“Jika tarian modern berhenti sebagai hiburan berbalur budaya asing dengan penekanan pada keindahan gerak, maka tari tradisional tidak hanya harus indah tetapi juga filosofis, kaya nilai dan unsur-unsur kebudayaan asli suatu daerah”
Oleh: Jasman Rantedoda (Lembah Napu, Sulawesi Tengah)
Tari tradisional memiliki fungsi yang sangat beragam, dia adalah sarana upacara, sarana ibadah, pelengkap ritual dan penyambutan tamu-tamu khusus atau tamu kerajaan di masa lampau. Pola dan gerak tari tradisional mengambarkan unsur-unsur kebudayaan asli suatu daerah.
Namun seiring kemajuan zaman, tari tradisional kemudian dicitrakan sebagai tari yang tidak mengikuti tren, ketinggalan zaman atau dianggap kuno, monoton dan membosankan karenanya kurang digandrungi kaum muda. Anak muda lebih memilih modern dance yang dianggap lebih energik dan mengikuti perkembangan zaman.
Sanggar seni yang umumnya diampuh oleh pelaku proyek kesenian juga kurang melirik dengan pertimbangan pangsa pasar. Dibandingkan tari modern penari tari traditional cenderung berkurang dari tahun ke tahun dan memicu resiko kepunahan.
Tari Dondi, Rego, dan Inolu tidak terkecuali. Ketiga tarian dari Lembah Lore itu mulai kurang familiar di tanah kelahirannya. Tidak mudah menemukan penduduk yang memahami filosofi tarian tersebut. Syair-syairnya juga tak selalu dihafalkan lintas generasi, jika tak segera diinterveni bukan tak mungkin menjadi punah.
Saya beryukur berkesempatan menyaksikan Tari Dondi dan Inolu, pada pembukaan Laskar Budaya, di Desa Maholo, Kecamtan Lore Timur, Kabupaten Poso. Kegiatan yang diinisiasi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) XVIII Wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat itu menjadikan siswa SMA/Sederajat sebagai jembatan budaya antar generasi, dalam bentuk mendengar dan menulis karya maestro.
“Ini (Tari Dondi, red) bukan hanya tarian, tapi suatu filosofi yang di dalamnya ada unsur ketahanan pangan,” kata Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XVIII Sulawesi Tengah dan Sulawei Barat, Andi Syamsu Rijal, usai membuka Laskar Budaya di, Desa Tamadue, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Jumat malam (20/09/2024).
Kata Dondi berarti janji. Tarian ini sudah dikenal sejak abad ke-18, mengalami perjalanan sejarah yang Panjang dan bertumpu pada pola-pola tradisi lokal.
Dondi lahir sebagai buah kesepakatan beberapa kelompok masyarakat Pekurehua (Napu) untuk bersatu. “Pekurehua itu adalah suatu tempat di bawah Situs Watunongko tempat burung Kureu. Nah, Pekurehua berarti tempat mengambil burung Kureu,” kata Juru Pemelihara (Jupel) Situs, Situs Watunongko, Eltonerlan Manu, saat berbincang dengan penulis, di teras rumahnya, Sabtu (21/09/2024).
Dondi adalah gerak tubuh yang mengandung makna penyampaian pesan atau alat komunikasi dalam kehidupan masyarakat Lore. Selain sebagai hiburan juga berfungsi sebagai ungkapan rasa syukuran kepada yang maha kuasa atas curahan berkat dari hasil pertanian, mulai dari membuka lahan, menabur benih hingga masa panen.
Penari Dondi berangka genap dan berpasang-pasangan, pria dan wanita dewasa. Pada pembukaan Lakar Budaya di Desa Tamadue, Sanggar Seni Maloni menampilkan 12 penari, enam laki-laki dan enam perempuan.
Sebagai tari tradisi, Dondi mengikuti pakem gerakan dasar, berbusana tradisional khas Napu dan
diiringi dua alat musik; gong dan gendang. Gendang dipukul dengan jarak yang agak rapat sedangkan gong hanya sesekali. Alat peraganya adalah tombak dan parang. Para penari melantunkan syair sambil meliuk membentuk pola.
Tari Dondi sudah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2011 dengan nomor registrasi 2011001920.
Namun itu tak menjamin bahwa tarian ini tidak akan mengalami gerusan, sangat mungkin masih mengalami pergeseran gerak sebab tarian sangat senitif terhadap gerakan, sedikit saja ada yang berubah maknanya akan ikut berubah.
Sementara Tari Inolu dan Rego adalah dua tarian yang sangat mirip. Gerakannya sama, membentuk pola maju mundur dan tidak diiringi alat musik, perbedaan keduanya hanya pada konteks dan syair.
“Tari Inolu itu lebih pada tari penyambutan tamu dan Rego adalah tari perang. Jadi ketika ada tamu kali yang pertama menginjakkan kaki ke tanah Lore atau Kulawi, mereka diambut dengan Tari Inolu,” kata Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Sigi, Muhammad Nawir Dg. Mangala, di SMKN …..
Pada masa lalu, Rego, ditarikan untuk melepas pasukan ke medan perang. Ketika laskar perang pulang, juga disambut dengan Rego. Sayair Inolu maupun Rego bermula dari puji-pujian terhadap yang maha kuasa.
Tari ini memiliki filosofi yang terkandung dalam gerakan, syair, dan kostumnya. Filosofi tersebut didasari kearifan lokal dan kepercayaan masyarakat setempat.
Untuk menjaga tiga tari tradisi dari kepunahan, Nawir mengaku di igi sudah dibuat pola dengan cara memanggil anak-anak untuk Latihan tari Rego dan Inalu. “Dipanggil orang tua adat, dipanggil penanggungjawab atau dinas untuk Latihan, mereka tidak pernah menolak,” sebutnya.
Namun budayawan itu tak menampik jika jauh dilubuk hatinya bersarang kekhawatiran akan punahnya kekayaan budaya yang tak ternilai itu. Dia kini berpikir akan melakukan intervensi dalam bentuk literasi. Menulis secara lengkap mulai dari pola lantai, gerak kaki dan tangan, syair, makna dan filosofi.
Pada akhirnya kita berharap objek-objek pemajuan kebudayaan seperti, tradisi lisan, seni, adat istiadat, ritus, teknologi tradisional, permainan rakyat, olahraga tradisional, bahasa, manuskrip, dan pengetahuan tradisional bisa dilestarikan.(***)