2025 yang hanya mencapai 16,56 persen. Hal tersebut menunjukkan kinerja OPD yang lemah, terutama Dinas PUPR dan Dinas Kesehatan.
“Padahal, pembangunan infrastruktur dan kesehatan merupakan fondasi pembangunan sosial ekonomi,” kata Jeffriansyah, Selasa 3 Juni.
Lebih lanjut, krisis penggajian PPPK Tenaga Kesehatan yang belum terbayar selama dua bulan karena belum diterbitkannya SK oleh Bupati dianggap sebagai preseden buruk dalam tata kelola SDM pelayanan dasar.
“Hal ini bertentangan dengan prinsip responsiveness dan accountability dalam manajemen publik. Pemerintah tampak tidak tanggap terhadap kondisi petugas kesehatan yang bekerja di pelosok dengan beban berat tanpa kepastian penghasilan,” jelasnya.
Peningkatan angka kemiskinan ekstrem dari 0,54% menjadi 2% dalam dua tahun terakhir juga mendapat perhatian serius. Menurutnya, ini menandakan bahwa intervensi kebijakan belum menyentuh akar masalah, terutama dalam pengendalian harga bahan pokok dan jangkauan pasar murah, serta menunjukkan kelemahan dalam target subsidi.
Untuk itu, Jeffriansyah menyarankan Tina-Yuki mendorong reformasi OPD yang berkinerja rendah, penguatan sistem respons pelayanan publik seperti percepatan penerbitan SK dan sistem insentif berbasis kinerja, serta reformasi penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) dengan penerapan e-budgeting.
Ia juga menekankan Tina-Yuki fokus pada intervensi spesifik untuk kemiskinan ekstrem melalui pendekatan multidimensional dan perluasan partisipasi masyarakat sipil.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPRD Mamuju, Sugianto, secara spesifik menyoroti sektor infrastruktur, meliputi jalan, jembatan, drainase, persampahan, lampu penerangan jalan, hingga layanan air bersih dari PDAM. Menurut Sugianto, semua kebutuhan dasar warga tersebut masih dalam kategori rapor merah.
Sugianto juga menyoroti peningkatan angka kemiskinan ekstrem. Menurutnya, persoalan kemiskinan akan berbanding lurus dengan meningkatnya angka stunting.
Terkait pelayanan kesehatan, Sugianto mendesak Tina-Yuki untuk turun langsung memantau dan memonitor di lapangan guna mendengar keluhan masyarakat, khususnya PPPK yang belum menerima gaji dan insentif.
“Bagaimana mungkin mereka bersemangat memberikan pelayanan kalau tidak menerima gaji tiga bulan dan insentif?” tandas Sugianto. (irf/sol)