Jaringan Oposisi Loyal Nyatakan Mosi Tidak Percaya ke Pemkab Polman

  • Bagikan
Jaringan Oposisi Loyal (JOL) mengelar aksi demo di Gedung DPRD Polman beberapa waktu lalu. JOL menilai Pemkab Polman gagal menangani ekspoitasi anak dan kebocoran PAD parkir. --ist--

POLEWALI MANDAR, RADAR SULBAR — Jaringan Oposisi Loyal (JOL) menyatakan mosi tidak percaya terhadap Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar (Pemkab Polman).

Koordinator JOL Lazuardi Arka menyampaikan mosi tidak percaya tersebut dinyatakan dengan penuh kesungguhan dan berdasarkan analisis yang tajam. Pernyataan mosi tidak percaya terhadap Pemkab Polman, khususnya terhadap Dinas Sosial, Dinas Pengendalian Penduduk KB dan Perlindungan Perempuan dan Anak, Satpol PP, serta Dinas Perhubungan.

“Dalam analisis kami, terdapat dua isu utama yang sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan ketidakmampuan struktural dalam mengelola permasalahan sosial dan keuangan di daerah. Eksploitasi anak yang semakin marak dan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mencurigakan,” ujar Lazuardi Arka dalam rilisnya, Rabu 12 Februari 2025.

Kedua isu ini tidak hanya menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Eksploitasi anak yang terjadi di Kabupaten Polman merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan hak anak yang dilindungi oleh undang-undang. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan hak untuk pendidikan, pengasuhan yang layak, dan perlindungan dari eksploitasi, justru dipaksa untuk bekerja di jalanan dengan beralaskan sandal, berjualan hingga larut malam hanya demi memenuhi kebutuhan orangtua mereka.
Fenomena ini mencerminkan adanya pembiaran sistemik terhadap pembangkangan hukum dan pengabaian terhadap hak-hak dasar anak yang seharusnya dijamin oleh negara.

Lebih mengkhawatirkan, Satpol PP sebagai aparat yang bertugas mengawasi dan menegakkan ketertiban umum, justru terkesan menutup mata terhadap eksploitasi ini. Sebagai institusi yang memiliki kewenangan untuk menertibkan kondisi sosial di lapangan, Satpol PP seharusnya mengambil langkah preventif dan represif terhadap praktik eksploitasi anak yang semakin meluas.

Namun kenyataannya, bukannya memberikan perlindungan kepada anak-anak tersebut, Satpol PP malah cenderung membiarkan mereka berjualan di pinggir jalan tanpa ada tindakan signifikan.

Pembiaran terhadap kondisi ini tidak hanya merupakan kegagalan sistem pengawasan, tetapi juga sebuah pengabaian terhadap tanggung jawab institusional. Ketika aparat penegak perda seperti Satpol PP justru tidak berfungsi secara efektif, maka hal tersebut menunjukkan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan mandat untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi dan potensi bahaya lainnya.

“Kami menilai bahwa Satpol PP memiliki kewajiban moral dan hukum untuk bertindak tegas dalam mencegah eksploitasi anak, yang jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Perda Kabupaten Layak Anak,” tambahnya.

Tindak lanjut dari temuan ini harus mencakup penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam eksploitasi serta penyusunan program perlindungan anak yang lebih efektif. Pihaknya menganggap bahwa pemerintah daerah tidak hanya bertanggung jawab atas terjadinya eksploitasi ini, tetapi juga harus memikul beban untuk mengambil langkah-langkah korektif yang memadai untuk menghentikan fenomena tersebut.

Isu kedua yang sangat mencolok adalah terkait dengan pengelolaan PAD, terutama yang berhubungan dengan retribusi parkir yang dikelola Dinas Perhubungan. Berdasarkan data yang dimiliki pihaknya, target PAD untuk tahun 2024 yang diperkirakan mencapai Rp 1 miliar ternyata hanya terealisasi sekitar 300 juta rupiah sekian. Menunjukkan ketidaksesuaian signifikan antara target dan realisasi.

Fenomena ini tidak hanya menunjukkan adanya pengelolaan yang buruk, tetapi juga mencerminkan kurangnya pengawasan dalam hal penggunaan dana tersebut.

Lebih mencurigakan kata dia adalah lonjakan target PAD untuk tahun 2025 yang tiba-tiba meningkat menjadi Rp 5 miliar. Sebuah angka yang tidak realistis jika mengacu pada kinerja sebelumnya. Ketidaksesuaian antara prediksi dan realisasi ini menimbulkan keraguan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan PAD. Serta menimbulkan kecurigaan terhadap adanya penyelewengan anggaran.

Kebocoran PAD yang terus-menerus terjadi menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak serius dalam melakukan pengelolaan keuangan yang baik dan transparan, yang pada gilirannya dapat merugikan kepentingan rakyat dan menghambat pembangunan daerah itu sendiri.

“Kami menilai bahwa pengelolaan PAD yang buruk ini memerlukan investigasi yang mendalam. Dimana harus ada upaya untuk mendeteksi adanya potensi penyelewengan dan memastikan bahwa anggaran yang ada digunakan dengan cara yang sah dan sesuai dengan kepentingan publik. Lebih lanjut, kami mengusulkan agar pemerintah daerah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan PAD, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan akademisi dalam proses pengawasan.

JOL juga menilai tak puas dengan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Polman, Senin 10 Februari lalu. JOL menilai RDP tersebut hanya menjadi formalitas belaka yang tidak menghasilkan langkah nyata untuk mengatasi isu yang disoal pihaknya.

“Jawaban yang diberikan oleh perwakilan pemerintah terkesan hanya sebatas prosedural, tanpa adanya komitmen untuk menindaklanjuti atau bahkan menyelesaikan masalah yang ada,” tuturnya.

Tanggapan dari Pemkab seolah-olah tidak melihat urgensi masalah ini atau bahkan lebih memilih untuk menghindar dari tanggung jawab. Ini menjadi bukti lebih lanjut bahwa pemda yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat dan akuntabilitas publik, justru memilih untuk menutup mata terhadap kenyataan yang ada dan mengabaikan aspirasi masyarakat. (arf/mkb/jaf)

  • Bagikan