POSO, RADAR SULBAR — Pelestarian kebudayaan lokal sudah menjadi keharusan di tengah tingginya godaan budaya luar yang terus menyeruak. Banyak metode bisa dilakukan. Salah satunya mencatat dan merekam setiap histori kebudayaan.
Itulah yang dilakukan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XVIII Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Barat (Sulbar), Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), di Desa Maholo, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, 20-22 September.
Melalui kegiatan Pembekalan Laskar Budaya bertema Mendengar dan Menulis Rekam Karya Maestro Menjembatani Budaya Antar Generasi, BPK XVIII Wilayah Sulteng-Sulbar ingin menjadikan generasi muda sebagai pelopor pelestarian kebudayaan.
Kepala BPK Wilayah XVIII Sulteng-Sulbar, Andi Syamsu Rijal mengatakan, kemajuan zaman dan teknologi sudah menjadi keniscayaan. Namun ada hal positif dari kemajuan zaman yang bisa dimanfaatkan.
“Dengan adanya teknologi, kita bisa jadikan untuk mempublikasikan situs dan peninggalan kebudayaan kita ke seluruh dunia. Pengetahuan modern bisa digunakan untuk mengembangkan dan melestarikan warisan budaya. Baik itu situs maupun tarian tradisi yang ada di masyarakat,” kata Rijal, Minggu 22 September.
Peradaban maju, kata dia, mesti dilihat dari sisi positifnya. Melalui teknologi semua orang bisa dengan mudah mengakses dan melihat kebudayaan lokal. “Misalnya sekarang di bidang teknologi ada video reality. Kita bisa melihat dan merasakan sensasi berada di situs arca atau situs lain tanpa harus ke lapangan,” jelasnya.
Kegiatan ini merupakan program unggulan BPK Wilayah XVIII dalam upaya pelestarian kebudayaan di Sulteng. Bahwa setiap jejak kebudayaan mesti direkam dan diabadikan agar tetap lestari dan tidak ikut tergerus perubahan zaman.
“Generasi muda diberikan bekal keterampilan menulis, sehingga mampu mengabadikan dan mendokumentasikan setiap jejak kebudayaan menjadi sebuah karya yang bisa diwariskan ke generasi berikutnya,” ujar Rijal.
Ia pun mencontohkan tari tradisional sebagai peninggalan kebudayaan yang masih ada sampai saat ini. Namun, sudah tidak banyak orang yang mengetahui cikal bakal terciptanya tarian tradisional itu. Sedikit literatur yang bisa didapatkan ketika ingin menggali lebih jauh makna setiap tarian tradisional. Orang hanya menikmati secara visual setiap penampilan tarian.
“Siapa yang melakukan penciptaan tarian tradisional? Apa makna yang ada di dalam tarian itu? Kita bisa saksikan bahwa gerakan di setiap tarian tradisional itu monoton, tetapi ada nilai dan makna yang mendalam yang disampaikan dalam tarian itu,” ujarnya.
Menurutnya, nilai dan makna itu bisa berupa alur-alur tentang kehidupan, ketahanan pangan dan bagaimana orang-orang dulu bercocok tanam hingga mengolah hasil tanamannya sampai menjadi kebutuhan sehari-hari. Peserta, kata dia, akan kembali ke tempat masing-masing untuk mencari seorang maestro kebudayaan untuk diwawancara. Hasil wawancara itu kemudian diolah menjadi tulisan dan dituangkan ke dalam buku.
“Program seperti ini tidak dapatkan di sekolah yang biasa. Siswa bisa mendapatkan ilmu dan keterampilan bagaimana cara menulis dan mendokumentasikan. Lalu menjadikannya sebuah karya tulisan maupun dokumentasi yang nantinya kami publikasikan,” bebernya.
Kegiatan yang dilaksanakan di SMK Negeri 1 Lore Timur, Desa Maholo, Kecamatan Lore Timur, itu, diikuti 25 orang siswa yang berasal dari lima sekolah. Di antaranya SMA Negeri 1 Sigi, SMA Negeri 1 Lore Timur, SMA Negeri 5 Sigi, SMK Negeri 1 Lore Timur dan SMK Negeri 1 Lore Tengah.
Budayawan Sulteng, Nawir Dg. Mangala menuturkan, sumber daya kebudayaan akan tercipta dari proses pembekalan seperti ini. Mereka akan memiliki kepedulian atas kebudayaan.
“Terima kasih sudah membuat kegiatan ini. Biarkan orang di luar sana dengan K-Pop, tapi kita kembali ke tradisi kita. Ini kebanggan kita dan identitas kita. Biarkan orang di kota dengan modernitasnya. Kota di sini kembangkan warisan budaya kita yang patut dilestarikan,” bebernya.
Ia menyebutkan, kegiatan tersebut merupakan pengalaman terbaru buat para siswa. “Kami berharap kegiatan ini melahirkan pewaris yang kokoh yang tidak terkontaminasi dengan budaya luar,” jelasnya. (ajs)