Ujian Peduli Anak

  • Bagikan

Oleh: M Danial

PERISTIWA kekerasan terhadap anak masih marak terjadi. Informasinya tersaji setiap hari di beranda medsos dan diberitakan media. Jumlahnya cukup memperihatinkan. Meningkat dari tahun ke tahun. Banyak yang panik dan tetiba peduli ketika persoalan kekerasan anak viral di media.

Berbagai bentuk kekerasan terhadap anak. Yaitu
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan sosial, hingga eksploitasi anak, penelantaran dan pengabaian hak anak. 

Tempat terjadinya kekerasan sering di lingkungan terdekat. Bahkan dalam lingkup rumah tangga atau lembaga pendidikan. Termasuk di pondok pesantren. Pelakunya sering oleh yang seharusnya bertanggung jawab melindungi anak dari kekerasan. 

Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena gunung es. Hanya segelintir yang terlihat di permukaan, lebih banyak yang tidak ketahuan. Tidak sedikit kekerasan anak yang “tertutupi” atau “ditutupi” dengan berbagai alasan. Ironisnya, mengalir penghargaan perlindungan anak dari pemerintah pusat ke daerah. Kini hampir merata provinsi, kabupaten atau kota se Indonesia menyandang predikat layak anak. 

Dilansir dari dataindonesia.id, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (Kemen-PPA) mencatat jumlah 16.854 anak korban kekerasan pada 2023. Ada beberapa korban pernah mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. 

Jenis kekerasan terhadap anak yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual 8.838 kasus. Kekerasan fisik lainnya sebanyak 4.025 kasus, dan kekerasan psikis 3.800 kasus. 

Kasus kekerasan berupa penelantaran anak 955 kasus, eksploitasi anak 266 kasus, dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 195 kasus. Kekerasan bentuk lain 2.166 kasus.

Kemen-PPPA menyebut jumlah pengaduan kekerasan terhadap anak sepanjang 2023 naik tiga kali lipat dari 2022. 

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen-PPA, Nahar mengatakan makin banyaknya kasus kekerasan terhadap anak menjadi tantangan luar biasa yang parlu perhatian untuk diatasi secara komprehensif. Termasuk kekerasan melalui dunia maya atau nonkontak di ranah luring dan daring.  

“Berbagai bentuk kekerasan terhadap anak menjadi tantangan bagi Kemen-PPA dan pihak terkait lainnya. Apalagi kekerasan kini tidak hanya terjadi di ranah luring. Tidak dapat dipungkiri ranah daring pun menjadi medium kekerasan terhadap anak, mulai perundungan hingga kekerasan seksual,” kata Nahar, melalui siaran pers Kemen-PPA kepada media (6/1). Tantangan tersebut makin berat dengan meningkatnya tuntutan kebutuhan anak di bidang pendidikan melakukan aktifitas di ranah daring. 

Predikat Layak Anak yang menjadi kebanggaan banyak kabupaten, kota, maupun provinsi bukan hanya merupakan apresiasi terkaut pemenuhan hak anak. Tapi juga komitmen melindungi anak dari kekerasan, kekejaman, dan tindakan tidak manusiawi. 

Penghargaan Layak Anak sejatinya merupakan beban moral bagi daerah yang menyandang 
predikat tersebut. Bukan hanya sekedar menjadi koleksi penghargaan yang dibanggakan. Dan dujadikan pelengkap untuk kepentingan politik. Yang sangat diperlukan adalah komitmen yang disertai konsistensi mewujudkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan terbaik anak.

Banyaknya peristiwa kekerasan anak termasuk kekerasan seksual, menjadi tanda tanya layak-tidaknya sebuah daerah menyandang predikat ramah anak. Tanda tanya lainnya, bagaimana kepekaan para stakeholder terhadap berbagai permasalahan anak. 

Semoga Hari Anak Nasional 2024 menjadi momentum untuk menguatkan komitmen yang disertai konsistensi untuk mewujudkan yang terbaik baik anak. Sudah saatnya kepedulian akan perlindungan dan pemenuhan hak anak menjadi gerakan bersama. Bukan hanya ramai-ramai panik dan berlomba peduli saat persoalan anak muncul di media dan viral. Kepekaan dan kepedulian kita terhadap persoalan anak akan teruji oleh waktu. (*) 

  • Bagikan