POLMAN, RADAR SULBAR – Desas-desus miring berhembus kencang di Polewali Mandar. Kali ini bukan sekadar isu politik, tetapi tuduhan yang menyentuh ranah pendidikan, tepatnya Program Indonesia Pintar (PIP), yang digadang-gadang sebagai langkah pemerintah pusat untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Di balik upaya mulia itu, terselip kisah pahit yang mencuat: pasangan calon Bupati Polman diduga memanfaatkan PIP untuk menggalang dukungan politik menjelang Pilkada 2024.
Di ruang kelas yang dingin atau di meja makan yang sederhana, beredar kabar bahwa penerima PIP harus memilih: mendukung pasangan calon Dirga Singkarru-Iskandar Muda atau kehilangan beasiswa mereka. Di antara cerita itu, seorang ibu tampil dalam video yang langsung menarik perhatian publik. Matanya yang lelah berbicara lebih banyak dari kata-katanya, seolah membawa pesan tersirat, “Jika tidak, bantuan ini akan ditarik.” Kalimat itu terucap pelan, namun menyisakan kepedihan yang terdengar begitu dalam.
Sontak, video ini menyebar dengan cepat, mengundang rasa geram di hati banyak warga. Bagi mereka, kisah ibu itu bukan sekadar keluhan biasa, melainkan bayangan dari kenyataan pahit yang selama ini sering terjadi di bawah permukaan. Akademisi dan aktivis mulai bersuara, salah satunya Basri, dosen di Universitas Al Asy’ariah Mandar (Unasman). Bagi Basri, menyisipkan politik dalam program beasiswa seperti PIP adalah tindakan yang mencederai etika. “Sebagai akademisi, saya pribadi menganggap itu kurang etis. Beasiswa ini murni untuk pendidikan, bukan alat politik,” ujarnya tegas.
Sementara itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengawasan Anggaran (LKPA) Polman, Zubair, turut mempertegas suara-suara kritis. Menurutnya, jika Bawaslu tidak segera menindak, maka politisasi PIP bisa menjadi luka yang berulang dan mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi yang jujur. “Jika Bawaslu gagal, maka jangan harap Pilkada ini akan melahirkan pemimpin yang amanah. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi perbuatan dosa,” kata Zubair.
Bagi banyak warga, PIP bukan sekadar program bantuan pendidikan. Di dalamnya, tersimpan harapan akan masa depan yang lebih baik, peluang untuk mengubah nasib. Seorang aktivis pendidikan, dengan nada marah yang nyaris tertahan, mengatakan, “Jika politik menyusup ke dunia pendidikan, ini bukan lagi sekadar politik uang, tetapi menyentuh masa depan anak-anak. Ini harus dihentikan.”
Masyarakat menunggu, melihat apakah Bawaslu akan bertindak, atau hanya menjadi saksi pasif dalam drama yang melibatkan mereka yang terpinggirkan. Bagi mereka yang bergantung pada bantuan ini, ancaman kehilangan bukanlah perkara ringan. Mereka sudah terbiasa dengan keadaan sulit, tetapi ancaman yang menyentuh pendidikan anak-anak mereka adalah sebuah batas yang tak ingin mereka langkahi.
Kini, di bawah lampu jalanan dan gemuruh kampanye, terselip sepotong kenyataan pahit: bahwa suara mereka, suara rakyat kecil, selalu layak didengar, dihargai, dan dilindungi. Beasiswa yang seharusnya menjadi tiket menuju masa depan seakan berubah menjadi simbol perjuangan, bukan hanya untuk akses pendidikan, tetapi juga untuk tegaknya demokrasi yang seharusnya bersih dari kepentingan yang merugikan. (*)