Selasar Surga di Kaki Meratus

  • Bagikan
Beberapa kelotok menyeberangi Waduk Riam Kanan, menuju Desa Wisata Belangian, di Kecamatan Aranoi Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. (Jasman Rantedoda/Radar Sulbar)

JIKA gambaran surga adalah tentang keindahan, ketenangan, kedamaian, kenyamanan, dan keramahan maka tidak berlebihan jika desa wisata di gerbang hutan hujan tropis Kahung, di rute timur situs Geopark Meratus ini disebut Selasar Surga di Kaki Meratus.

OLEH: JAMAN RANTEDODA (Banjarmasin, Kalimantan Selatan)

Pukul 11.13 Kelotok yang mengantar rombongan peserta Karya Jurnalitik Porwana, sandar di Dermaga Belangian. Di atas Kelotok, telapak tangan saya lembab dirayapi derap andrenalin.

Begitu menginjakkan kaki di tanah Belangian, semua yang tadinya dingin dan asing menjadi akrab dan hangat, kami mendapati penduduk yang tak pernah mengabaikan kehadiran orang lain.

Sepanjang perjalanan dari Dermaga Bukit Batu ke Dermaga Belangian, mata dimanjakan dengan deretan pulau-pulau kecil di tengah waduk Riam Kanan. Dari kejauhan tampak puncak Haurbunak dan Kahung nan hijau menjulang. Hamparan ofiolit berumur ratusan juta tahun itu bak gadis perawan memasang daya pikat di jantung Borneo.

Lanskap memukau itu adalah anugerah bagi mereka yang berkunjung ke Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Desa ini hampir memiliki segalanya, keindahan alam yang lestari, hutan raya yang perawan, pepohonan yang menjulang, batuan diorit yang berumur ratusan juta tahun, dan sungai yang deras mengalir jernih dari pegunungan, juga budaya yang luhur dan terjaga.

Desa di kaki Meratus yang sudah ditetapkan sebagai kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam sejak 18 Oktober 1989 ini, adalah semesta biodiversitas dengan kekayaan ekologi komponen biotik maupun abiotik, satwa maupun tumbuhan yang membentang di alam terbuka seluas 24 ribu hektar.

Di sana dapat ditemui pepohonan yang tinggi menjulang hingga ratusan meter, seperti binuang laki, damar buling, kayu kacang, kayu rawali yang beraroma harum, hingga pasak bumi. Juga berbagai spesiesseperti, burung enggang, beo, harwei –burung besar berbulu batik kecoklatan–dan beragam satwa seperti rusa, kijang, babi hutan, hingga beruang batu.

Desa ini berjarak sekira 60 kilometer dari Kota Banjarmain, bisa dijangkau dengan menempuh perjalanan darat kurang lebih dua jam ke Dermaga Bukit Batu, kemudian lanjut menggunakan kapal mesin atau Kelotok –sebutan masyarakat setempat– sekira satu jam ke Dermaga Belangian.

“Sebenarnya ada jalur darat,” kata Pembakal Desa Belangian, Ainul Khoir. Namun, lanjutnya, sangat sulit ditempuh sebab harus melewati pegunungan Meratus dari Desa Kiram Kabupaten Banjar.

“Desa ini memang lebih mudah dijangkau menggunakan kelotok,”jelas Ainul Khoir, dalam wawancara dengan penulis, di Warung Bambu, Desa Belangian, Rabu 21 Agutus 2024.

Dengan ketiadaan jalan darat, bukan berarti ongkos perjalanan ke Desa Belangian mahal. Malah terbilang murah, sewa Klotok dari Dermaga Bukit Batu ke Belangian hanya Rp 40 ribu pulang pergi. “Itu masuknya pagi, pulangnya sore,” kata pengemudi Klotok, Najmia Nor. Dia sudah mengambil pekerjaan itu sejak tahun 2003.

Namun demikian, tentu saja kita berharap ada keberuntungan berupa terbangunnya infrastruktur darat, selain untuk mempermudah wisatawan ke desa wisata ini, juga untuk memudahkan masyarakat mengakses kota. Tetap keberuntungan itu bukan datang tiba-tiba, dia diusahakan.

DariDermaga Belangian, tampak air danau berkilauan memantul-mantulkan cahaya ke muka. Pembakal Desa Belangian sudah berdiri di ujung jalan beton, akas melangkah mendekati rombongan peserta Karya Jurnalitik, Porwanas.

Di gerbang desa berdiri perempuan tengah baya dengan baki di tangan, tiga shal Sasirangan tergeletak di situ. Kami disambut dengan tradisi pengalungan shal sebagai penghormatan terhadap tamu.

Berjalanlah kami menuju perkampungan dinaungi pepohonan rindang nan menjulang. Sekira 15 menit, kami sampai di pekarangan Masjid, di sana puluhan ojek menunggu untuk mengantar ke titik-titik objek yang udah ditentukan.

Mula-mula ke Selter Kembar, di sana kami menyakikan batuan diorit yang berumur ratusan juta tahun, di Sungai Hapunit.

Seksi Perlindungan Hutan, Dinas Kehutanan (Dishut) Kalimantan Selatan (Kalsel), Bambang Susilo bercerita, bahwa di kawasan itu sudah ditanami pohon trembesi, mahoni, karet dan jambu mente sebanyak 1.500 pohon. “Mayarakat yang menanam. Mereka dibayar setelah tanaman mereka dinilai,” papar Bambang.

Dari Selter Kembar kemudian ke pohon Benuang Laki dan terakhir di ujung vaping blok, dimana terdapat sungai kecil dengan batuan yang sama di Sungai Hapunit.

Pohon Benuang Laki menurut Pengelola Tahura Sultan Adam, Komar, berusia sekira 75 tahun dengan tinggi sekira 50 meter dan diameter 2,25 meter. Disebut Binuang Laki sebab dibagian bawah akar banir pohon tersebut, terdapat benjolan mirip alat vital laki-laki.

TENTANG NAMA DESA

Pembakal Desa Belangian, Ainul Khoir mengisahkan, nama desa yang diresmikan tahun 1982 ini, diambil dari nama teluk atau telaga di dekat desa, yaitu Telaga Belangian. Belangian berasal dari bahasa Suku Dayak, terdiri dari dua suku kata yaitu, “Balai” yang berarti tempat pertemuan dan “Ngian” yang berarti makhluk halus.

Secara utuh nama Belangian didasarkan pada suatu upacara adat di Telaga Belangian yang digelar setahun sekali, berupa pemberian makan hutan dengan mengundang makhluk-makhluk halus yang ada di segala penjuru Riam Kanan.

Sebelum pembangunan Waduk Riam Kanan, Belangian adalah area perkebunan bagi warga Desa Kalaan, Riam Kanan adalah waduk yang membendung delapan sungai di kawasan Pegunungan Meratus, dibangun pada Tahun 1965 dan diresmikan pada Tahun 1973 oleh Presiden Soeharto.

Waduk seluas 9.730 hektare itu dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk memasok listrik di beberapa kawasan di Kalimantan Selatan.

“Desa Kalaan tenggelam bersamaan delapan desa lainnya dan sejak saat itu warga berpindah ke Belangian yang memiliki topografi yang lebih tinggi,” kisah Ainul

Kini, Desa Belangian ibarat menara pandang untuk menikmati hamparan danau buatan Riam Kanan. Danau yang menyimpan sejarah Bumi dengan gunung berapi di dasarnya, petilasan kapak batu, hingga berlian. Danau yang menenggelamkan tetapi juga memberi harapan masa depan bagi mereka yang tetap bertahan.

Desa ini dihuni 340 jiwa dengan 105 Kepala Keluarga, umumnya bekerja sebagai. “Dulunya masyarakat suka takut-takut sama orang luar, tapi mereka sudah diedukasi untuk menjadi masyarakat sadar wisata,” tambah Ainul Khoir.

Untuk fasilitas pengunjung, Desa Belangian sudah memiliki 13 unit homestay dengan sewa Rp 120 per malam teramsuk makan. Ojek dan pemadu juga tersedia. Ongkos ojek dari perkampungan hingga ke ujung Sungai Hapunit Rp 80 ribu pulang pergi.

Sebagai buah tangan, penduduk menyediakan oleh-oleh seperti kain Sasirangan dan aneka cemilan.

Untuk paket wisata ada arum jeram, air terjun setinggi 24 meter, Puncak Kahong setinggi 1.456 mdpl. Juga ada geosite seperti pohon binuang laki, batuan diorite dan sungai Hapunit.

“Kami menyediakan paket wisata gratis untuk pecinta alam, Kalau untuk umum bayar Rp 100 ribu sudah ditanggung makannya,” kata Ketua Kelopok Sadar Wisata (Popdarwis) Desa Belangian Hariadi.

Kenapa pecinta alam digratiskan, sebab Hariadi, yakin mereka akan menjaga hutan Belangian, dan siapa saja yang menjaga alam layak dilayani.

Desa Belangian mebesitkan kedadaran dalam hati saya, bahwa kepedulian terhadap alam memang sudah selayaknya sebab kita hidup di sini, di bumi, satu-atunya rumah yang kita tahu memberi kehidupan bagi spesies kita.

Kita belajar antariksa bukan untuk meninggalkan planet ini, melainkan ingin menjadikan hidup di sini lebih baik. Kesadaran itu harus dibangun sebelum rasa bersalah menerungku dalam sesal tak berkesudahan. Pada akhirnya saya berkesimpulan, jika Danau Toba istimewa karena memiliki kaldera yang terbentuk dari letusan gunung api purba dan Kawah Ijen dengan danau asam yang menghasilkan api berwarna biru, maka Meratus istimewa karena memiliki Belangian, satu di antara 54 situs di kawasan Geopark Pengunungan Meratus. Belangian adalah Selasar Surga di Kaki Meratus. (***)

  • Bagikan