JAKARTA, RADAR SULBAR – Sudah bukan suatu rahasia lagi bahwa di balik gemerlap teknologi di era digital yang kian memikat, terselip bayang-bayang gelap dan ancaman yang mengintai anak-anak generasi penerus bangsa.
Teknologi digital semakin hari semakin berkembang dan memudahkan masyarakat untuk melakukan apapun. Bahkan kini seorang penjudi tidak perlu datang jauh-jauh ke kasino, lantaran telatah mereka kini bisa dilakukan di dalam genggaman ponsel.
Berbeda dengan kasino yang mungkin masih melarang anak di bawah umur masuk, permainan judi dalam genggaman ponsel yang dilakukan secara online itu tidak melarang siapapun untuk terlibat.
Bila ada judi, maka ada bandar. Mungkin banyak orang sudah memahami istilah bahwa “bandar tidak pernah kalah atau merugi”. Sehingga bandar judi online pun tidak melihat siapapun yang mengikuti permainannya, baik orang dewasa maupun anak-anak, karena yang dicari adalah bagaimana caranya untuk tidak merugi.
Pada pertengahan tahun 2024, perhatian masyarakat Indonesia tengah tertuju pada maraknya pemberitaan judi online. Beberapa kasus kekejaman dan keprihatinan pun tak jarang bersumber dari sengkarut judi online yang berimbas kepada pinjaman online.
Di balik itu, nyatanya judi online digandrungi oleh semua kalangan usia, tak terkecuali anak-anak yang bahkan belum memiliki kartu identitas. Hal tersebut pun diungkap oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Tercatat bahwa saat ini ada lebih dari setengah juta anak Indonesia yang bermain judi online, terdiri dari sekitar 80 ribu anak usia 10 tahun ke bawah dan sekitar 440 ribu anak usia 10-20 tahun.
Maka gelombang judi online menjadi tantangan serius yang mengancam keberlangsungan masa depan bangsa. Bukan hanya dicegah, anak-anak penerus bangsa pun perlu dibela agar tak terjerumus semakin dalam kepada bahaya permainan amoral tersebut.
Pemenuhan hak anak
Sama halnya dengan aksi kenakalan, aktivitas anak-anak agar tak terjerumus judi online pun harus diwaspadai mulai dari lingkungan sekitarnya. Prinsip hal tersebut pun sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam hal ini orang tua memiliki peran penting dalam upaya perlindungan anak, berdasarkan penuturan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra. Bukan hanya tindak kekerasan atau perundungan, anak-anak juga saat ini harus dilindungi dari kecanduan judi online.
Walaupun begitu, upaya perlindungan anak tidak serta merta hanya menjadi tugas bagi orang tua atau walinya. Pasalnya, Jasra mengungkapkan tindakan anak pun bisa terjadi justru karena pengaruh para orang tuanya.
Dalam tiga tahun terakhir, KPAI mencatat faktor relasi kuasa jadi salah satu penyebab permasalahan perlindungan anak. Dalam hal ini, orang tua memiliki kuasa terhadap perilaku anaknya.
“Ini yang kita sebut membunuh perlindungan anak kita, ada orang tua yang penjudi, kita belum tahu apakah anaknya ikut diajak membuka rekening judi, atau anaknya diajak untuk menampung uang judi,” kata Jasra.
Selain pencegahan, pemenuhan hak anak pun harus dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Hak-hak anak antara lain, hak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, serta perlindungan khusus anak.
Jika pemenuhan hak anak gagal dilakukan keluarga, maka pengasuhan anak akan direbut oleh lingkungannya sehingga terjerumus kepada industri candu, yakni narkotika, judi, pornografi, hingga gim.
Selain itu, KPAI juga menaruh perhatian terhadap potensi adanya eksploitasi anak atas maraknya judi online tersebut. Karena fenomena judi online oleh orang dewasa itu berpotensi memanfaatkan anak-anak dari sisi ekonomi, dengan memakai akunnya atau membuat rekening atas nama anaknya.
“Maka kita berharap penegakan hukum dilakukan juga soal eksploitasi ekonomi,” kata dia.
Dengan begitu, pemenuhan hak anak harus dibela oleh setiap orang yang menyadari bahwa masa depan bangsa ada di tangan manusia-manusia yang saat ini masih muda. Masyarakat harus khawatir jika melihat anak-anak di sekelilingnya terpapar permainan judi yang sering diasosiasikan dengan istilah dewa mitologi Yunani, yakni “Zeus”.
Wajar tak berarti mengabaikan
Kini berbagai elemen bangsa tengah menatap visi Indonesia Emas 2045, di saat Tanah Air berusia 100 tahun. Generasi muda saat ini pun menjadi fondasi penting karena disebut-sebut bakal menjadi generasi emas.
Namun pada data di atas, usia remaja merupakan kelompok anak yang paling banyak terpapar judi online. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2023 pun mencatat penetrasi pengguna internet paling banyak adalah kelompok remaja usia 13-18 tahun.
Dosen Ilmu Psikologi Universitas Tarumanagara Debora Basaria mengatakan bahwa fase remaja dimulai dari usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Dalam fase tersebut, remaja cenderung menunjukkan perilaku impulsif seperti bertindak tanpa perencanaan dan memikirkan konsekuensinya, serta cenderung mencari pengalaman baru.
Perilaku impulsif itu seyogyanya wajar jika terjadi terhadap para remaja, tetapi kewajaran itu perlu ada batasnya jika tindakan mengarah kepada aktivitas yang berisiko seperti judi online. Apalagi, ada kasus sejumlah remaja yang justru mempromosikan judi online melalui media sosial.
Penyebaran candu judi online pun tak bisa diabaikan karena sejumlah dampak yang dimunculkan justru memunculkan kerugian bagi masyarakat. Maka dari itu, semua pihak perlu mengantisipasinya fenomena itu demi mencegah banyaknya anak-anak yang harus terlibat pidana.
“Sepertinya misalnya terjadi perilaku, saking sudah kecanduan judi online, mereka melakukan pencurian untuk mendapatkan uang,” kata Debora.
Dalam sebuah temuan riset, menurutnya seorang remaja yang berada pada tingkat “judi parah”, memiliki kesenangan yang dramatis untuk menang. Sehingga individu tersebut memiliki keinginan untuk terus berjudi dan menghabiskan banyak uang hanya untuk memuaskan diri.
Pada akhirnya, faktor terpenting dalam pembentukan generasi emas berada pada tingkat keluarga dan lingkungannya. Masyarakat tidak boleh abai dan sebisa mungkin mengetahui kondisi kesejahteraan di antara tetangganya.
Jika kondisinya sudah baik, keluarga dan lingkungan perlu membentuk dan menguatkan karakter anak dan remaja terhadap hal-hal baik dan menyosialisasikan bahayanya tindakan yang mengarah pada pidana.
“Jadi pendekatan yang sangat terintegrasi dari seluruh pihak memang saya sarankan,” kata akademisi tersebut. (ant)