Matahari telah mengungguli puncak-puncak bukit ketika saya tiba disebuah dataran berketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Aroma peradaban purba menguar dari hamparan sabana yang luasnya kira-kira mencapai empat hektar itu.
OLEH: JASMAN RANTEDODA
(Poso, Sulawesi Tengah)
Di punggung bukit kecil Desa Doda, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, sesosok patung batu dengan tinggi sekira 2 meter berdiri gagah menghadap ke arah busur Galaksi Bima Sakti memunggungi deretan pegunungan di Lembah Behoa.
Wajahnya oval, telinganya menonjol, dengan mata sipit asimetris. Tangannya mengarah ke bawah, sepertinya ke kemaluan yang terlihat agak menonjol. Para ahli menyebutnya Arca Tadulako. Situs ini adalah situs kedua yang saya kunjungi di Lembah Behoa.
Arca Tadulako yang diperkirakan berusia ribuan tahun itu terlihat mengalami proses degradasi, ada retakan tertutama pada bagian kepala. Namun secara kasat mata belum terlalu mengancam kelestariannya.
Dalam legenda penduduk setempat, Tadaluko adalah panglima perang yang tersisa dari sebuah perang suku di zaman sekira 25.000 SM. Ia dikutuk menjadi batu setelah dipukul kepalanya oleh seorang perempuan musuh dengan batang alu.
”Alu itu penumbuk. Umumnya dari kayu keras,” kata penduduk setempat yang mengantar saya ke Situs Tadulako, Enrico Stevano Salian, Rabu 11 September.
Dalam kisah tutur lainnya disebutkan, Tadulako adalah seorang penjaga desa namun dikutuk menjadi batu karena mencuri beras. Namun penduduk setempat memilih mempoplerkan bahwa Tadulako adalah panglima perang.
Arca Tadulako hanyalah satu dari ratusan tinggalan kebudayaan megalitik di Lembah Lore. Ikonnya memang patung-patung batu. Patung megalit dengan figur manusia ini merupakan sesuatu yang langka di Indonesia.
Sebaran patung di Dataran Lore disetarakan dengan patung-patung Moai di Easter Island (Pulau Paskah) yang termasuk wilayah kepulauan Polinesia. Pulau Paskah memendam 1000 patung berukuran besar dengan tinggi mencapai 10 meter.
Walapun tinggalan budaya megalitik di Lembah Behoa tidak sebesar dan setinggi Patung Moai, di Pulau Paskah. Namun potensi megalitiknya lebih beragam dan diduga lebih tua. Hasil uji pertanggalan karbon menunjukkan bahwa peninggalan kebudayaan ini berada di kisaran 2000 tahun SM.
Catatan seorang perintis pekabaran Injil di Sulawesi Tengah, A. C. Kruyt menyebutkan, tahun 1908 di Lore masih berlaku orang membuat kubur dari batu dan masih ada tempat pembuatan Kalamba (bakal wadah serupa bejana besar) untuk penguburan.
Pengakuan pendiri Kota Poso itu menggambarkan adanya tradisi berlanju yang tidak putus sejak zaman megalitikum, neolotikum hingga zaman modern.
Bagi masyarakat setempat, patung-patung batu tersebut sebagai sarana pemujaan terhadap nenek moyang. Sama halnya dengan fungsi Menhir di Maek. Bagi mereka patung-patung itu adalah penggambaran nenek moyang.
Ciri seperti ini juga berkembang di jawa. Misalnya di Situs Sokoliman, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta, terdapat menhir yang dipahat diserupakan dengan manusia sebagai figur nenek moyang.
Di Sunda juga terdapat arca-arca tipe Polinesia sebagai perwujudan leluhur. Perbedaannya hanya corak budaya, religi, dan faktor lingkungan.
Benda-benda megalitik lain yang di jumpai di Situs Tadulako selain arca, berupa menhir, kalamba, piringan atau tutup kalamba, dan dolmen. Menurut salah eorang masyarakat sekitar yang saya jumpai di Situs Tadulako, Taupik, masih ada benda megalitik yang terpendam di bawah permukaan tanah. “Di sana masih ada satu arca lagi, tapi belum digali,” kata Taupik, sembari menunjuk ke arah selatan Arca Tadulako.
Kehadiran Arca Megalit di Lembah Behoa
Bagaiman arca-arca itu bisa sampai ke Lembah Behoa masih menjadi misteri. Belum ada penelitian yang berhasil mengungkapkan. Namun munculnya kebudayaan megalitik di Lore Lindu diyakini terkait erat dengan migrasi bangsa Austronesia dari kawasan Taiwan dan China.
Peneliti dari Lembaga Riset Arkeologi Nasional, Sofwan Noerwidi, menulis dalam Strategi Adaptasi Austronesia di Kepulauan Indonesi, bahwa teori persebaran Austronesia ”Out of Taiwan” yang diajukan Peter Bellwood (1995) cocok dengan hasil penelitian terbaru bahwa awal kolonisasi Austronesia di Kepulauan Indonesia adalah sekitar 3.600 BP, yang diperoleh dari pertanggalan Situs Minanga Sipakko, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar).
Hasil penelitian Sofwan mengindikasikan bahwa Sulawesi memang merupakan lokasi koloni tertua yang kemudian secara gradual semakin lebih muda ke barat menuju Sumatera dan Jawa, dan ke selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil dan ke timur menuju Maluku dan Pasifik.
Sedangkan, hasil penelitian berdasarkan temuan tulang-tulang rangka manusia di salah satu kubur tempayan, di situs Wineki, Lembah Behoa, mengungkapkan sisa-sisa peninggalan tersebut diperkirakan berusia sekitar 2351-1416 SM yang kemudian punah sekitar 1452-1527 Masehi.
Penanggungjawab Cagar Budaya Benteng Roterdam, Leang-lenag dan Leang Timpusang, Rustan melihat Kalumpang dan Lore Lindu memiliki keterkaitan erat dalam banyak hal, antara teknologi pertanian, tradisi pemakaman, pembuatan kain dan sisi arsitektur.
“Pertanian adalah salah satu revolusi yang mengubah model kehidupan manusia setelah revolusi api,” kata Arkeolog yang merupkan salah satu penemu seni figuratif tertua di dunia, itu, yang penulis temui di Desa Doda, Lembah Behoa, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso.
Dari pertanian, lanjutnya, orang bisa surplus bahan makan. Ketika tidak lagi disibukkan dengan aktivitas mencari makan, disitu ada kesempatan menaikan status sosial atau kualitas hidupnya. Orang kemudian menghadirkan hal-hal baru yang sipatnya simbolik.
“Nah yang simbolik itu muncul salah satunya di penguburan. Kalamba yang banyak ditemukan di Situ Pokekea maupun Tadulako, fungsinya sebagai wadah penguburan komunal, didukung dengan temuan tulang-tulang pada salah satu Kalamba, di Pokekea,” urai Rustan.
Rustan menguraikan bahwa penguburan yang paling sedernaha adalah meninggalkan di tempat tertentu yang jauh dari pemukiman. Belakangan kemudian dikenal penguburan dengan wadah. Wadah penguburan yang paling tua adalah tempayan atau tembikar jauh sebelum penguburan dengan wadah batu seperti Kalamba.
“Penguburan dalam tempayan ditemukan juga di Seko, Rampi, Lembah Bada, dan di Lembah Behoa ini. Dari segi bentuk, wadah penguburan dalam tempayan yang ditemukan di Situs Palemba Kecamatan Kalumpang adalah wadah penguburan tempayang yang paling tua,” papar Rustan. (baca sambungannya pada edisi selanjutnya). (***)