Oleh: M Danial
TANGGAL 30 April 17 tahun yang lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani UU Keterbukaan Informasi Publik: UU Nomor 14 Tahun 2008. UU tersebut diundangkan pada hari yang sama, namun berlaku efektif dua tahun kemudian. Yaitu pada 30 April 2010.
Hari penetapan UU KIP merupakan tonggak awal keterbukaan informasi publik di Indonesia. Hari Keterbukaan Informasi Nasional atau HAKIN. Sedangkan Hari untuk Tahu Internasional atau Right to Know Day (RtKD) pada 28 September 2002 melalui deklarasikan di Sofia, Bulgaria.
HAKIN dan RtKD memiliki keterkaitan yang erat. Keduanya menekankan pentingnya keterbukaan informasi publik. Untuk memastikan hak rakyat memperoleh informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia dan pilar demokrasi. Juga untuk mendorong terwujudnya pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Selain itu, mencegah praktik korupsi di semua jenjang pemerintahan.
Keterbukaan informasi bukan sekadar hak warga negara yang dilindungi UU. Tetapi juga merupakan fondasi untuk pemerintahan yang demokratis. Dengan keterbukaan, masyarakat dapat mengetahui proses perencanaan pembangunan. Dan ikut serta mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan. Intinya membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Transparansi dan keterbukaan merupakan juga bentuk upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel.
Hingga kini pelaksanaan keterbukaan informasi masih menghadapi tantangan. Penyebabnya, belum semua badan publik memiliki komitmen yang disertai konsistensi untuk melaksanakan keterbukaan dan transparansi. Masih banyak yang setengah hati untuk transparansi – terbuka. Keterbukaan yang dilaksanakan kebanyakan sebagai formalitas belaka. Untuk menggugurkan kewajiban. Bukan karena dilandasi komitmen dan tanggung jawab terhadap kepentingan publik. Tak heran kerap muncul kecurigaan: ada apa di balik itu?
“Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan / atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri,” (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 14 Tahun 2008).
Waktu dua tahun berlakunya secara efektif UU KIP setelah diundangkan pada 30 April 2008. Kala itu didasari pertimbangan untuk persiapan pembentukan Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi di seluruh Indonesia. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya. Fungsi lain Komisi Informasi adalah menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik. Dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan atau ajudikasi nonlitigasi.
Hampir dua dekade penetapan HAKIN sebagai tonggak awal keterbukaan informasi, namun belum banyak diketahui oleh masyarakat. Pun oleh para pejabat pemerintah sebagai pimpinan badan publik. HAKIN hanya diketahui kalangan terbatas. Yaitu para pemerhati dan penggiat denokrasi, hak asasi manusia, dan keterbukaan informasi publik.
Keterbukaan bukan berarti buka-bukaan. Itu yang dikuatirkan para pejabat badan publik. Bahkan ada yang melihat keterbukaan sebagai momok pengganggu ketenangan. Mengusik zona nyaman membenarkan kebiasaan bekerja tidak transparan. Bukan membiasakan bekerja dengan benar sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku.
Keterbukaan informasi publik punya aturan yang harus dipatuhi oleh semua pihak: Badan publik sebagai pengelola informasi maupun oleh para pengguna informasi. Meminta informasi kepada badan publik harus sesuai aturan dalam UU KIP. Sengketa informasi publik yang dilaporkan ke Komisi Informasi juga harus sesuai ketentuan.
Badan publik dan pengguna informasi publik, masing-masing punya hak dan kewajiban terkait informasi publik.
Kita berharap peringatan HAKIN yang hingga kini hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Menjadi momentum pengingat bagi semua pihak bahwa keterbukaan akan menjadikan demokrasi berjalan dengan baik. Pemerintahan yang tidak transparan akan menciptakan ketimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hingga praktik korupsi yang akan menyebabkan ketidak – percayaan publik. Karena itulah sudah saatnya badan publik berkomitmen untuk membiasakan yang benar, bukan membenarkan kebiasaan. Bergerak dari sekadar formalitas keterbukaan untuk menggugurkan kewajiban menuju budaya transparansi yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. (*)