Laskah Budaya Mendengar & Menulis, Memoles Tradisi Bersolek di Ruang Publik

  • Bagikan
PEMBEKALAN. Kepala BPK XVII Wilayah Suteng-Sulbar, Andi Syamsu Rijal, (Tengah) bersama para narasumber, dalam pembekalan Laskar Budaya, di SMKN SMKN 1 Lore Timur, Desa Maholo, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sabtu malam 21 September 2024. (JASMAN RANTEDODA/RADAR SULBAR)

DARI balik tirai jendela tanpa kaca cahaya matahari berpendar mengelus selaput kulit yang didekap gigil. Tirai merah jambu di jendela rumah Pak Elton, terjulur sejajar satu arah diterpa angin pagi, seperti tangan-tangan penari mengikuti irama.

CATATAN: JASMAN RANTEDODA (POSO, SULAWESI TENGAH)

Batang enau dan kemiri yang ramping meliuk-liuk di seberang hamparan hortikultura, seperti tubuh semampai yang melenggang penuh pesona. Pohon-pohon itu tumbuh di dataran lembah, membentuk pemandangan serupa lukisan alam gaya klasik terpapar di dinding langit.

Petang kemarin, Jumat 20 September, kami tiba di sini, di Desa Maholo, setelah meniti jarak 531 kilometer (km) dari Kota Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar) ke Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso.

Adalah kegelisahan yang membimbing gerak kepada suatu misi yang hendak menciptakan generasi Laskar Budaya. Generasi yang akan membawa warisan leluhur pada ruang-ruang publik, warisan yang mulai asing tergerus arus modernisasi.

Laskar Budaya adalah ikhtiar Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) XVIII Wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Barat (Sulbar) yang hendak menyelamatkan jejak kebudayaan yang tertinggal sunyi di pedalaman ingatan para maestro, di sudut-sudut kampung.

Sesuatu yang diyakini masih dapat ditelusuri dengan penggalian informasi melalui tuturan, percakapan, dan pengungkapan makna simbol-simbol yang hidup di tengah masyarakat.

Mereka; para Laskar Budaya, adalah generasi milenial yang bersedia memasuki ruang batin para sepuh, mendengar dan menulis karya maestro menjadi jembatan pengetahuan dan kearifan dari generasi tua kepada generasi muda.
Mereka menyebar ke desa-desa menjadi penyambung mata dan telinga kaumnya, untuk menemukan nilai yang berharga di balik hal-hal yang kelihatannya sederhana bahkan sering luput dari perhatian. Mereka mengemban tugas memoles tradisi hingga menjadi ingatan kolektif dan bisa bersolek di ruang publik.
Mereka diperjalankan untuk menemukan nilai dan kesadaran bahwa kearifan leluhur tak boleh lesap apalagi karam, kendati didekap beban yang berkali-kali lebih berat dari ringkih tubuhnya yang sepi dari kerlingan.

Demikianlah ikhtiar Pak Rijal, sebagai pengampu kebijakan tertinggi di BPK XVIII Sulteng-Sulbar, melakukan tindakan penyelamatan yang tidak sekadar raga, tetapi juga pada jiwa kebudayaan.

Raga bagi kebudayaan bisa berupa simbol-simbol bendawi seperti arca, henhir, tembikar, kalamba, erong, tenunan, atau sebuah bangunan tradisional seperti rumah adat. Sedangkan jiwanya lebih dari sekadar benda. Ada pengetahuan tradisional, pesan-pesan purba yang penuh kebijaksanaan dan tuntunan hidup, filosofi dan makna di balik setiap simbol yang tampak, termasuk alam pikiran manusia yang melahirkan simbol-simbol tersebut. Itulah jiwa kebudayaan.

Untuk mengungkapkan jiwa kebudayaan membutuhkan keterlibatan semua panca indra. Bukan hanya indra zahir, tetapi juga indra batin atau apa yang dikenal dalam psikologi dengan istilah extrasensory perception (ESP) bahkan psikokinesis.

Tidak cukup hanya dengan mengandalkan telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, hidung untuk mencium aroma tuanya, atau tangan untuk meraba kasar-halusnya, tetapi juga hati, intuisi, dan kejernihan pikiran untuk membuka tabir di balik simbol-simbol kebudayaan.

Dengan demikian, kepala akan mudah memproses semua narasi yang disampaikan maestro dan tangan ringan bekerja mengetik transkripsi wawancara.

“Ini bagian dari upaya kami melestarikan semua warisan budaya,” kata Kepala BPK XVIII Wilayah Sulteng-Sulbar, Andi Syamsu Rijal, saat membuka Pembekalan Laskar Budaya, di aula SMKN 1 Lore Timur, Desa Maholo, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Jumat malam 20 September.

Laskar Budaya, lanjut Pak Rijal, terisnpirasi dari program Kikigaki di Jepang. Kegiatan yang dirancang pemerintah Jepang, untuk mendokumentasi pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai yang turun temurun di masyarakat Jepang.

Jauh di lubuk hati Pak Rijal, berpendar harapan kelak Laskar Budaya menjadi purwarupa yang bisa mengilhami komunitas, lembaga dan instansi pemerintah lainnya dalam upaya menjaga serta memelihara kearifan lokal.

Penanggungjawab Program Laskar Budaya, Arsyad menjelaskan, sebagai prototipe Lakar Budaya angkatan pertama dibuat dalam skala kecil. Diawali dengan koordinasi kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan sekolah-sekolah yang akan menjadi peserta.

Hemat Pamong Budaya BPK XVIII Sulteng-Sulbar itu, menghadapi gejolak kebudayaan yang kian kompleks, ragam upaya mutlak dilakukan agar warisan luhur tetap terjaga. Bukan tidak mungkin kearifan lokal itu akan pupus bahkan terhapus ditelan kebudayaan asing, jika kita tidak segera diambil langkah peyelamatan. “Keinsyafan itulah yang mendasari lahirnya program Laskar Budaya ini,” sebutnya.

Untuk masa depan kebudayaan, lanjut Arsyad, semua harus bergandengan tangan. Menjaga, memelihara dan melestarikan.

Dia membeberkan, ada lima sekolah yang dipilih dari pinggiran kota untuk menjadi peserta Laskar Budaya, masing-maing SMKN 1 Lore Timur, SMKN 1 Lore Tengah, SMAN 1 Lore Utara, MAN 1 Sigi dan MAN 5 Sigi. Setiap sekolah mengirimkan lima orang siswa dan satu guru pendamping sebagai peserta penuh.

Sebelum peserta dilepas ke desa-desa dan kampung-kampung, mereka dibekali lebih awal dengan pengetahuan mengenai kebudayaan, teknik wawancara, dan keterampilan menulis.

Pembekalan dipusatkan di MKN 1 Lore Timur, Desa Maholo, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso selama tiga hari, mulai Jumat 20 sampai Minggu 22 September.

Keterampilan menulis, tidak akan didapatkan di bangku sekolah, karena itu dia berharap para peserta menyerap dengan baik semua materi yang disampaikan sebagai bekal menuju pelaksanaan tugas lapangan.

Kegiatan ini dilaksanakan selama sebulan penuh, dari 20 September hingga 20 Oktober. Setelah pembekalan peserta kemudian dilepas ke desa-desa untuk menemui para maestro. Melakukan wawancara, merekam dan menulis karya maestro yang berkaitan dengan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK).

Ada sepuluh OPK yang hendak diintervensi dalam kegiatan Laskar Budaya, yaitu Tradisi Lisan, Manuskrip, Adat Istiadat, Ritus, Pengetahuan Tradisional, Teknologi Tradisional, Seni, Bahasa, Permainan Rakyat, dan Olahraga Tradisional.

Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Sigi, Muhammad Nawir Dg. Mangala, mengaku terinspirasi dari kegiatan tersebut untuk mengadopsi kegiatan serupa di Kabupaten Poso.

Dia menaruh apresiai atas inisiatif BPK Wilayah XVIII Sulteng-Sulbar, menghadirkan kegiatan yang sangat penting itu.

“Ini gagasan yang luar biasa, mempersiapkan SDM (Sumber Daya Manusia, red) kebudayaan untuk masa depan kita. Ini tidak akan ditemukan di sekolah,” papar Budaywan Sulawesi Tengah, itu.

Guru SMKN 1 Lore Timur, Meldi, mengaku sangat senang menjadi tuan rumah pelaksanaan pembekalan Laskar Budaya. Dia berharap kegiatan tersebut berkelanjutan.

“Kegiatan berikutnya bisa setiap sekolah menyuguhkan tampilan seni tradisi. Tarian misalnya. Tetapi dikabari lebih awal supaya mereka siap,” harap guru agama itu, penuh semangat.

Saat ini para Laskar Budaya sedang bergelut dengan tugas, wawancara, mendengar dan menulis karya maestro, melakukan transkrpsi dan transliterasi kearifan lokal. Mereka akan memungkasi tugasnya dengan mempresentasikan proses yang mereka jalani di lapangan, dan menyajikan tulisan di forum lanjutan 17 Oktober, nanti. (***)

  • Bagikan