POLMAN, RADAR SULBAR – Rabu malam, 16 Oktober 2024. Hujan mengguyur deras Desa Tamangngalle, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Berpayung kuning, Andi Bebas Manggazali berdiri di sisi jalan. Topi rimba hitam dan kaus putih berkerah yang dia pakai, basah oleh hujan. Demikian pula kedua matanya, mengucur bulir-bulir bening, yang menyatu dengan air hujan.
Tak lama, terdengar suara sirine mobil dari kejauhan. Tampak sebuah mobil jenazah melaju dengan kecepatan tinggi. Seorang kemudian menyetop mobil jenazah dengan lambaian tangan.
Tepat di depan Bebas, mobil jenazah itu berhenti. Pintu terbuka. Di bagian belakang, sesosok jenazah terbujur kaku dengan tertutup selimut bercorak mawar.
“Manti… I Manti kasian,” terdengar keluar dari bibir Bebas. Sedikit tercekat.
Di dekatnya, Sukmawati, sang istri yang mengenakan hijab pink dan masker putih memeluk jenazah. Air mata tak terbendung lagi. Begitu pula air mata Bebas.
Di bagian depan, tampak seorang wanita berhijab hitam menangis. Sukmawati Andi Bebaz kemudian memeluk wanita itu. Bebas ikut mendekat.
“Sabarki. Mak…Mak…lihatki. Masih ada anakmu ini,” hibur Andi Bebas kepada wanita berhijab hitam itu sembari menepuk pundak istrinya.
Hujan terus mengguyur deras. Mobil jenazah bergambar Andi Bebas dan Siti Rahmawati, bersiap berangkat. Bebas kemudian mengingatkan sopir agar berhati-hati.
“Hati-hati Andis,” imbau Bebas.
Lalu, mobil jenazah itu pun kembali melaju cepat, mengantar jenazah ke peristirahatan terakhir.
Jenazah itu adalah Manti, sudah dianggap anak oleh Andi Bebas Manggazali dan istrinya. Asalnya dari Pulau Bulo. Meninggal Rabu pagi.
“Meninggal tadi pagi, bertepatan dengan jadwal saya,” ujar Bebas.
Menurut Bebas, almarhumah sudah seperti anak sendiri. Bebas dan istri menampungnya tinggal di rumahnya, menyekolahkan. Bahkan mencarikan pekerjaan.
“Ini antara ayah dan anak,” ujar Bebas. Tampak kacamatanya berembun. Ada bulir-bulir bening membayang di kedua sudut matanya. (*)
Tim Media BESTI