Festival kebudayaan menunjukkan bahwa keberagaman budaya bukanlah pemisah melainkan perekat bangsa. Suatu cara sehat merawat Nusantara.
OLEH: JASMAN RANTEDODA
(Lembah Behoa, Sulawesi Tengah)
FESTIVAL budaya adalah perayaan tradisi dan keberagaman etnis. Menjaga agar warisan budaya tetap hidup dan berkembang. Melalui festival, identitas suatu komunitas dilestarikan, pengetahuan masyarakat diperkaya dan kohesi sosial diciptakan.
Lebih dari itu, festival budaya adalah magnet yang menarik pengunjung dari berbagai daerah ke suatu tempat di mana festival dilangsungkan. Para pengujung akan pulang membawa cerita dan pengalaman persentuhannya dengan objek-objek kebudayaan.
Dalam konteks mikrobiologi, suatu tanaman atau sel tertentu akan tumbuh optimal pada media yang memiliki karakteristik yang paling mirip dengan media asalnya. Untuk membuat suatu koloni mati, cabutlah akarnya dari medianya.
Dalam konteks budaya, identitas suatu komunitas/etnis terbentuk, bertumbuh dan kembang dengan tersedianya media yang mendukung tumbuh kembangnya. Sebaliknya akan mati jika dicabut dari kulturnya.
Berbeda dengan tanaman, akar kebudayaan itu akan tercabut dan mati jika dibiarkan tertutupi, tersamarkan dari ingatan kolektif. Lumpuhkan identitas budayanya maka mereka akan seperti koloni tanpa media, akar tanpa tanah, dan fisik tanpa jiwa.
Masyarakat tanpa identitas jatuh lebih dalam daripada ronin –samurai tanpa tuan– yang lebih memilih jalan hara-kiri alias mati bunuh diri, daripada mengambang tanpa identitas menjelajahi bumi, menawarkan jasanya kepada siapa pun yang membutuhkan pedang untuk disewa.
Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XVII Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Barat (Sulbar), tak ingin penduduk di wilyah kerjanya seperti koloni tanpa media, akar tanpa tanah, dan fisik tanpa jiwa.
Keresahan yang demikian itu melatari pelakanaan Festival Budaya Megalitik Lore-Lindu, mengusung tema “Menjaga Warisan, Melestarikan Peradaban”, yang di pusatkan di Lapangan Langimpu Desa Doda, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulteng.
Festival tersebut mempertemukan masyarakat adat dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat. Mereka hadir dengan keragaman budayanya masing-masing. Dari kuliner tradisionla, kesenian, teknologi, hingga permainan rakyat.
“Festival ini sebagai upaya menjaga dan melestarikan warisan budaya yang tidak hanya terfokus pada yang beripat bendawi, tetapi mencakup semua objek kebudayaan,” Kata Kepala BPK Wilayah XVII Sulteng dan Sulbar, Andi Syamsu Rijal, di Situs Pokekea, Desa Hangngira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Rabu 11 September.
Hal lainnya, Lanjut Syamsu, bahwa budaya Mengalitik Lore Lindu sedang dalam proses untuk didorong menjadi warisan dunia ke UNESCO. Perlu kolaborasi lintas sektor untuk terus memunculkan keisitmewaan tinggalan budaya yang tersebar di sejumlah lembah di Kawasan Lore itu.
Salah satunya adalah Lembah Behoa yang menyimpan ratusan tinggalan budaya mengalitik seperti arca, kalamba, menhir, batu dakon, lumping batu dan lain-lain.
Direktur Pelindungan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Yudi Wahyudin yang hadir membuka Fetival Budaya Megalit Lore Lindu mengatakan, Cagar budaya di Lembah Lore telah ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat kabupaten dan provini dan sedang dalam proses menuju peringkat nasional.
“Masih perlu dilengkapi seperti delineasi kawasan secara keseluruhan, status kepemilikan dan pemetaan lahan setiap situs, ,” kata Yudi, yang dikonfrimasi, di Lapangan Langimpu, Desa Doda, Selasa siang 10 September.
Pamong Budaya Ahli Muda BPK XVIII Sulteng-Sulbar, Ilham Abdullah mengatakan, yang sangat nampak sekarang ini hanya berupa bendawi seperti situs dan cagar. Potensi lain seperti kuliner tradisional, kesenian, teknologi dan permainan tradisional serta kerajinan belum terlalu muncul.
“Makanya di festival yang berlangsung dari 8-15 September ini, kami tampilkan semua potensi yang bisa kami identifikasi,” jelas Ilham, yang juga merupakan arkeolog dan kurator Festival Budaya Megalit Lore Lindu, itu.
Panitia Fetival Budaya Megalititik Lore Lindu, Andi Muliadi menjelaskan, masyarakat adat yang hadir dalam festival terebut antara lain; masyarakat adat Kalumpang Kabupaten Mamuju, masyarakat adat Mamasa, Masyarakat adat Toraja Utara, dan Tana Toraja, Kabupaten Toraja, Masyarakat adat Lembah Bada, Masyarakat adat Lembah Pekurehua, Napu, Kabupaten Poso, Masyarakat adat Danau Lindu, dan masyarakat adat Kulawi, Kabupaten Sigi, dan masyarakat adat Lembah Behoa, Kabupaten Poso sebagai tuan rumah.
“Lembaga vertikal dan OPD (Organisai Perangkat Daerah, red) dari berbagai kabupaten dan provini juga banyak yang hadir,” beber Arkeolog, yang akrab disapa Innong, itu.
Adapun Lembaga vertikal yang hadir antara lain BPK Wilayah VI Sumatera Selatan, BPK Wilayah X Yogyakarta, BPK Wilayah XI Jawa Timur (Jatim), BPK Wilayah XII Kalimatan Timur (Kaltim), BPK Wilyahan XIII Kalimatang Tengah (Kalteng), dan BPK Wilayah XVII Sulawesi Utara (Sulut) serta BPK Wilayah XIX Sulawesi Selatan (Sulsel).
Unsur OPD yaitu Dinas Kebudayaan Sulteng, Disdikbud Donggala, Dinas Parbud Tojo Unauna, Disdikbud Poso, Disdikbud Banggai dan Banggai Kepulauan, Disdikbud Morowali dan Morowali Utara, Disdikbud Parigi Mouton, Dinas Pariwisata Donggala, Dinas Kebudayaan Tanah Toraja dan Toraja Utara serta perwakilan Disparbud Mamuju.
Panitia lainnya, Chalid AS, merincikan kegiatan dalam festival tersebut yaitu, lomba permainan tradisional untuk tingkat anak-anak, demonstrasi olahraga tradisional, demonstrasi kuliner dan minuman obat traditional, tari-tarian tradisi, panggung seni budaya, pemutaran film Situ-situs Megalit Lore Lindu, kunjungan situs, dialog budaya dan kelas maestro.
“Kelas maestro berisi antara lain, dialog budaya, workshop melukis objek megalit, dan dialong tentang pengetahuan dan teknologi tradisional arsitektur Tambi,” jelas Chalid.
Rangkaian Kegiatan
Pada panggung Seni Budaya menampilkan antara lain, lagu negeri seribu megalit, musik bambu, musik Gesok-Gesok sebagai pengiring lagu balada masyarakat adat Lembah Behoa Kabupaten Poso, Tari Ende oleh masyarakat adat Lembah Bada, Tari Sayo oleh masyarakat adat Kalumpang Kabupaten Mamuju, Tari Masao oleh anak-anak Lembah Behoa, Tradisi Rego oleh masyarakat adat Kulawi, Kabupaten Sigi, dan Tradisi Paggellu oleh masyarakat adat Toraja Kabupaten Tanah Toraja.
Juga ada pemutaran film dokumenter Megalit Lore Lindu, Tari Dulua oleh anak-anak Lembah Behoa, Poso, Tari Bulu Londong oleh masyarakat adat Mamasa, Tradisi Dondi oleh masyarakat adat Lembah Napu, Kabupaten Sigi.
Untuk demontrasi kuliner tradisional, mayarakat adat Kalumpang, membuat Buso, yaitu lauk pauk tradisional berbahan ikan, sayuran dan aneka bumbu, Roda –nasi ketan dimasak dengan wadah bambu– atau lemang, dan minuman ramuan obat.
Masyarakat adat Behoa, membuat obat tradisional, yaitu Kula, berbahan jahe dan gula merah. Minuman penambah stamina itu sejenis saraba namun tidak memakai santan.
Sementara masyarakat adat Mamasa, membikin onde-onde dan doko-doko dari tepung ubi kayu, gula merah, dan kelapa, juga membuat nasi lemang alias Roda.
Toraja membuat dua menu berupa, Pa’piong Bale Bulaan, yaitu lauk pauk berbahan ikan emas, kelapa parut, dan beragam bumbu, kemudian Deppa Tori kue tradisional berbahan tepung beras dan tepung ketan, gula merah, wijen dan dimasak dengan cara digoreng.
Masyarakat adat Lembah Behoa dan Bada membikin kue Dange, makanan Haloitanpo dan minuman ramuan obat dari masyarakat Lembah Napu, Pevo atau nasi lemang dari masyarakat adat Lembah Bada.
Sabtu malam 14 September, Kepala BPK XVIII Sulteng-Sulbar, Andi Syamsu Rijal, menyampaikan sambutan penutup Festival Budaya Megalitik Lore-Lindu. Minggu pagi 15 September, para peserta kembali ke daerah masing-masing.
Sebagai ketua Panitia, Ilham berharap tahun 2025 mendatang akan ada kesempatan membikin festival erupa di Lembah Bada, Danau Lindu dan Lembah Palu. Semoga. (***)