Oleh: M Danial
POLEMIK soal jilbab Paskibraka 2024 pada HUT RI ke-79 di Ibu Kota Nusantara (IKN) menyedot perhatian publik tiga hari terakhir. Heboh “larangan berjilbab” Paskibraka yang merupakan kebijakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menandingi kehebohan pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, akhir pekan lalu.
Larangan berjilbab Paskibraka 2024 memicu reaksi keras ormas keagamaan, lembaga atau organisasi nonpemerintah, dan kalangan masyarakat lainnya. Mereka mengecam larangan tersebut yang menyerupai kebijakan pemerintah Orde Baru. Lebih dari itu, tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah KH Cholil Nafis protes keras larangan penggunaan jilbab Paskibraka perempuan beragama Islam pada peringatan HUT RI ke-79 di IKN. Cholil menyebut pelarangan tersebut kebijakan yang tidak Pancasilais.
“Ini tidak Pancasilais. Bagaimanapun Sila Ketuhanan yang Maha Esa menjamin hak melaksanakan ajaran agama,” kata Cholil, dilansir laman resmi MUI, Rabu (14/8). Cholil menyarankan Paskibraka muslim perempuan lebih baik pulang jika tidak diizinkan mengenakan jilbab saat bertugas.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Sekretaris Umum Abdul Mu’ti menyayangkan adanya dugaan larangan berjilbab Paskibraka muslimah 2024 di IKN. Jika larangan itu benar, Muhammadiyah meminta untuk dicabut. Mu’ti menilai larangan berjilbab adalah tindakan diskriminatif, bertentangan dengan kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan nilai-nilai Pancasila.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrur Rozi mengkritik keras aturan BPIP soal larangan berjilbab Paskibraka di IKN. Ia meyakini penggunaan jilbab bagi Paskibraka putri tidak mengurangi estetika dan kekompakan mereka. “Aturan itu harus dikoreksi. Kebebasan beragama mutlak harus dihormati,” tegas Fahrur Rozi.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Jasra Putra mengecam kebijakan BPIP soal jilbab Paskibraka di IKN merupakan tragedi pemaksaan melepas keyakinan anak oleh BPIP. Merupakan juga pelanggaran prinsip dasar hak anak.
Kecaman dilontarkan juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Purna Paskibraka Indonesia (PP PPI), Gousta Feriza. Ia menyebut aturan pelepasan jilbab Paskibraka mencederai nilai-nilai Bhineka Thunggal Ika dan Pancasila, khususnya sila pertama, ketuhanan yang maha esa.
Setelah viral menjadi polemik dan menuai kecaman dari berbagai pihak, Kepala BPIP Yudian Wahyudi akhirnya membolehkan Paskibraka mengenai jilbab saat bertugas di upacara HUT RI di IKN. Yudian meminta maaf atas keputusan sebelumnya melarang Paskibraka mengenakan jilbab saat pengukuhan dan upacara kenegaraan.
Jilbab atau hijab mulai populer di Indonesia sejak dua dekade terakhir. Sejarah mencatat bahwa perempuan yang mengenakan penutup kepala dan leher sampai dada itu sudah sejak lama. Bahkan sebelum pemerintahan kolonial Belanda.
Dilansir dari historia.id (14/3/2018), memakai jilbab atau hijab sebagai busana muslimah dipopulerkan oleh artis senior Ida Royani, yang dikenal sebagai pasangan duet Benyamin Sueb pada era 1970 hingga 1980-an.
Suatu hari sekitar 1978 Ida Royani menjadi pusat perhatian saat berbelanja di Pasar Mayestik, Jakarta dengan tatapan yang dirasakannya ada keganjilan. Orang-orang melihatnya dengan pandangan aneh. Tapi Ida Royani tak peduli. Ia mahfum orang-orang kaget terhadap penampilannya.
Pemakaian jilbab di kalangan perempuan muslim makin populer dari tahun ke tahun di Indonesia. Fenomena itu membuat pemerintah yang sedang gerah terhadap Islam melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah umum. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan SK 162/C/Kep/D.82 tentang kebijakan pemerintah terkait standarnisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional. Keputusan itu memicu protes dari para cendekiawan dan aktivis Islam.
Di sisi lain pelarangan justru kian mempopulerkan jilbab. Pemakaian jilbab menjadi salah satu wujud perlawanan di era Orde Baru. Ketika itu, jilbab menjadi perlawanan identitas Islam di tingkat nasional dan internasional.
Pemerintah mengizinkan kembali penggunaan jilbab di sekolah umum pada 1991. Kelonggaran tersebut merupakan bentuk pendekatan pemerintahan Soeharto kepada kalangan Islam.
Pascareformasi, ketika pemaknaan atas identitas keislaman makin beragam dan mendapat ruang di publik, jilbab sebagai busana atau mode yang dilirik para pebisnis sebagai komoditi yang menjanjikan. Penjualan jilbab sebagai pakaian muslimah berkembang pesat, mulai jilbab segi empat sampai berupa burka (pakaian muslimah bercadar).
Kini pemakaian jilbab menjadi pemantik inovasi dan kreatifitas untuk mengekspresikan identitas keislaman, mulai dari yang politis sampai untuk kesalehan, atau yang jilbabnya besar sampai cadar.
Polemik mengenai jilbab yang masih sering terjadi, pertanda masalah tersebut amat sensitif memicu reaksi masyarakat. Terutama berkaitan dengan keyakinan dan pengamalan ajaran agama. Penguasa harusnya lebih paham yang pantas dan tidak pantas dilakukan. (*)