Tahun baru Islam 1 Muharram 1446 Hijriah jatuh pada Minggu 7 Juli 2024. Dalam sejarahnya, tahun Baru Islam berkaitan dengan peristiwa di tahun 622 Masehi, ketika Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya bermigrasi atau berhijrah secara rahasia dari Makkah ke Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan hijrah.
Laporan : Amri Makkaruba, Wonomulyo
Pada tahun 639 M, Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua melembagakan kalender sebagai upaya mengatur kehidupan tradisi Islam. Sejak saat ini, Muharram menjadi bulan pertama dalam kalender Islam dan ikut dirayakan setiap tahunnya oleh umat muslim.
Di berbagai wilayah di Indonesia, tahun baru Islam dirayakan dengan meriah melalui berbagai tradisi. Seperti halnya yang dilakukan masyarakat Dusun Ponorogo Desa Bumimulyo Kecamatan Wonomulyo Polewali Mandar, Kamis sore 11 Juli.
Masyarakat di Dusun Ponorogo Desa Bumiayu Wonomulyo ini masih melestarikan tradisi syukuran memasuki tahun baru Islam. Tradisi itu disebut “Takir Plontang”. Tradisi ini merupakan syukuran warga dengan makan bersama di pinggir jalan. Pelaksanaan tradisi ini dilakukan Kamis pekan pertama bulan Muharram atau menjelang malam Jumat.
Takir Plontang salah satu tradisi unik yang dilaksanakan warga Dusun Ponorogo Desa Bumiayu yang sudah melekat turun temurun oleh masyarakat. Sebelum tradisi ini diadakan, masing masing rumah menyiapkan makanan yang akan dibawa ke lokasi pelaksanaan Takir Plontang.
Kemudian warga bersama tokoh masyarakat dan pemuka agama mereka mengadakan doa dan makan bersama yang beralaskan terpal di pinggir perempatan jalan desa.
Takir Plontang merupakan wadah yang berfungsi untuk tempat makanan. Dimana wadah ini terbuat dari daun pisang dan janur, yang dihias menyerupai kapal menggunakan lidi.
Salah seorang tokoh masyarakat Dusun Ponorogo Desa Bumiayu yang juga imam masjid Darul Huda, Agiat mengungkapkan Takir Plontong ini merupakan kegiatan tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan sejak dari nenek moyang mereka bermukim di Wonomulyo Polman.
Ia mengaku hampir serarus persen warga Dusun Ponorogo Bumiayu ini merupakan suku Jawa. Dulunya merupakan kolonisasi jaman Belanda atau trasmigrasi yang didatangkan dari Jawa sebelum kemerdekan RI.
Sehingga mereka juga membawa tradisi di Jawa di daerah asalnya yang diturunkan ke generasi yang tinggal di Wonomulyo ini.
Agiat mentagatakan setiap Kamis sore menjelang malam Jumat pada pekan pertama bulan Muharram warga Dusun Ponorogo berkumpul di perempatan jalan yang sudah ditentukan untuk merayakan stukuran tahun baru Islam 1446 Hijriyah 2024 masehi. Mereka datang membawa makanan lengkap dengan lauknya dan beralas daun pisang. Kemudian disajikan diatas takir terbuat dari daun pisang dan janur kelapa.
“Tradisi takir plontang ini merupakan tradisi yang setiap tahunnya digelar dalam syukuran tahun baru Islam. Selain sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas umur panjang sehingga dapat merayakan tahun baru Islam. Juga sebagai refleksi atas perbuatannya selama setahun terakhir,” ujar Agiat.
Ia menjelaskan makna Takir Plontang diartikan sebagai mengukur ibadah wajib yang belang belang. Artinya kata takir itu mengukur sementara plontang itu belang belang. Jadi kata dia makna Takir Plontang itu merefleksi atau mengingat kembali ibadah yang bolong bolong atau belang belang selama setahun terakhir ini untuk diperbaiki kedepan tahun ini agar tidak ada yang bolong.
“Kita mengingat rutinitas selama setahun terakhir jika ada kesalahan utamanya ibadah. Jika tahun kemarin ada belang belangnya kita tingkatkan pelaksanaan ibadah. Sehingga yang belang belang bisa tertutupi. Ini juga sebagai bentuk kesyukuran masyarakat atas segala nikmat yang telah diperoleh setahun terakhir. Selain itu bermuhasabah menghitung amal kebaikan tahun lalu apa sudah memenuhi atau tidak sehingga pada tahun kita tingkatkan ibadah kepada Allah SWT,” tambahnya.
Agiat juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat di Ponorogo atas kerjasamanya dan mendukung kegiatan ini dan berharap berharap agar generasi muda nantinya dapat terus melestarikan tradisi Takir Plontang di Dusun Ponorogo Desa Bumiayu.
Sementara pelaksanaan tradisi ini di perempatan jalan desa maknanya kata Agiat agar masyarakat diberi keselamatan saat mengendarai kendaraan di jalan. Dalam pelaksanaan tradisi ini tidak menggunakan piring tetapi membuat takir dari daun pisang dan janur kelapa.
Ia mengatakan maknanya itu pohon pisang itu semua dapat dimanfaatkan mulai dari batang, daun hingga buahnya. Seperti halnya janur dari kelapa bermakna sejati cahaya sehingga bisa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Menurutnya kebudayaan Jawa, tiap bagian sebuah takir plontang memiliki makna tersendiri. Jika disimpulkan makna takir plontang merupakan sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan diberikan kerukunan dalam bermasyarakat
Sementara salah seorang warga Ponorogo, Ani mengaku bangga jika masyarakat dapat setiap tahun menggelar acara serupa dengan rutin. Ia mengaku sejak siang masing masing warga sibuk di dapur menyiapkan makanan dan lauk untuk dibawa ke lokasi tradisi Takir Plontong. Makanan yang disiapkan seperti nasi uduk dan nasi kuning. Selain itu dilengkapi lauk seperti ayam goreng, daging sapi, telur, ikan hingga sayur urat. Takir Plontang merupakan sebuah nasi yang dibungkus dengan daun pisang dan janur kelapa muda berbentuk seperti perahu, dengan ujungnya dibentuk dengan lidi. Takir tersebut berisi nasi uduk atau nasi kuning dengan lauk potongan ayam, telur gulung, sayur urat, mie dan sambal goreng.
“Tradisi ini bisa memupuk rasa kekeluargaan dan kebersamaan dengan tetangga dan warga sekitar sehingga tradisi. Ini nerupakan tradisi turun temurun sejak saya kecil sampai sekarang masih tetap dilaksanakan,” ujar Bu Ani yang juga mantan atlet bola voli Polman ini.
Keunikan lain dari tradisi Takir Plontang di Dusun Ponorogo ini dilaksanakan di perempatan jalan sebagai lokasi warga menggelar kenduri. Warga kemudian berkumpul duduk melingkar dan takir berada di tengah. Usai imam masjid memimpin doa kemudian masyarakat yang hadir melakukan kenduri makan bersama hingga menjelang magrib. Makanan yang tersisa kemudian dibagi bagi ke warga lain yang tak sempat hadir maupun dibawa pulang ke rumah masing masing.
“Dengan adanya kegiatan ini, juga untuk memperkenalkan tradisi budaya Jawa pada anak-anak muda supaya tidak tergerus zaman,” tambahnya. (***)