Nitizen Debat Paslon

  • Bagikan

Oleh: M Danial

DEBAT Paslon merupakan ajang yang dinantikan banyak orang. Untuk menilai calon pemimpin daerah yang berkontestasi dalam Pilkada 2024. Namun publik kadang tidak peduli pada tujuan debat. Pun pada serunya debat, apalagi debat yang berlangsung datar.

Sebagian penonton cenderung selalu merasa paling benar. Dengan mengukur kepuasan sesuai pendapatnya. Menafikan kebenaran bagi orang lain. Fenomena ini menunjukkan betapa sulitnya memenuhi ekspektasi publik yang beragam dalam pelaksanaan debat politik yang penuh dinamika.

Pada beberapa debat suasananya berlangsung datar. Para calon hanya menyampaikan visi, misi, dan program seakan sebagai formalitas belaka. Tampil seolah tanpa ekspresi, apalagi argumen yang memadai. Debat kerap hanya bersifat normatif dengan sedikit pemaparan teknis, namun miskin data. Hal ini membuat sebagian penonton merasa bosan. Tak heran muncul berbagai anggapan dan penilaian terhadap para kandidat. Bahasa halusnya, para paslon terlalu berhati-hati, menahan diri, atau menjaga citra.

Debat yang berlangsung datar tentu dapat meminimalisir risiko konflik. Namun banyak penonton yang kecewa. Merasa tidak puas. Mereka menilai debat yang datar seolah menunjukan para kandidat kurang bersemangat. Semoga itu bukan gambaran komitmen mereka untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.

“Para kandidat mungkin terlalu kelelahan setelah road show berkampanye keliling daerah selama beberapa hari,” ujar seorang penonton debat.

Sejatinya publik berharap debat paslon lebih dari sekadar penyampaian visi, misi, program, atau rencana kerja paslon dengan persentasi data yang minim. Publik mengharapkan debat yang lebih hidup dan membahas secara mendalam isu-isu penting untuk mengatasi permasalahan daerah. Menonton debat yang dianggap datar, ada nitizen yang menyuarakan kekecewaannya di media sosial dengan komentar pedas.

Jika debat Paslon berlangsung seru dengan intensitas tinggi. Para paslon tampil penuh semangat menyampaikan argumen secara menggebu-gebu. Bahkan tanpa ragu mengkritik kompetitor dengan tajam. Perbedaan pendapat lebih menonjol. Peserta debat berusaha menunjukkan ketangguhan di hadapan publik. Debat seperti menjadi dambaan sebagian penonton. Debat yang seru dan bersemangat dengan suasana yang atraktif di atas panggung.

Debat yang seru cenderung lebih bergairah disukai sebagian penonton. Namun banyak juga yang merasa risih atau skeptis. Menganggap debat Pilkada menjadi ajang pencitraan. Panggung debat untuk memperlihatkan diri lebih memahami isu yang dibahas. Namun belum tentu benar-benar menyentuh masalah. Tak heran muncul anggapan debat kerap menjadi panggung kritik tanpa solusi.

Banyak hal yang membuat banyak penonton selalu merasa kecewa atau tidak puas pada debat Pilkada. Salah satunya adalah perbedaan ekspektasi yang beragam di kalangan masyarakat. Setiap individu datang dan melihat debat dengan preferensi dan pandangan masing-masing terungkap dalam debat.

Mereka berharap paslon atau kandidat yang didukung akan tampil cemerlang. Mengalahkan lawannya. Namun, ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, kekecewaan pun muncul.

Perkembangan media sosial pun membuat masyarakat lebih mudah mengekspresikan ketidakpuasan. Sudah menjadi kelaziman, para penonton merasa pandangannya sendiri yang paling benar. Merasa memiliki pandangan yang bisa menjadi solusi permasalahan. Namun ketika argumen dari calon tidak sesuai dengan ekspektasi, maka kritik keras pun dilontarkan.

Debat Paslon Pilkada yang datar maupun seru, pasti akan selalu mendapat respons beragam dari publik. Tidak mudah untuk memenuhi ekspektasi semua penonton. Terlebih ketika banyak yang merasa hanya pendapatnya yang paling benar. Namun, yang terpenting adalah memastikan debat menjadi sarana edukasi demokrasi.

Dengan memberi kesempatan kepada para Paslon menunjukan kemampuan dan kualitas di hadapan publik. Sehingga, meskipun penonton mungkin tidak selalu puas. Debat publik atau debat terbuka antar Paslon diharap tetap memberikan kontribusi positif bagi proses demokrasi melalui Pilkada. Rakyat adalah pemilik kedaulatan untuk menentukan pilihannya pada Pilkada 27 November nanti, terlepas dari penonton atau nitizen selalu merasa paling benar soal debat Paslon. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version