POLMAN, RADAR SULBAR — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Polewali Mandar mengelontorkan anggaran sebesar Rp 258 juta untuk penanganan Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue (KLB DBD) di Desa Ambopadang Kecamatan Tubbi Taramanu (Tutar).
Penanganan KLB DBD ini menjadi sorotan DPRD Polewali Mandar. Bahkan DPRD Polman mempertanyakan alasan Pemkab Polman khususnya Dinas Kesehatan menjadikan status KLB penyebaran DBD di Ambopadang. Hal ini membuat DPRD Polman melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan jajaran Pemkab Polman terkait penanganan DBD di Ambopadang, Jumat 25 Oktober lalu.
Untuk mencegah dampak DBD tidak semakin meluas, Pemkab Polman mengelontorkan anggaran Rp. 258 juta. Anggaran tersebut kebanyakan diserap untuk pendirian Posko dan makan minum petugas penjaga posko.
Sekertaris Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Polman Gazali menyampaikan anggaran sebesar Rp. 258 juta tersebut digunakan untuk beberapa kegiatan. Diantaranya pembenahan posko seperti pembuatan spanduk dan biaya kelistrikan.
“Biaya makan minum posko yang terdiri 40 personil penjaga dari BPBD sebesar Rp. 34 juta yang direncanakan berlangsung selama 14 hari. Kemudian biaya snack Rp. 17 juta, untuk makan minum pasien Rp. 44 juta, makan minum pendamping pasien, Rp. 24 juta,” terang Gazali.
Selain itu Pemkab juga melakukan pengadaan kelambu 300 picis untuk pasien dan warga Desa Ambopadang senilai Rp. 36 juta. Kemudian belanja bahan bakar dan biaya pengganti transport personel sebesar Rp. 57 juta. Biaya bahan bakar genset Rp. 4 juta, biaya BBM untuk mobil tangki air dan mobil dapur umum serta roda dua sebesar Rp. 17 juta.
Dalam RDP ini, DPRD Polman mempertanyakan alasan Pemkab menjadikan kasus DBD di Ambopadang sebagai KLB. Padahal menurut pemantauan dewan saat berkunjung ke Desa Ambopadang beberapa hari lalu kondisinya masih normal.
Dengan status KLB otomatis biaya pengobatan warga yang seharusnya dapat ditanggulangi melalui program UHC tidak lagi di cover BPJS Kesehatan karena status KLB tersebut.
Ketua DPRD Polman terpilih, Fachry Fadly menyampaikan pihaknya beberapa hari lalu berkunjung ke posko penanganan DBD di Desa Ambopadang Tutar. Ternyata posko yang didirikan tidak seramai dengan anggaran yang digelontorkan.
“Saat saya sendiri berkunjung ke posko kondisinya sepi. Sementara pemkab sampaikan Rp. 258 juta itu termasuk untuk membiayai petugas di posko dan di lapangan,” ungkap Fachry Fadly.
Ia meminta agar anggaran tersebut sebaiknya lebih banyak dimaksimalkan untuk warga yang terjangkit DBD. Bukan malah anggaran lebih banyak dihabiskan untuk petugas pendamping. Selain itu seharusnya juga dibuatkan dapur umum.
Senada dengan itu, Wakil Ketua DPRD Polman terpilih Amiruddin mengatakan seharusnya Pemkab Polman tidak terburu-buru menetapkan kasus DBD di Desa Ambopadang sebagai KLB. Karena warga yang terserang penyakit tersebut biasa-biasa saja disana.
“Kondisi saat ini dari sekian banyaknya yang terserang itu sudah jauh lebih banyak yang sembuh. Sehingga harusnya tidak usah status KLB,” ujar Amiruddin.
Dengan penetapan status KLB ini bisa merugikan warga setempat. Karena seharusnya bisa mendapatkan penanganan medis yang lebih layak dengan jaminan BPJS kesehatan.
Data dari Dinkes Polman hingga Sabtu 26 Oktober jumlah warga Desa Ambopadang yang terserang DBD tercatat 143 orang. Kemudian pada Minggu 27 Oktober jumlahnya bertambah menjadi 145 penderita. Lonjakan pasien DBD di Tutar ini terjadi selang beberapa hari saja. Pada Kamis 24 Oktober lalu, jumlah warga yang terkonfirmasi DBD hanya berjumlah 123 orang. Sementara hingga Minggu sudah ada 122 telah dinyatakan sembuh dan 20 orang lagi masih dalam perawatan medis.
“Saat ini yang dirawat inap di Posko ada 19 orang. Kemudian di Puskesmas Tutar sudah tidak ada. Sedangkan di RSUD Polewali terdapat satu orang masih dirawat dan di RS Pratama Wonomulyo satu orang,” terang Kepala Dinkes Polman dr Mustaman. (arf/mkb)