Oleh: Ahmad M. Sewang (Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar)
KEJUJURAN adalah dasar dari segala kebajikan. Tanpa kejujuran, mustahil sebuah bangsa dapat tumbuh menjadi kuat dan bermartabat. Sayangnya, nilai kejujuran semakin tergerus dalam kehidupan sehari-hari, baik di tingkat individu maupun institusi. Karena itulah pendidikan kejujuran dan transparansi harus menjadi prioritas sejak dini.
Pendidikan kejujuran dan transparansi merupakan fondasi penting dalam membentuk karakter generasi muda. Jika nilai-nilai ini ditanamkan sejak dini, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang jujur, objektif, dan bertanggung jawab. Sebaliknya, jika diabaikan, dampaknya dapat terlihat pada rendahnya integritas masyarakat, bahkan hingga level kepemimpinan nasional.
Pendidikan kejujuran dan transparansi di Belanda memberikan dampak luar biasa bagi masyarakatnya. Sejak usia dini, anak-anak diajarkan nilai-nilai integritas, yang menjadi budaya hingga dewasa. Misalnya, seorang guru merasa malu jika muridnya menyontek di kelas. Hasilnya, tingkat kriminalitas di sana sangat rendah, bahkan penjara mereka sering kosong sehingga harus mengimpor narapidana dari negara-negara tetangga. Sebaliknya, di Indonesia, mantan Menteri Hukum dan HAM melaporkan bahwa mayoritas lembaga pemasyarakatan justru kelebihan kapasitas.
Ketidakjujuran seringkali tampak dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di dunia olahraga. Contohnya, penggemar sepak bola Indonesia sulit menerima kekalahan dengan objektif. Mereka sering mencari-cari alasan untuk membenarkan kekalahan tim favoritnya, seperti:
1. 1. Pemain kelelahan karena bus yang membawa mereka sengaja diputar-putar sebelum sampai ke stadion.
2. 2. Wasit dianggap berat sebelah dan mengulur waktu sehingga tim lawan bisa mencetak gol.
3. 3. Berbagai alasan lain yang kurang masuk akal untuk menutupi kekalahan.
Padahal, kekalahan seharusnya menjadi momen untuk introspeksi dan evaluasi agar tim bisa memperbaiki diri.
Tanpa kejujuran dan transparansi, sulit untuk mengetahui masalah yang sebenarnya, apalagi mencari solusinya. Sikap seperti ini mencerminkan kurangnya budaya introspeksi dan transparansi di masyarakat kita. Dalam jangka panjang, kebiasaan menyembunyikan kelemahan atau mencari kambing hitam akan menyulitkan perbaikan kualitas di berbagai bidang.
Pentingnya transparansi juga sangat terasa dalam kasus-kasus besar, seperti tuduhan penggunaan ijazah palsu oleh Kepala Negara. Masalah seperti ini sebenarnya sangat sederhana untuk diselesaikan: cukup dengan menunjukkan ijazah asli, semua tuduhan dapat terjawab. Namun, ketika transparansi tidak dipraktikkan, masalah sederhana seperti ini justru menjadi rumit dan memakan waktu lama, menciptakan spekulasi yang tidak perlu di masyarakat. Kasus ini bahkan kembali dilaporkan ke Bareskrim POLRI, memperlihatkan bagaimana kurangnya transparansi bisa memicu ketidakpercayaan publik yang berlarut-larut.
Pendidikan yang menanamkan kejujuran dan transparansi sejak dini sangatlah penting untuk membentuk masyarakat yang bermoral, adil, dan bertanggung jawab. Pengalaman di Belanda menunjukkan bahwa pendidikan yang berfokus pada integritas sejak usia dini dapat menciptakan masyarakat yang memiliki rasa malu terhadap perbuatan tidak etis. Sebaliknya, jika kejujuran diabaikan dalam pendidikan, dampaknya akan terus terasa hingga dewasa, seperti rendahnya integritas pemimpin atau merebaknya perilaku manipulatif di masyarakat. Oleh karena itu, mari kita jadikan pendidikan nilai-nilai moral sebagai prioritas utama. Dengan menanamkan kejujuran dan transparansi sejak dini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih bermartabat dan adil. (*)
.