Negeri Para Haji

  • Bagikan

Oleh: M Danial 

Thariq sudah haji sejak usia dua bulan.” Kalimat itu sempat viral sebagai candaan warganet yang menyertai komentar mereka di medsos. Bahkan dicantumkan pada setiap yang bisa dikomentar, mulai masalah politik, ekonomi, mode, hingga olahraga. 

Setiap tahun jutaan umat muslim dari berbagai penjuru dunia melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Ibadah haji adalah pelaksanaan rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban setiap muslim yang memenuhi syarat mampu. Melaksanakan ibadah haji merupakan juga perjalanan spiritual yang memiliki makna suci bagi setiap pribadi muslim untuk mendapatkan keberkahan dan ridho Allah Swt.

Di balik kewajiban dan harapan dari ibadah haji ada fenomena sosial yang terjadi. Namun kadang tidak disadari. Gelar ‘Haji’ menjadi simbol prestise yang diperoleh setelah kembali dari Tanah Suci. Tak mengherankan ada “alumni” jamaah haji merasa tersinggung jika tidak dipanggil ‘haji’. 

Ia merasa seolah direndahkan harga dirinya. Seolah tidak menghargai perjalanan spiritual yang telah dilakukan dengan biaya tidak sedikit. Itupun setelah antre bertahun-tahun. Menunggu giliran dari daftar panjang calon jemaah haji. 

Gelar haji diketahui sudah ada di Nusantara pada zaman pergerakan politik kebangsaan dan kekuasaan kolonial sekitar awal abad XX. 

Dikutip dari Tempo.co (16/06/2022), arkeolog Islam Nusantara Agus Sunyoto mengatakan gelar haji muncul di Nusantara sejak 1916. Ketika itu kaum pribumi yang kembali menunaikan ibadah haji dari Mekkah menggeliat melawan kolonial. Gelar haji berpengaruh besar membangkitkan semangat gerakan politik terhadap kolonialisme.
“Sejarahnya mulai dari perlawanan umat Islam terhadap pemerintah kolonial. Setiap ada pemberontakan dipelopori oleh para guru thariqat, haji, ulama dari pesantren. Mereka itulah yang selalu dianggap sebagai pemberontak sampai membuat kompeni kewalahan,” kata Agus Sunyoto, dikutip Tempo.co dari laman NU.or.id, 27 September 2014.

Pada masa itu gelar haji mengandung pengakuan kesalehan, otoritas politik, dan perubahan derajat sosial budaya. Pencantuman gelar haji memberi pengaruh besar terhadap gerakan politik Islam menghadapi pemerintah kolonial. 

Para kolonialis sampai kebingungan dan beranggapan perlawanan selalu melibatkan para haji dan kiai dari pesantren-pesantren. Setiap kepulangan warga pribumi dari melaksanakan ibadah haji dari Tanah Suci selalu muncul perlawanan yang kuat. 

Pada 1916 pemerintah kolonial mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji. Setiap orang yang pulang dari melaksanakan ibadah haji wajib mencantumkan gelar haji di depan namanya. Tujuannya untuk memudahkan pengawasan. Sejak itulah setiap pribumi yang pulang berhaji diberi gelar. Akhirnya sapaan haji menjadi kebiasaan. 

Musim haji 2024 atau 1445 H akan segera berlalu. Jadwal kedatangan jamaah haji Indonesia kloter terakhir gelombang II pada 22 Juli. 

Keberangkatan jamaah haji merupakan momen silaturahmi dan saling mendoakan sesama keluarga, kerabat, tetangga, dan sesama warga. Terlebih saat kepulangan jamaah haji dari Tanah Suci. Menjadi momen berbagi kebahagiaan dan kesyukuran yang memiliki makna tersendiri. Sayangnya momen itu kerap tidak disadari menjadi panggung pamer status sosial di hadapan kerabat dan tetangga. 

Gelar haji sejatinya merupakan pengingat untuk selalu menjaga sikap dan perilaku sebagai hamba yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Perjalanan haji yang telah dilaksanakan di Tanah Suci Mekkah dan Madinah bukanlah sekadar seremoni fisik. Melainkan merupakan transformasi spritual untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. 

Gelar haji hendaknya selalu menjadi motivasi merenungkan makna kehidupan, untuk lebih meningkatkan kualitas moral dan spiritual. Yang akan teruji oleh waktu melalui sikap dan perilaku sebagai orang yang telah melakukan transformasi setelah berhaji. 

Menjadi sosok yang selalu mengasah kepedulian dan kepekaan sosial lebih tajam dari warga masyarakat pada umumnya.

Ketika gelar ‘Haji’ yang melekat di depan nama, apalagi berderet dengan gelar akademik dan pangkat, menenggelamkan esensi ibadah yang telah dijalani. Perilaku atau kebiasaan lama tidak menjadi lebih baik. Masih suka membenarkan kebiasaan buruk bukan membiasakan yang benar. Maka pertanyaan yang tepat adalah: apa yang diharapkan dari ibadah haji?

Apakah berhaji karena sungguh-sungguh berharap keridhaan Sang Pencipta atau hanya untuk sekadar status sosial? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut akan bermacam-macam di negeri para haji. (*)

  • Bagikan