Oleh: M Danial
SEBUAH desa mendapat pimpinan baru. Sejak hari pertama sang pimpinan sangat bersemangat menyerukan pembaruan melalui transformasi di berbagai bidang. Temanya klasik: untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai program dan kegiatan yang sudah berjalan seolah tak ada artinya. Hari-hari awal kerja padat dengan seremoni pencanangan program unggulan dimana-mana. Boleh dibilang tiada hari tanpa pencanangan. Ironisnya, para pejabat desa mengamini dan seolah menihilkan program yang sudah berjalan.
Gagasan sang pimpinan berjalan lancar. Semua manut mengikuti. Semua kompak menyambut program baru. Tak pernah terdengar evaluasi kelemahan – kekurangan program yang sudah berjalan.
Tak terdengar juga adanya diskusi kajian program yang baru. Yang ada adalah kompak melancarkan dan memuji gagasan sang pimpinan. Entah pernah dilakukan diskusi, evaluasi, dan kajian tapi tak dipublikasikan.
Dalam berbagai organisasi, pemerintahan maupun swasta, fenomena bawahan yang hanya menuruti pimpinan sangat sering terjadi. Bukan hal baru lantaran rasa takut yang berlebihan. Rasa takut yang melumpuhkan kreatifitas.
Ketakutan berlebihan kepada pimpinan karena beberapa faktor. Antara lain budaya feodalisme dan sikap otoriter pimpinan. Akibatnya bawahan hanya berpikir bagaimana tetap di zona nyaman. Agar karier dan posisi tetap aman, kuncinya harus mengikuti kemauan pimpinan.
Bawahan kehilangan inovasi dan daya kritis konstruktif agar terhindar dari pengucilan. Bahkan kena sanksi karena pertimbangan subjektif suka dan tidak suka. Rasa takut membuat bawahan selalu hanya manut tanpa banyak pertanyaan terhadap kemauan sang pimpinan.
Penyebab lain karena kurang terbuka saluran komunikasi antara pimpinan dengan bawahan. Sehingga bawahan merasa pemikiran dan pandangannya tidak bermanfaat, tidak dihargai, alih-alih dianggap penting. Tidak tersedia ruang dan mekanisme umpan balik untuk melakukan dialog yang konstruktif.
Fenomena bawahan yang hanya manut dan memuji pimpinan, mengingatkan kisah Topi Abu Nawas dalam buku “Kisah 1001 Malam”.
Alkisah pada sebuah pagi Abu Nawas berjalan di tengah pasar sambil melihat-lihat terus ke dalam topinya lalu tertawa cengengesan. Melihat kelakuan Abu Nawas tersebut, para pedagang dan pengunjung pasar keheranan. Mereka saling bertanya apa yang terjadi.
“Hai Abu Nawas apa yang kamu lihat dalam topimu yang membuatmu tersenyum bahagia?” tanya pedagang.
“Aku sedang melihat surga dan barisan bidadari,” jawabnya, dengan mimik meyakinkan.”
“Boleh aku lihat?” seseorang mendekat untuk memastikan yang dikatakan Abu Nawas.
“Boleh, tapi saya tidak yakin kamu bisa melihat seperti yang saya lihat dalam topi ini,” jawab Abu Nawas.
Mendengar jawaban tersebut, para pedagang penasaran. Mereka berbondong-bondong mendekat.
“Mengapa?” para pedagang serempak bertanya, sama-sama makin penasaran.
“Karena hanya orang beriman dan sholeh saja yang bisa melihat surga dan bidadari
di dalam topi ini,” jelas Abu Nawas.
Seorang pedagang lebih mendekat untuk melihat. “Coba aku lihat !”
“Silakan!”
Pedagang bergantian melihat ke dalam topi, lalu menatap ke Abu Nawas. Setelah itu melihat sekelilingnya, membenarkan melihat surga dan bidadari dalam topi. “Benar aku melihat surga dan bidadari berjejer.”
“Luar biasa,” para pedagang terpaksa berbohong karena takut dianggap orang yang tidak sholeh dan tidak beriman kalau mengatakan yang sebaliknya.
Para pedagang dan pengunjung pasar membentuk antrean panjang. Setelah melihat ke dalam topi ia terbelalak lantaran tidak melihat apa-apa. Namun lagi-lagi mereka gengsi jika dikatakan tidak sholeh – tidak beriman. Mereka kompak berbohong membenarkan yang dikatakan Abu Nawas.
“Sungguh menakjubkan, kita bisa melihat surga dan barisan bidadari dalam topi ini.”
Cerita soal topi Abu Nawas viral menjadi pembicaraan masyarakat terdengar oleh raja. Sang Raja pun tertarik untuk memastikan kebenarannya. Abu Nawas diperintahkan menghadap ke istana membawa topinya.
Setelah melihat ke dalam topi Abu Nawas, sang Raja pun ikut-ikutan mengamini cerita masyarakat. Pasalnya, kalau raja mengatakan yang berbeda atau mengatakan tidak melihat apa-apa dalam topi, maka rakyat akan menganggapnya tidak sholeh dan tidak beriman. Itu akan menurunkan harkat dan martabatnya sang raja. (*)