JAKARTA, RADAR SULBAR – Beras merupakan satu dari sembilan bahan pangan yang menjadi kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Posisi nasi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat setiap orang begitu dominan di negeri ini.
Meski produksi lahan pertanian Indonesia kaya akan sumber karbohidrat lain seperti kentang, ubi, dan jagung, beras masih nomor urut satu sebagai sumber karbohidrat.
Istilah belum makan jika belum makan nasi, yang berasal dari beras, sudah melekat bagi masyarakat di Tanah Air.
Ketergantungan terhadap nasi dalam pemenuhan karbohidrat juga tercermin dari kebiasaan menambahkan nasi dalam setiap makanan yang disantap. Bahkan, ketika mengonsumsi mi instan, yang sejatinya kaya akan karbohidrat karena terbuat dari tepung, ada nasi pula yang dimakan.
Kuliner asal Italia yakni piza dan spageti pun, kadang, juga dimakan berbarengan dengan nasi. Sejumlah restoran makanan cepat saji asal luar negeri yang di negara asalnya tidak ada menu nasi, menambahkan menu nasi ketika membuka cabangnya di Indonesia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa beras memiliki peran yang sangat vital bagi sebagian besar kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Ketergantungan akan komoditas beras juga terlihat dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024. Data itu menunjukkan bahwa secara nasional rata-rata pengeluaran sebulan setiap penduduk Indonesia untuk konsumsi beras sebesar Rp89.778.
Pengeluaran tersebut lebih besar dibandingkan pengeluaran pada Maret 2023 yaitu sebesar Rp75.262. Dengan kata lain, penduduk Indonesia mengeluarkan uang sekitar 19,29 persen lebih banyak untuk membeli beras pada Maret 2024.
Selain itu, tercatat proporsi pengeluaran beras terhadap total pengeluaran makanan juga cukup tinggi, mencapai lebih dari 10 persen. Di daerah perdesaan, proporsi pengeluaran beras terhadap total pengeluaran makanan lebih tinggi lagi dibandingkan daerah perkotaan, yaitu 14,66 persen.
Daya beli masyarakat, terutama berpendapatan rendah, sangat bergantung pada harga beras yang stabil dan terjangkau.
Jika terdapat kenaikan harga beras, meskipun hanya sedikit, akan berdampak signifikan terhadap pola pengeluaran dan konsumsi rumah tangga. Kenaikan harga beras kerap dijadikan sebagai tanda bahwa perekonomian negara sedang tidak baik-baik saja.
Hal tersebut lantaran beras merupakan komoditas yang termasuk dalam volatile food inflasi. Kenaikan harga beras menjadi penyumbang tertinggi pada inflasi Indonesia, khususnya pada awal tahun 2024.
Transformasi Bulog
Pembangunan sektor pangan di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks, baik dari sisi produksi, distribusi, hingga konsumsi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dinamika global berdampak pada guncangan ekonomi dunia dan disrupsi pasokan, berujung pada peningkatan harga pangan global.
Sementara itu, tantangan dari dalam negeri berasal dari kondisi iklim yang tidak menentu, krisis terhadap ketahanan pangan yang membuat impor pangan terutama beras masih tinggi, rendahnya produktivitas, penyerapan hasil panen, hingga distribusi yang tidak merata.
Bulog sebagai lembaga Pemerintah nonkementerian mengemban tugas publik untuk menjaga harga dasar pembelian gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, menyalurkan beras untuk bantuan sosial, dan pengelolaan stok pangan.
Dengan beragam tantangan global dan dalam negeri, kinerja Bulog dalam menjaga harga dasar pembelian gabah dan mengelola stok beras kerap menjadi sorotan.
Ketika panen melimpah, Bulog memperbanyak serapan agar produksi gabah tidak terbuang dan tetap dengan membeli dengan harga yang wajar sesuai ketetapan. Dengan cara itu, Bulog membantu menjaga kestabilan harga di tingkat petani dan mencegah ketergantungan terhadap tengkulak yang kerap menekan harga beli.
Ketika panen petani menurun, Bulog mengambil keputusan untuk menaikkan harga dasar pembelian gabah agar petani tidak merugi. Namun, dampaknya stok beras yang akan digunakan untuk bantuan sosial dan stabilisasi harga beras di pasar berkurang dan tidak mampu mencukupi kebutuhan.
Pada momentum itulah Bulog meminta izin melakukan impor yang tak jarang mendapat komentar miring, apalagi mengingat titel Indonesia sebagai negara agraris. Namun, jika impor tidak dilakukan, akibat yang harus dihadapi adalah lonjakan harga yang berujung pada inflasi.
Dengan pertimbangan tersebutlah Presiden Prabowo memutuskan untuk melakukan transformasi pada Bulog dengan menjadikan perusahaan pelat merah tersebut sebagai badan otonom.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyampaikan transformasi itu akan membuat Bulog menjadi lembaga yang sangat kuat, berperan sebagai stabilisator dan juga penyangga pasokan dengan harapan bisa mendukung swasembada pangan yang ditargetkan bisa tercapai pada 2027.
Bulog tidak akan lagi memperhitungkan untung rugi layaknya perusahaan yang dijalankan oleh BUMN. Ke depan, Bulog ditargetkan tidak hanya menuntaskan permasalahan beras dan jagung, namun turut memperluas jangkauan ke komoditas lain seperti gula.
Menyongsong Swasembada Pangan
Bagaimana ketahanan pangan Indonesia serta visi swasembada pangan dan lumbung pangan dunia bisa tercapai karena alih-alih bisa surplus, produksi kian menurun?
BPS mencatat luas panen padi pada 2024 hanya berjumlah 10,05 juta hektare dengan total produksi 52,66 juta ton gabah kering giling atau GKG. Perkiraan tersebut tercatat menurun sebanyak 1,64 persen dibandingkan luas panen di 2023 yang sebesar 10,21 juta hektare dan turun turun 2,45 persen dibandingkan produksi di 2023 yang sebesar 53,98 juta ton GKG.
Bulog sendiri harus mempunyai stok 1,9 juta ton untuk didistribusikan kepada 22 juta penerima bantuan pangan sepanjang 2024. Selain itu, sebanyak 1,4 juta stok lainnya juga diperlukan untuk didistribusikan sebagai beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dalam program operasi pasar murah.
Seiring dengan transformasi sebagai badan otonom, Bulog harus mampu menyerap semua hasil panen petani, baik itu sepenuhnya maupun sebagai dari produksi tidak mereka jual ke perusahaan lain.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menilai penyiapan infrastruktur pascapanen merupakan hal yang paling penting dilakukan oleh Bulog. Infrastruktur yang dibutuhkan adalah mesin pengering dan SPP (sentra penggilingan padi) yang didukung dengan gudang yang mampu menampung semua stok GKG.
Menilik produksi dari negara tetangga seperti Vietnam, mereka mampu memproduksi 27 juta ton dalam setahun, sedangkan kebutuhannya hanya 21,5 juta ton sehingga sisanya sekitar 6 juta ton bisa dijadikan sebagai cadangan pangan. Begitu juga dengan India yang mempunyai kelebihan produksi hingga 21 juta ton.
Kedua negara tersebut menjadi dua dari sejumlah negara yang sudah mencapai kemandirian pangan, dalam hal ini beras. Mereka mampu memenuhi kebutuhan beras domestiknya, bahkan menjadi negara eksportir beras untuk Indonesia.
Cita-cita menjadi negara lumbung pangan sebenarnya bukan hal yang sulit karena Indonesia mempunyai luas lahan pertanian yang sangat besar. Para petani juga sudah mulai mengadopsi metode pertanian modern.
Pemerintah tinggal memantik semangat para petani untuk meningkatkan hasil produksinya dengan menyediakan varietas bibit unggul, pupuk yang mudah didapatkan, subsidi dan bantuan yang merata, hingga alsintan modern bagi para petani.
Pemerintah juga harus mampu menjaga hati para petani, membeli gabah dengan harga yang wajar, cukup untuk menghargai kerja keras mereka, namun juga tidak bisa terlalu tinggi karena akan berakibat pada naiknya harga beras yang akan menekan daya beli masyarakat.
Pemerintah juga perlu menekankan bahwa kemandirian pangan sangat bergantung pada jasa mereka, bukan impor yang hanya bersifat sebagai bantalan, bukan sumber utama.
Didukung dengan penguatan peran Bulog dalam menyerap hasil panen, meningkatkan stok penyangga, dan diiringi dengan kebijakan yang lebih terintegrasi serta inovasi teknologi yang lebih luas, hal ini menjadi langkah tepat untuk membuka pintu ketahanan pangan dalam mewujudkan visi swasembada pangan.
Editor: Achmad Zaenal M
Antara