Oleh: M Danial
BERTEBARAN peringatan mengenai netralitas ASN dalam pelaksanaan Pilkada 2024. Di medsos dan media konvensional. Dikeluarkan para gubernur, bupati, dan walikota. Seolah berlomba mengeluarkan instruksi. Instruksi itu seharusnya bertuah untuk memastikan ASN, para pejabat dan beberapa pihak lain netral dalam Pilkada.
Netralitas ASN dan berbagai pihak merupakan salah satu pilar penting untuk menjaga integritas proses Pilkada. Sayangnya netralitas selalu hanya menjadi slogan yang lantang di permukaan. Namun di balik layar selalu ada gerakan senyap. Gerakan yang dilakukan oleh ASN dan pihak-pihak yang dilarang berpihak dalam Pilkada. Termasuk pejabat dan seharusnya menjadi contoh pelaksanaan netralitas kepada bawahannya.
Netralitas yang selalu digaungkan berbagai instansi pemerintah terdengar indah. Sosialisasi UU dan peraturan tentang netralitas ASN dan pejabat agar tidak terlibat politik praktis sangat sering dilakukan.
Sejatinya netralitas sudah menjadi standar moral dan etika birokrasi. Tapi nyatanya selalu terjadi gesekan antara aturan formal dan realitas di lapangan. Tak heran kerap terdengar sentilan yang sesungguhnya merupakan ungkapan kedongkolan. “Aturan, ya aturan.” Namun di belakang layar diam-diam terjadi interaksi kepentingan birokrasi dan kepentingan politik.
Pejabat yang posisinya terkait dengan politik kerap menghadapi dilema. Di satu sisi mereka harus bisa menjaga hubungan baik dengan partai politik, setidaknya dengan DPRD. Di sisi lain dituntut untuk mematuhi prinsip netralitas. Itu sebabnya sangat sering terjadi ada ASN atau pejabat bergerak dalam senyap. Melakukan “gerakan tambahan” secara diam-diam yang menguntungkan paslon tertentu.
Gerakan tambahan yang dilakukan pejabat mulai dari mengggunakan mesin birokrasi yang berada di bawah kendalinya. Atau membuat kebijakan yang berpihak ke Paslon tertentu, menjadi sponsor material kampanye seperti baju kaus, baliho, poster, sampai memfasilitasi kelancaran kampanye. Tentu gerakan tambahan itu secara terselubung agar tidak terjangkau pandangan publik. Agar tidak terpantau pengawas Pilkada.
Sudah ada ancaman tegas bagi ASN yang terbukti tidak netral atau berpihak dalam Pilkada. Tapi banyak yang mengabaikan. Tidak sedikit yang nekat melanggar dengan berbagai alasan. Bergerak senyap, melakukan kegiatan terselubung atau tak terpantau radar pengawasan. Pun oleh perangkat pengawasan melekat Bawaslu.
Gerakan senyap ASN dan pejabat dalam Pilkada tidak terlepas dari hubungan antara politik dan birokrasi di berbagai level pemerintahan. Dalam banyak kasus, posisi pejabat dan ASN terkait erat dengan siapa yang berkuasa. Fenomena tersebut menyebabkan terjadinya pemihakan. Prinsip netral pun terabaikan.
Sering terjadi ASN atau pejabat berusaha seolah tidak berpihak. Namun diam-diam menjalin hubungan dengan lebih dari satu Paslon yang diprediksi menang. Bermain aman, istilah yang sering terdengar. Tentu saja supaya posisi dan karir sebagai ASN atau pejabat aman pula.
Situasi itu diperparah oleh budaya politik yang beranggapan keterlibatan ASN dalam politik sebagai hal yang lumrah. Selama dilakukan tanpa sorotan publik. Gerakan senyap selalu berlindung di balik dalih bahwa keterlibatan dalam politik praktis, keberpihakan atau ketidaknetralannya tidak bisa dibuktikan.
Peraturan tentang netralitas ASN dan pejabat sudah jelas, namun penerapannya masih menghadapi banyak kendala. Netralitas masih menjadi slogan yang lantang diteriakkan. Tapi di balik layar terjadi gerakan tambahan dalam senyap. Gerakan senyap mengabaikan netralitas dalam Pilkada, sangat terbuka juga dilakukan para kepala desa dan aparat negara lainnya yang berseragam selain ASN.
Jika kita ingin menjaga demokrasi tetap sehat, sangat penting pengawasan yang ketat, penegakan aturan yang tegas, dan komitmen yang kuat semua pihak. Untuk menegakkan prinsip netralitas secara nyata. Netralitas harus dibuktikan, bukan hanya sebatas kata-kata. Agar netralitas tidak tenggelam dalam senyap. (*)